Tujuh hari telah berlalu. Tujuh hari pula sosok Pak Arnold telah dibina habis-habisan oleh Ardi, yang kini menjadi guru Pak Arnold. Ardi bukan mengajari Pak Arnold sebuah mata pelajaran biasa yang ada di sekolah, tapi Ardi mengajarkan bagaimana cara untuk menjadi seseorang yang humoris.
Metode ini bukan hanya sekedar untuk menjadikan seseorang lebih lucu seperti badut atau pelawak. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa niat utama yang Pak Arnold inginkan bukanlah untuk menjadi seorang badut sirkus seperti Ardi. Namun yang Pak Arnold inginkan, yaitu dapat menjadi seseorang yang hangat dan enak untuk dijadikan tempat bercerita.
Di hari yang sebelumnya Pak Arnold memang tampak dingin, kaku, dan terlalu tegas. Tapi sekarang, dapat dipastikan bahwa Pak Arnold sudah menjadi sosok yang humoris.
Kini Pak Arnold selalu mengajak seseorang di sekitarnya untuk berbincang ria, dan bahkan saling melempar lelucon. Senyuman Pak Arnold yang sebelumnya tampak manis, saat ini berubah menjadi sebuah tawa yang menggelitik perut. Tak disangka, tawa Pak Arnold pun membuat para kaum hawa ikut tertawa. Dan itulah yang Pak Arnold inginkan.
Membuat orang tertawa.
Terutama pada muridnya yang baru saja tertimpa musibah. Yaitu Byan. Dia menginginkan Byan membuka suaranya, demi kasus yang sudah berjalan termakan banyak waktu. Akan tetapi Pak Arnold tidak menginginkan psikologis Byan kembali down, dan membuat keadaannya semakin parah.
Dengan cara ini, mungkin Byan dapat lebih terbuka kepadanya, dan menganggap Pak Arnold adalah orang yang tepat untuk dijadikan tempat bercerita.
Hari ini bel pulang sudah berdering di sekolah Byan. Sehingga para murid berhamburan memadatkan pintu keluar untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi bagi para murid yang memiliki jadwal les di kelasnya, akan pulang lebih lama dari jadwal yang biasanya.
Seperti Byan. Dia tengah duduk seorang diri di dalam kelas, sembari menunggu kehadiran Pak Arnold yang ingin mengajarkannya pelajaran tambahan. Sebenarnya jadwal Byan untuk les hari ini bersama Renita, tapi pada kenyataannya Renita tidak dapat masuk sekolah dikarenakan sedang sakit. Sehingga hanya Byan yang menjadi murid pada jadwal les hari ini.
Byan tidak perlu lama menunggu, sebab setelah 5 menit kemudian Pak Arnold datang dengan buku-buku di tangannya.
"I'm so sorry Byan, kamu menunggu lama ya?" tanya Pak Arnold.
Byan terkekeh, "gak lama kok, Pak."
Pak Arnold dapat bernapas dengan lega, dan menarik sebuah kursi untuk mendekati meja yang Byan singgahi saat ini. "Kok kamu tertawa sih, Byan? Ada yang lucukah dari saya?" tanya Pak Arnold.
Byan pun mengumpatkan wajahnya di balik buku bersampul cokelat, dan dia tertawa sejadi-jadinya di sana. Bagaimana tidak tertawa, jika penampilan Pak Arnold saat ini sungguh menggelitik perut. Kacamata hitam, dengan kumis bohongan yang tebal, ditambah terdapat tompel di pipi kanannya membuat penampilan Pak Arnold sangat aneh.
Hal tersebut dapat mudah mengundang Byan untuk tertawa.
"Itu, Pak." Byan kembali tertawa. "Muka Bapak, hahahaha!"
Tawa Byan pecah di ruang kelas siang ini, begitu pula dengan tawa Pak Arnold yang semakin membuat Byan tertawa keras.
"Cukup, Pak. Cukup. Byan sakit perut gara-gara ketawa," pinta Byan yang masih tertawa.
"Oke deh, kita mulai belajar aja." Byan pun terdiam ketika Pak Arnold sudah membuka suaranya.
"Tapi, saya lagi gak mau belajar Byan. Gimana kalau kita cerita-cerita aja?" tawar Pak Arnold.
Byan bingung. Mengapa kebiasaan Pak Arnold menjadi berubah seperti ini?
"Cerita apa tuh, Pak?!" tanya Byan penuh dengan semangat.
Pak Arnold memegang dagunya, sembari mengelus-ngelus kumis bohongan yang tebal itu. Dia berpikir sejenak, dan membuat Byan penasaran. "Gimana kalau Bapak ceritakan masa kecil yang pernah Bapak alami? Seru banget loh, Byan!"
Mata Byan membinar, dan dia berkata, "Oh ya?! Ya udah ceritakan, Pak. Byan udah gak sabar!"
Sebelum bercerita, Pak Arnold menyingkirkan beberapa buku milik Byan ke meja di sebelahnya. Hal tersebut bertujuan agar fokus Byan pada mendengarkan cerita tidak buyar, dan misinya dapat berjalan dengan lancar sesuai rencana.
"Jadi gini. Dulu waktu Bapak seumuran kamu, Bapak pernah ketemu ular di taman pas main." terang Pak Arnold.
"Ular?"
"Iya, ular. Ular hijau, yang suka hinggap di semak-semak. Ukurannya cukup panjang, dan mungkin jika dibandingkan dengan ukuran penggaris kamu, itu kalah panjangnya!" Hal tersebut membuat Byan tercengang, dan membayangkan wujud ular yang dimaksud Pak Arnold.
"Waktu itu Bapak lagi main sendirian di taman. Kenapa sendirian? Karena saat itu banyak temen-temen Bapak yang tidak suka sama Bapak. Tapi ... it's okay. Hal tersebut gak membuat Bapak untuk berhenti bermain.
"Suatu ketika, di saat Bapak lagi duduk sendirian di bangku putih bersama mainan Bapak. Dari arah semak-semak ada suara aneh yang bener-bener buat Bapak takut. Suara itu kayak gini, sstttt, sstttt, sstttt." Pak Arnold menirukan suara ular.
Namun suara itu, malah membuat tawa Byan kembali terdengar. "Bapak lucu!" ujar Byan.
"Terus kamu tau gak, apa yang keluar dari semak-semak itu?" Byan membalas dengan gelengan kepala.
"Itu adalah ular! Dia maju ke arah Bapak, dan membuat Bapak gak bisa kemana-mana. Ularnya juga selalu menjulurkan lidahnya, kayak gini." Pak Arnold pun menirukan seekor ular yang tengah menjulurkan lidahnya.
Alhasil tawa mereka berdua kembali pecah di dalam ruangan ini. Tangan Byan yang mungil memegangi perutnya yang merasa geli.
Sehabis merasa puas tertawa, Byan pun kembali bicara, "Terus gimana lagi, Pak?" tanya Byan.
"Terus ..., emm ..., Bapak gak berani ceritanya Byan." jelas Pak Arnold.
"Hah? Kok gitu sih, Pak? Kan Byan mau tau ceritanya," elak Byan.
"Tapi, Byan. Bapak tuh takut, takut kalau masa-masa yang itu kembali hadir lagi. Bapak gak mau kejadian itu terulang, Byan." ujar Pak Arnold penuh dramatis.
"Emang ularnya ngapain, Pak? Ularnya patok Bapak? Di bagian apa yang ular itu patok?" Bukannya membalas pertanyaan Byan, Pak Arnold hanya diam.
"Pak ..., ayo cerita lagi. Mungkin dengan Bapak cerita ke Byan, bisa menenangkan hati Bapak." tawar Byan.
Pak Arnold menghela napasnya dengan kasar. Dia pun memandang Byan secara intens, lalu memulai bercerita kepada anak muridnya itu.
***
☔To be continued☔
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Home [TAMAT]
General Fiction⚠️BUDAYAKAN FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Berjuta lika-liku kehidupan telah dirasakan oleh seorang gadis yang masih sangat kecil. Dia harus merasakan betapa hancurnya sang keluarga secara perlahan-lahan. Seperti luka yang bertubi-tubi ia dap...