Langkah Angie masih saja sempoyongan, sedangkan dirinya harus pulang ke rumah Zhifera dengan cepat. Malam semakin larut, sehingga jalanan semakin sepi. Truk-truk pengantar barang yang mendominasi di jalanan saat ini, sehingga membuat Angie semakin waspada.
Jaraknya saat ini sudah semakin dekat menuju gang rumah Zhifera. Buktinya saja kakinya sudah melewati sebuah Sekolah Dasar yang Byan dan Nina tekuni. Saat melintasi sekolah itu, Angie sedikit kebingungan dengan jalan yang harus ia tempuh. Sebab terdapat dua arah jalan di depannya.
Dia memegang kepalanya yang terasa pening akibat dari minuman yang ia konsumsi tadi di club. Hingga pada akhirnya tubuh Angie sedikit oleng, dan hampir terjatuh ke jalanan.
Tanpa diduga, terdapat uluran tangan yang mencegah tubuhnya ambruk ke aspal. Tangan besar dengan lukisan urat-urat di punggungnya itu menahan tubuh Angie yang ingin terjatuh. Empat mata pun kini saling pandang. Keempatnya saling mencari sebuah keindahan yang terdapat pada masing-masing mata.
Benar saja, mereka saling melihat sang purnama di balik iris coklat di dalam mata.
Setelah berselang beberapa detik, lelaki pemilik dari tangan penolong itu pun tersadar dan segera membenarkan posisi tubuh Angie seperti sediakala. Angie yang setengah mabuk itu merasa pipinya bersemu. Tapi dia tidak memiliki waktu untuk salah tingkah, sebab dirinya tidak sepenuhnya sadar.
"Terima kasih," ujar Angie dengan membungkukkan tubuhnya seperti orang-orang di drama Korea.
Lelaki itu mengetahui bahwa Angie sedang tidak sadarkan diri. Dirinya mampu menghirup aroma alkohol pada hembusan napas yang Angie keluarkan. "Rumahmu dimana?" tanya lelaki itu seraya melihat jam tangan yang melekat di tangan kanannya.
"Ini udah ralut malam. Kamu tersesat?" tanya lelaki itu lagi.
Angie menjauh beberapa langkah dari tubuh lelaki yang ada di hadapannya. Dia harus waspada dengan para lelaki yang berkeliaran di malam hari, terlebih jika lelaki itu seperti yang ia temui di halte.
Melihat Angie menjauh, seseorang yang tadi menolongnya semakin mendekatinya. "Tenang aja, saya bukan orang jahat. Namamu siapa? Oh iya, saya Arnold, saya salah satu warga di sekitar sini." ujar Arnold menyakini Angie.
"Arnold? Ru-mah lo di se-ki-tar sini? Lo tau ru-mah gue?" racau Angie.
Arnold tampak kebingungan ulah gadis yang di depannya ini. Tampak dari wajahnya, dia bukanlah asli dari daerah sini. Menurut Arnold, Angie seperti turis asing yang tersesat di kota besar ini.
"Kamu tersesat? Mau aku panggil polisi buat mengamankan kamu?" tawar Arnold.
Angie dengan cepat menolaknya. Dia berkata, "jangan bawa gue ke kantor polisi. Di sana cuma buat orang-orang jahat. Gue mau cari jalan pulang aja ...." Angie pun menangis sekencang-kencangnya membuat Arnold risau.
"Eh ... eh ... iya ..., kamu gak usah nangis gitu dong. Kamu mau pulang? Rumah kamu di mana?" tanya Arnold.
Angie menunjuk secara asal jalanan yang ada di depannya. Arnold pun mengikuti arah petunjuk yang jari Angie tunjuk. Ternyata yang dimaksud Angie adalah taman bermain yang dirinya dengan Zhifera kunjungi kemarin sore.
"Taman itu?" Arnold kebingungan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Angie mengangguk. Arnold pun membawa Angie menuju taman bermain itu sembari menggandeng tangannya agar tidak kembali hilang keseimbangan. Arnold terus saja melirik wajah Angie, dan berpikir bahwa perempuan yang di sampingnya sedang melantur. Lagi pula mana mungkin ada seseorang yang tinggal di taman bermain.
Angie melepaskan gandengan tangan Arnold dan duduk di sebuah ayunan kayu. Dia menidurkan kepalanya di tiang penompang ayunan sebab matanya yang sudah diterjang rasa kantuk. Sedangkan Arnold, dia duduk di sebelah Angie yang sedikit lagi akan tertidur.
Jika Angie tertidur, Arnold akan semakin kebingungan.
"Hei ..., ini taman bermain. Kamu ingin tidur di sini?" tanya Arnold.
Mata Angie yang ingin tertutup, kini kembali terbuka. "Lo kalau mau pulang, pulang aja. Biar gue di sini sambil nunggu ada orang yang ngejemput gue," ujar Angie.
"Siapa yang mau jemput kamu?" tanya Arnold.
"Malaikat maut," ketus Angie.
"Heh, jangan sembarangan ngomong." larang Arnold.
"Lagi pula siapa yang peduli sama kehidupan gue. Mereka semua cuma menyayangi gue demi pengakuan dunia. Jadi mau gue dicelakai orang, mau gue pulang malem sambil mabok, dan bahkan mau gue dijemput malaikat maut juga gak akan ada yang peduli sama keadaan gue." Angie berbicara sambil memejamkan matanya.
"Ada orang tua kamu yang peduli dengan keadaanmu sekarang. Mereka pasti menunggu kamu di rumah," ujar Arnold.
Angie memasang senyum smirk-nya. "Orang tua? Haha, orang tua mana yang menanti gue pulang ke rumahnya masing-masing demi memenangkan pengakuan dunia atas hak asuh anak." Angie mengeluarkan air matanya.
"Mereka gak pernah tau kalau gue setiap malem gak tidur. Mereka hanya mau kalau gue harus menuruti perintah mereka, untuk memilih salah satu di antara mereka. Gue capek ... gue pengen hidup tenang kayak orang normal." Keluhan Angie membuat Arnold merasa iba.
"Semalaman gue gak tidur, dan paginya gue harus datang ke pengadilan buat sidang hak asuh. Giliran gue sampe, gue diomelin habis-habisan sama mereka. Mereka nuntut gue untuk secepatnya mengambil keputusan. Gue gak bisa hidup begini. Gue udah capek ..., guee udah muak ..., bahkan gue udah gila ...." Angie membenturkan kepalanya pada tiang yang ada di sampingnya.
Namun dengan cepat, Arnold meraih kepala Angie, dan menaruhnya di dada bidangnya yang terbungkus kaos hitam dengan sweater abu-abu gambar Mickey Mouse.
Niat baik Arnold malah dihadiahi sebuah pukulan kecil pada dadanya oleh Angie yang terus mengeluarkan keluh kesahnya. Hingga dia berhenti di kala Arnold mengeluarkan kata-kata mutiara andalannya.
"Kamu gak usah merasa sendiri di dunia ini. Pasti masih ada orang yang peduli padamu dengan tulus." ujar Arnold.
"Siapa?" tanya Angie yang penasaran dengan jawaban dari Arnold.
"Tuhan."
"Ck, selain itu?" tanya Angie dengan raut wajah kesal.
"Dua malaikat di sampingmu."
"Ih ... yang bener dikit kek jawabnya!" omel Angie.
Arnold terkekeh. Tetapi pada menit selanjutnya mendadak perut Angie merasa sakit. Dia mual, dan rasanya ingin segera memuntahkan sesuatu dari mulutnya.
Tinggal hitungan detik Arnold harus menjauhkan kepala Angie dari dadanya. Namun tenaga Angie tidak terlalu kuat untuk menjauhkan dada Arnold, sehingga sebuah cairan keluar dari mulutnya yang bau alkohol.
Hal tersebut sangat mengejutkan Arnold.
Antara bingung, takut, dan geli. Dia sangat kacau sekarang. Sebab sweater kesayangannya telah ternodai oleh cairan buangan Angie. Terlebih cairan tersebut sudah menyebar ke gambar Mickey Mouse kesukaannya.
***
☔To be continued☔
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Home [TAMAT]
General Fiction⚠️BUDAYAKAN FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Berjuta lika-liku kehidupan telah dirasakan oleh seorang gadis yang masih sangat kecil. Dia harus merasakan betapa hancurnya sang keluarga secara perlahan-lahan. Seperti luka yang bertubi-tubi ia dap...