Banyak orang yang mengatakan bahwa jatuh cinta itu begitu indah. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa jatuh cinta itu perlu perjuangan.
Perjuangan yang mati-matian demi memperoleh feedback dari sang pujangga, namun jika tidak memperoleh hal itu, kita hanya akan merasakan rasa sakit saja. Rasa sakit itu yang paling ditakuti Zhifera jika mulai menyukai seseorang.
Zhifera masih mengingat-ingat perkataan Pak Arnold di malam itu meskipun sudah 3 hari berlalu. Ternyata dugaan ia tentang mengingatnya lebih cepat itu nihil sekali ia dapat. Bahkan 3 hari pun dia baru mengingat beberapa kata saja.
"Saya tidak ikut campur dalam rencana Ibumu, saya melakukan ini ...."
Hanya itu yang Zhifera ingat. Astaga, mengapa dia sangat pelupa!
Daripada ia terus memikirkan ucapan Pak Arnold yang masih samar-samar itu, dan membuatnya sakit kepala sebelah, lebih baik dia memikirkan hal lain. Misalnya, memikirkan buku apa yang harus dia beli pada bulan ini? Atau, aktivitas apa yang akan dia kerjakan setelah pulang sekolah? Kegabutan di siang bolong ini benar-benar membuatnya frustasi.
Dia harus pulang lebih awal, dikarenakan guru-guru di sekolah harus mengunjungi tempat pelatihan dasar dari pemerintah. Entahlah untuk apa, sehingga Zhifera harus pulang lebih cepat dari biasanya.
Sejak tadi para murid berbondong-bondong melintasi lautan manusia yang hendak kembali ke rumahnya. Ya ... walaupun tidak semuanya langsung kembali. Ada beberapa murid yang lebih memilih gengsinya daripada rehatnya.
Zhifera, salah satu murid yang memilih rehatnya itu sudah berada di pemberhentian angkutan umum depan sekolah. Dia akan pulang ke rumah menggunakan mobil Lamborgini berwarna biru tua. Satu lagi, dia tidak mampir dahulu ke Sekolah Dasar sang adik, disebabkan jadwal pulangnya yang lebih awal ini.
Satu angkutan umum berhenti, dan banyak sekali penumpang yang berasal dari sekolahnya itu untuk menaikinya. Termasuk Zhifera. Dia duduk di sebelah nenek tua yang membawa tas belanjaan, dan masih ada satu bagian yang kosong untuk penumpang selanjutnya.
Tiga detik berlangsung, seorang pria jangkung berjalan menaiki mobil ini. Dia tersenyum di saat pertama kali matanya bertatapan langsung dengan Zhifera.
Pria itu mendudukkan bokongnya tepat di sebelah Zhifera, tak lupa dengan memangku tas hitam miliknya agar semua penumpang yang duduk sejajar tidak merasa kesempitan.
"Hai!" sapa Ardi.
Zhifera menatapnya lirih, "gak usah sok kenal. Baru aja tadi di kelas ketemu,"
"Eh, pede! Gua lagi nyapa nenek yang ada di sebelah lu. Hai, nenek!" Ardi melambaikan tangan ke arah nenek tersebut.
Nenek itu merasa tercengang, pipinya memerah mungkin karena saking terkejutnya disapa oleh pria setampan Ardi. Nenek itu hanya dapat tersenyum.
Kursi sejajar di dalam angkutan umum ini telah terisi penuh, sehingga sang sopir menancapkan gasnya. Mobil berjalan dengan kecepatan yang sesuai, sehingga tidak perlu merasa was-was bagi penumpangnya.
Suasana di dalam cukup canggung. Hanya ada suara bising kendaraan lainnya yang melintasi jalan. Sedangkan para penumpang sibuk memainkan ponsel. Hal itu sangat tidak disukai oleh Ardi, sehingga dia memiliki ide untuk mengatasinya.
"Nek, abis belanja ya?" tanya Ardi pada nenek yang di sebelah Zhifera.
Zhifera yang merasa kesal dengan pertanyaan Ardi, dia langsung menyemburnya dengan omongan pedasnya.
"Lo pikir nenek ini abis pulang sekolah? Aneh lo!" sinis Zhifera.
"Kamu jangan iri gitu dong, Yang." gurau Ardi.
Zhifera hanya dapat bergedik jijik mendengarnya.
Nenek yang tadi ditanya oleh Ardi pun menjawab, "Jangan salah loh, Neng. Nenek tuh emang dari sekolah. Nenek belajar. Tapi cuma beda tempat aja." Setelahnya nenek itu tertawa ngakak hingga gigi ompongnya terpampang sangat jelas.
Ardi yang melihat itu sungguh merasa lucu. Dia ikut tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Zhifera. Melihat tawa Ardi yang menggelitik perut, membuat semua penumpang ikut tertawa. Ya ... walaupun hanya ada kekehan kecil atau hanya tersenyum.
Di saat suasana cair ini berlangsung, tiba-tiba saja mobil berhenti. Zhifera melihat ke sekitarnya. Ternyata kini tengah ada lampu merah, jadi supir itu menghentikan gasnya.
Mata Zhifera menyapu seluruh pemandangan yang ada di sekitar lalulintas. Tepat di sebelah trotoar, terdapat taman kecil Sekolah Menengah Pertama adiknya Lisa. Zhifera dapat melihat nuansa putih biru di sekitarnya. Ah ... betapa rindunya ia dengan masa itu.
Tapi dikala dia mengamati sekolahnya, terdapat suatu pemandangan yang familiar baginya. Zhifera melihat Lisa di sana. Jaraknya kurang lebih 2 meter dari trotoar, sehingga dirinya masih dapat menjangkau pemandangan itu.
Senyum Zhifera yang awalnya mengembang, kini layu dikarenakan sang adik tengah berbincang dengan seorang lelaki keturunan bule itu dengan wajah yang memelas. Sang lelaki itu tampak membentak Lisa, dikarenakan sebuah urat lehernya terpampang jelas berpadu pada kulit putihnya.
Tangan lelaki itu terlihat menunjukkan jari telunjuknya menghadap Lisa, dan mulut Lisa yang tak karuan mulai menyamai sang lelaki. Sebenarnya ada apa?
"Di, lu liat itu Lisa!" Zhifera menunjuk ke arah yang ia tuju.
Namun tak berlangsung lama, supir telah kembali menancapkan gasnya. Alhasil mobil segera berjalan, dan membuat Ardi tidak melihatnya.
"Yah ... gue gak lihat. Emang kenapa?" tanya Ardi.
Zhifera berdecak kesal. Dia pun merasa cemas. Kecemasannya itu semakin merajalela sekarang. Untung saja ada tangan Ardi yang berhasil memenangkan dirinya dengan mengusap lembut ibu jari Zhifera.
"Are you okey?" tanya Ardi.
"Semoga aja gue salah liat." ujar Zhifera berbisik.
***
☔To be continued☔
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Home [TAMAT]
General Fiction⚠️BUDAYAKAN FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Berjuta lika-liku kehidupan telah dirasakan oleh seorang gadis yang masih sangat kecil. Dia harus merasakan betapa hancurnya sang keluarga secara perlahan-lahan. Seperti luka yang bertubi-tubi ia dap...