017. Sidang Perdana

40 2 0
                                    

"Ini pernyataan dari korban dan para saksi, Pak." Pak Arnold memutar audio pada pengeras suara yang berada di ruangan formal ini. Suara tersebut seakan menggelegar ke seluruh ruangan, dan dapat dipastikan para manusia yang menghadiri sidang ini mendengarnya.

Benar sekali. Hari ini merupakan sidang perdana kasus bullying yang menimpa Byan. Banyak sekali para dewan sekolah, bahkan di sana terdapat kepala yayasan yang menyaksikan berlangsungnya sidang.

Sidang ini memang tidak seformal yang ada di pengadilan pada umumnya. Hanya ada petinggi sekolah, serta saksi mata, dan keluarga korban maupun pelaku. Sekolah tidak mengadukan kasus ini hingga pengadilan, tentu saja karena sang pelaku masih di bawah usia. Serta kemungkinan masalah tersebut masih bisa diatasi secara kekeluargaan.

Ada dua hukuman yang mungkin dijatuhi kepada Josua. Yang pertama yaitu dikeluarkan dari sekolah, dan yang kedua harus ditunda kelulusannya sebagai siswa kelas 6.

Bagi orang-orang yang mendengar, mungkin hukuman tersebut tidak terlalu berat. Namun hukuman apa yang lebih menyakitkan apabila harus dikeluarkan dari sekolah, ataupun ditunda kelulusannya bagi siswa seusia Josua.

Pemutaran audio pun selesai, kini semua mata tertuju pada tersangka yang tengah duduk di sebelah kedua orang tuanya. Bibir Josua terlihat pucat, matanya mendadak berair karena mendengar audio tersebut. Lagipula siapa yang tidak miris ketika mendengarkan penjelasan Byan? Buktinya saja hampir 95% manusia yang ada di ruangan ini menyeka air matanya berkali-kali.

"Saya sengaja tidak mendatangkan korban secara langsung. Hal itu disebabkan karena adanya ketakutan sang keluarga akan psikis korban kembali terganggu." Pak Arnold membenarkan dasi merah yang tersemat di kerah bajunya. "Saya mohon kepada pihak yayasan agar menindaklanjuti kasus ini, dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Saya atas nama wali kelas Muhammad Abyan Purnama, berterima kasih."

Pak Arnold turun dari mimbar yang berada di depan ruangan, dan kepergiannya itu membuat Zhifera sangat terpukau. Ternyata dugaannya selama ini salah. Pak Arnold tidak seburuk dari perkiraannya. Bahkan Pak Arnold merupakan pahlawan bagi Byan yang sebenarnya.

Zhifera malu jika harus kembali bertegur sapa dengan beliau. Maka dari itu, Zhifera sengaja menduduki tempat duduk paling belakang, dan membiarkan kedua orang tuanya yang berinteraksi dengan Pak Arnold.

Fokus Zhifera kini beralih pada suara lelaki berperut buncit, dengan kepala yang setengah botak berdominasi warna putih. Zhifera tebak lelaki itu adalah seseorang yang memiliki jabatan tertinggi di yayasan ini. Entahlah, Zhifera tidak mengenalnya.

Lelaki itu berkata, "Terima kasih kepada Bapak Arnold yang telah berjuang mendapatkan bukti akurat atas kasus ini. Sehingga kami pun telah mendapatkan keputusan mengenai keadilan bagi ananda Byan."

Perkataan lelaki itu terhenti karena dia membuka map berisi keputusan sidang ini, yang telah diputuskan bersama-sama oleh pejabat tinggi di sekolah. "Kasus bullying yang menimpa salah satu murid kelas 1 yaitu ananda Muhammad Abyan Purnama. Secara resmi dapat dikatakan pelakunya adalah ananda Josua Jackieani yang merupakan murid kelas 6. Hukuman yang akan diberikan kepada pelaku yaitu dikeluarkan oleh pihak sekolah."

"Dengan hukuman tersebut, diharapkan seluruh murid dapat menghindari perilaku tidak baik seperti kasus ini." sambungnya yang menjadi kata penutup bagi sidang ini.

Mendengar keputusan sidang, keluarga Josua merasa sangat sedih dan tidak puas akan hasil sidang tersebut. Sehingga mereka menghampiri para petinggi yayasan, untuk menghadang keputusan yang baru saja diluncurkan.

Namun usaha yang dilakukan oleh keluarga Josua sia-sia, sebab keputusan yang diambil sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat. Karena sidang sudah selesai, satu persatu manusia yang singgah di ruangan ini berhamburan keluar. Sebelum itu banyak sekali yang memberikan apresiasi kepada Pak Arnold, guru muda yang sangat gigih dalam mengedepankan keadilan.

Banyak sekali yang mengucapkan selamat oleh Pak Arnold, dan tak lupa dengan beberapa bingkisan yang mungkin sangat bermanfaat bagi beliau. Terutama kedua orang tua Byan.

"Pak Arnold, saya benar-benar berterima kasih kepada Bapak yang telah membela Byan dalam kasus ini. Saya tidak tau harus membalas jasa Bapak dengan seperti apa," ujar Ester sembari menangis.

"Benar, Pak. Saya bahkan merasa tidak becus sebagai Ayah Byan karena tidak segigih Bapak dalam membela Byan." Abram menjabat tangan Pak Arnold.

"Tidak seperti itu, Pak, Bu. Saya membela Byan itu semata-mata hanya untuk membela sebuah kebenaran. Saya tidak butuh balasan apapun dari kalian. Yang saya harapkan hanyalah setelah kejadian ini, Byan lebih terkontrol oleh kedua orang tuanya." Pak Arnold tersenyum.

"Jika membicarakan mengenai psikis seorang anak, dia akan benar-benar terluka bila kedua orang tuanya tidak memiliki waktu untuk mereka. Itulah sebenarnya yang menjadi masalah bagi Byan. Bukannya saya ingin ikut campur, tapi alangkah baiknya jika Bapak dan Ibu meluangkan waktu untuk Byan," sambung Pak Arnold.

Aster dan Abram saling melempar pandangan. Mereka sedikit terguncang dengan ucapan yang dilontarkan oleh Pak Arnold. "Baik, terima kasih atas saran dan segalanya Pak Arnold. Kami berdua pamit dahulu, permisi," ujar Abram dan menggenggam tangan Ester untuk segera meninggalkan ruang sidang ini.

Pak Arnold tersenyum, dan mulai merapihkan berkas-berkas yang berserakan setelah sidang ini berlangsung.

Di tengah-tengah kegiatan Pak Arnold yang merapihkan berkas, terdapat seseorang yang menepuk pundak kanan milik Pak Arnold. Dia pun menoleh sembari bertanya, "Iya?"

Pak Arnold tercengang. Ternyata yang menepuk pundaknya adalah Zhifera, Kakak perempuan Byan. Di saat itu pula, Zhifera memberikan senyuman yang merekah kepada Pak Arnold.

"Loh, saya kira kamu tidak datang." Pak Arnold memutar tubuhnya menjadi berhadapan oleh Zhifera. "Ada apa?" tanya Pak Arnold.

Zhifera membiarkan air matanya mengalir menelusuri pipi kanan dan kirinya. Melihat hal seperti itu, Pak Arnold menjadi risau dan bingung mengapa gadis itu menangis di hadapannya?

"Saya ingin minta maaf kepada Bapak. Perilaku saya belakangan ini benar-benar buruk, dan---" Zhifera menangis hingga tersengguk-sengguk.

"Tidak apa, Zhifera. Kamu pun menjadi salah satu alasan saya sangat bersemangat dalam membela Byan. Jiwa saya itu ingin membuktikan ke kamu bahwa saya bisa, dan pada akhirnya itu semua terjadi." Pak Arnold mengusap air mata Zhifera yang mengalir, "sekarang kamu gak usah risau ya?"

Zhifera mengangguk kecil, dan menatap Pak Arnold lekat-lekat.

***

☔To be continued☔

Not Home [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang