013. Siapa Dia?

23 3 0
                                    

"Tuh orang ngapain ngikutin gua terus sih?" tanya Ardi dengan suara yang samar-samar.

Dia tengah berjalan menuju parkiran untuk menghampiri motor Supra-nya yang  terparkir di sana. Mau bagaimanapun, dia harus pulang ke rumah bersama motor tua itu. Meskipun tampak tua, motor itu adalah salah satu harta benda yang Ayahnya beri seusai tutup usia.

Walaupun sering kali mogok di tengah jalan, Ardi akan selalu merawatnya dengan baik demi keberlangsungan hidup dari motornya yang ia beri nama Anaconda.

Unik, kan?

Meskipun tidak sekuat dan sehebat Anaconda di film-film Barat, tapi Ardi sangat bangga memiliki motor tersebut.

Omong-omong mengenai film Barat, sepertinya yang saat ini Ardi rasakan seperti tengah berada pada film tersebut. Di pekatnya malam, lebih tepatnya pada pukul 23.15 WIB, Ardi merasakan sesuatu yang aneh menimpanya sejak kejadian dia membuatkan kopi untuk para seniornya. Entahlah ada apa.

Namun yang Ardi rasakan seperti diawasi oleh seseorang sejak tadi. Pada sekian banyaknya pengunjung stand sirkusnya di pasar malam, Ardi merasakan terdapat tatapan yang selalu mengawasi gerak-geriknya.

Kini pasar malam yang begitu ramai, menjadi sangat hening. Gemerlap lampu warna-warni yang menghiasi cakrawala seakan padam. Benar, malam semakin larut dan seluruh pengunjung mulai kembali ke tempat persinggahan masing-masing. Suasana pada kali ini benar-benar membuat keadaan Ardi menjadi sangat dramatis.

Kakinya terus berjalan hingga parkiran, namun tetap saja terdapat langkah dari belakangnya. Ardi segan untuk menoleh ke belakang, sebab jika memang seseorang itu adalah orang jahat, berarti saat ini ajalnya sudah di ujung tanduk.

"Baca-baca, gue harus baca-bacaan." Mulut Ardi kini berkomat-kamit seperti dukun yang tengah membacakan mantranya.

Setelah itu langkah kaki yang Ardi hentakkan, menjadi dua kali lebih cepat. Begitu pula dengan langkah seseorang yang ada di belakangnya. Shit!

"Jurus? Gue harus ngeluarin jurus apa ini? Jurus kudanil makan tempe, atau jurus badak lagi dansa?" Ardi semakin panik.

Mungkin bibir Ardi kini menjadi pucat, dan tubuhnya bergetar hebat. Kemungkinan besar jiwa lelakinya sudah padam saat ini.

"Gak, gue gak boleh jadi cowok slay!" Tiba-tiba saja Ardi merubah pikirannya, "gue itu bisa jurus ular kobra, dan untuk apa gue takut sama orang itu?"

Di saat Ardi masih berdiam diri, langkah seseorang itu pun ikut berhenti. Dan membuat Ardi memiliki peluang untuk mengeluarkan jurus ular kobranya.

"Bismillah. Jurus ular kobra, pyu, pyu!" Ardi mulai meragakan seperti ular yang ingin mematok seseorang.

Orang bertopi hitam pun terkejut, dan memandang Ardi dengan tatapan yang aneh. Begitu pula dengan Ardi, dia merasa begitu penasaran dengan lelaki bertopi hitam itu. Mengapa topi tersebut seakan sengaja menutupi wajahnya?

Ardi sedikit membungkuk, dan mendongakkan wajahnya agar dapat melihat siapa orang tersebut.

"Anda siapa ya? Anda bukan buronan neraka, kan?" tanya Ardi.

Lelaki itu pun membuka topinya, dan memasang raut wajah datar. Mungkin karena merasa sudah ketahuan, maka dari itu dia pun pasrah.

Ardi tercengang. Dia pernah melihat wajah tersebut beberapa hari yang lalu di rumah Zhifera ketika dia menjenguk Byan. "Pak Arnold?" panggil Ardi dengan ragu-ragu.

Dia masih ragu, sebab hari sudah malam dan penerangan pun sudah mulai pudar. Hanya sekedar ingin memastikan, bahwa yang dia lihat ini adalah Pak Arnold. Guru di sekolah Byan.

Tapi untuk apa beliau membuntutinya?

"Kalau boleh tau, ada keperluan apa Pak?" tanya Ardi.

Pak Arnold menampilkan senyumannya lalu berkata, "Maaf ya bila saya membuat kamu takut, dan---"

"Takut? Enggak kok, Pak. Saya mah gak pernah takut!" hindar Ardi.

Pak Arnold tertawa kecil sehingga menampilkan gigi gingsulnya. Benar-benar sangat manis, dapat dipastikan para kaum hawa yang melihatnya ingin berteriak histeris. "Saya itu bingung sama kamu. Maksudnya ... saya heran sama kelebihan kamu dalam menjadi pelawak. Dan jujur saya iri dengan kamu. Sepertinya saya salah memilih profesi, seharusnya saya menjadi pelawak saja." ujar Pak Arnold.

Sungguh, perkataan beliau membuat Ardi berpikir keras. Mengapa ucapan Pak Arnold begitu berbelit-belit?

"Pasti sangat membosankan ya bila saya yang menjadi pelawak. Saya tuh orang yang kaku, lesu, dan bahkan tidak enak bila dipandang." Pak Arnold mengalihkan pandangannya ke arah cakrawala.

"Enggak, Pak. Sebenarnya Bapak itu sudah memiliki basic untuk menjadi seorang pelawak loh. Dengan sifat Bapak yang menyukai anak kecil, hal tersebut bisa menjadikan Bapak seorang pelawak." jelas Ardi yang baru saja menyala koneksinya.

"Oh ya?"

"Iya, Pak. Dengan Bapak memberikan lelucon yang sensasional aja bisa membuat banyak orang ketawa. Dan bonusnya Bapak juga bisa tuh ketawa keras-keras biar banyak orang ikutan ketawa. Lagian ya Pak, emangnya menjadi seorang guru itu gak membuat bahagia ya?" tanya Ardi.

"Bahagia kok. Tapi tuh saya iri aja sama orang-orang yang kayak kamu. Walaupun mendapatkan upah yang tidak seberapa, tapi kamu bisa selalu bahagia dan membuat orang lain ikut bahagia." Pak Arnold menepuk-nepuk pundak Ardi.

"Biasa aja kok, Pak." Ardi terkekeh.

"Oh iya Di, saya boleh minta tolong ke kamu?" tanya Pak Arnold.

Ardi sedikit kebingungan, sebenarnya maksud dari segala perilaku Pak Arnold kali ini apa?

"Minta tolong untuk apa ya, Pak?"

Pak Arnold pun mendekat ke arah telinga milik Ardi, dan membisikkan sesuatu di sana. Rasanya Ardi sangat terkejut dengan apa yang Pak Arnold lontarkan. Ternyata ini alasan Pak Arnold membuntutinya sejak tadi.

"Iya Pak, saya akan membantu. Lagipula memang itu tujuan saya. Bapak pun bisa kan membantu saya juga dalam menyelesaikan kasus ini?" Ucapan Ardi dibalas dengan anggukan serta senyuman dari Pak Arnold.

***

☔To be continued☔

Not Home [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang