Hari tampak suram bagi Zhifera setelah kedatangan Pak Arnold di hari itu. Rasanya bapak-bapak itu terus saja menunjukkan sifat sok akrabnya pada Zhifera. Jangankan untuk memberi feedback, satu ruangan dengan dia saja rasanya Zhifera ingin menghilang saat itu juga.
Sebenarnya Zhifera merasa kasihan dengan Pak Arnold yang harus dijadikan korban atas otak kotor dari ibunya. Pasti setelah ini Zhifera akan dipaksa oleh sang ibu, untuk menjalin kasih dengan guru muda di sekolah Byan. Hubungan Zhifera dan Pak Arnold pasti akan disebarluaskan kepada teman-temannya di kantor, dan ibu pasti mendapatkan berjuta pujian.
Zhifera pun heran. Mengapa ibunya sangat haus akan pujian?
Jika sekalipun dia menolak perintah sang ibu, pasti akan terbentur dengan adabnya terhadap orang tua.
Oke fine, orang tua memang harus dihormati, disayangi, dan menurut dengan perintahnya. Namun tidakkah sekalipun orang tua untuk mengerti perasaan pada anak-anaknya?
Sudah tujuh hari lamanya Zhifera memendam tekanan ini. Dan mungkin, sudah tujuh hari pula sifat Zhifera sedikit berubah pada lingkungannya. Zhifera yang ceria, Zhifera yang aktif, semuanya seakan lenyap.
Walau tidak semua orang memerhatikan Zhifera. Paling hanya teman sebangkunya, dan Ardi.
Omong-omong tentang Ardi, Zhifera pun masih kepikiran dengan ucapan lelaki tersebut saat dia duduk di taman pada waktu maghrib. Apakah ucapannya itu sebuah lelucon semata?
Memang, Ardi tipikal seseorang yang humoris dan segala hal dibawa bercanda. Jadi, bagaimana bisa Zhifera mengetahui ucapan Ardi itu sebuah fakta, atau hanya pencairan suasana?
Dari pagi Zhifera belum melihat batang hidung dari lelaki itu. Dia hanya dapat melihat tas hitam milik Ardi yang terletak di atas tempat duduknya, sedangkan sudah ada guru yang masuk sejak jam pertama dan kedua. Tetapi pada jam istirahat saat ini, Ardi masih saja belum absen di hadapannya.
"Lea ...," panggil Zhifera pada teman sebangkunya itu.
Tidak ada sahutan, ternyata Lea tertidur pulas di atas meja. Dia menutup wajahnya dengan sebuah buku, dan sedikit terdengar suara dengkuran di sana.
"Lea ... Lea ..., lu gak laper apa? Tadi kata si Iqbal, batagor Mang Joko udah ludes sama pacarnya si Acha." Zhifera menggoyangkan tubuh Lea.
Alhasil Lea pun bergerak sedikit, dan mengigau, "Batagor yang pake bumbu kacang itu?"
Walaupun mengigau, Lea tak kunjung menampakkan wajahnya.
"Iya! Yang pake saos, kecap, mentimun, sama bawang goreng itu!" ujar Zhifera dengan semangat.
Lea pun terbangun, dan langsung berdiri. Tak lupa dengan sedikit air liur yang berjatuhan di sekitar mulut.
SLURRRPP
"Lea! Mau kemana?" tanya Zhifera.
"Beli batagor. Mau kemana lag---" Lea tampak terkejut di saat Zhifera menyodorkan kaca ke depan wajah cantik miliknya. Beberapa detik kemudian dia pun berteriak dan membuat seisi kelas menengok ke arahnya.
Untung saja hanya ada lima orang yang masih berdiam di kelas. Jika tidak, Lea sudah sangat malu.
"Ayo temenin gua ke wastafel!" ajak Lea.
Kaki Zhifera dan Lea terus saja melangkah menuju wastafel yang berada tepat di depan kelas. Sembari menunggu Lea membersihkan wajahnya, Zhifera pun memandang ke sekeliling lingkungan sekolahnya.
Matanya terus saja menyapu seluruh objek di hadapannya tanpa sedikitpun yang terlewat. Hingga saatnya aktivitas yang Zhifera lakukan berhenti, karena dia melihat sebuah objek penting bagi dirinya.
Seorang laki-laki yang tengah berjalan di koridor gedung ekstrakurikuler, sembari membawa gitar berwarna cokelat muda itu membuat matanya membinar. Iya, seperti menemukan sebuah harta karun. Bibirnya pun menampilkan lengkungan tipis, seakan objek yang dia lihat begitu membahagiakan.
Saking bahagianya, kaki Zhifera seakan tidak dapat dikendalikan. Dia berlari menerjang teriknya matahari ketika melintasi sebuah lapangan upacara. Dan satu lagi. Dia meninggalkan Lea sendirian di wastafel. Sudah pasti wanita itu meneriaki nama Zhifera terus-menerus.
Zhifera tidak menghiraukan hal itu. Hal terpenting saat ini adalah menemui Ardi yang sejak tadi belum absen di hadapan Zhifera.
Ternyata Zhifera kalah cepat. Ardi sudah terlanjur masuk ke dalam ruangan ekstrakurikuler seni, yang di dalamnya banyak sekali peralatan bidang kesenian.
Saat sampai di depan pintu ruang ekstrakurikuler seni, Zhifera sedikit ragu untuk memasukinya. Sebab, tidak sembarangan orang dapat keluar masuk ruangan ekstrakurikuler.
Tangan Zhifera bergetar, di saat dirinya membuka pintu berwarna cokelat tua itu. Di saat pintunya terbuka, yang pertama dia lihat adalah keindahan ruangannya. Banyak sekali lukisan, alat musik, dan karya-karya seni lainnya yang mengandung unsur estetika tinggi.
Namun orang yang tadi Zhifera cari tidak ditemukan olehnya. Dia pun berjalan menelusuri ruangan ini, hingga saatnya Zhifera sampai di sebuah sudut ruangan yang tertutup rak kesenian.
Di sana ada Ardi, dan ... seorang perempuan?
Berkali-kali Zhifera mengerjapkan matanya. Tapi tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Itu benar sosok Ardi, dan Evelyn. Ketua seni yang jago memainkan tarian di sekolah.
Kulitnya putih, ditambah pipi yang memerah ketika bercakap-cakap dengan Ardi. Mereka berdua tertawa sambil sesekali melantunkan musik yang berada di pangkuan Ardi.
"Naikin nadanya, Di. Soalnya kalau terlalu rendah gak cocok sama suara gua," pinta Evelyn.
"Siap, Permaisuri." Ardi pun memainkan alunan lagu dan diiringi oleh nyanyian merdu suara Evelyn.
"Bila kau butuh telinga 'tuk mendengar, bahu 'tuk bersandar, dada 'tuk berlindung---" Baru saja Evelyn ingin melanjutkan lantunannya, namun Ardi memaksa wanita itu untuk berhenti.
"Salah lirik, Say." peringat Ardi.
Evelyn merasa bingung, di bagian mana lagi dia melakukan kesalahan? Dia sedikit memicingkan matanya lalu berkata, "Salah dimananya sih?"
"Di bagian kata 'dada'. Itu seharusnya 'raga'," jelasnya pada Evelyn.
Di tengah keributan itu, Zhifera pun memberanikan diri untuk bersuara. Dia bernyanyi mengikuti lirik yang sebenarnya.
"Bila kau butuh telinga 'tuk mendengar, bahu 'tuk bersandar, raga 'tuk berlindung." Baru saja dia melantunkannya, Ardi dan Evelyn langsung menoleh ke sumber suara.
"Pasti kau temukan aku di garis terdepan .... Bertepuk dengan sebelah tangan," Mata Zhifera yang awalnya terpejam, kini dia pun membukanya.
Tentu saja, dia diberikan apresiasi oleh Ardi dengan sebuah tepukan tangan. Begitu juga dengan bonusnya, senyuman manis dari Ardi.
"Bagus sekali suaramu, wahai teman kesayanganku." ujar Ardi di iringi tawa.
Ah, Ardi mengapa semakin tidak jelas seperti ini? Membuat Zhifera bingung saja.
Zhifera kembali memasang raut wajah kesal. Seperti sebelumnya selama tujuh hari terakhir. Hal tersebut sungguh disayangkan oleh Ardi yang semakin hari, semakin ingin mengungkapkan perasaannya itu pada Zhifera.
Tapi masalahnya .... Apakah Zhifera masih membenci istilah cinta?
***
☔To be continued☔
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Home [TAMAT]
General Fiction⚠️BUDAYAKAN FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Berjuta lika-liku kehidupan telah dirasakan oleh seorang gadis yang masih sangat kecil. Dia harus merasakan betapa hancurnya sang keluarga secara perlahan-lahan. Seperti luka yang bertubi-tubi ia dap...