3. Ini namanya simpati

1.3K 165 3
                                    

Haidar mendudukkan dirinya dipinggir kasur dengan sepiring makanan ditangannya. Membangunkan Damar yang tengah sakit begini ternyata sangat sulit. Baru saja sehari pindah sudah sakit membuat Haidar berpikir kalau Damar ini tipe yang tidak bisa jauh dari orang tua.

"Gue tau lo bisa denger. Ayo, bangun makan dulu"

"Pusing"jawab Damar yang terdengar begitu lirih.

"Makanya makan dulu, nanti langsung minum obat biar mendingan."

Sebenarnya Haidar sudah cukup kesal. Lihat saja alisnya yang sudah terlihat menekuk tajam menatap temannya itu yang masih saja enggan bangun.

Ia paham kalau sedang sakit begini malas untuk bangun, kepala yang terasa pusing, makan saja terasa tidak enak tapi lihat Haidar sudah mau berbaik hati merawatnya.

"Ayo dong, Dam, nanti kalo gue gak peduli sama lo, lo bisa mati" Haidar berseru dengan suara yang terdengar sok dramatis.

Setelah mengatakan itu Damar terlihat membuka matanya, melirik Haidar yang duduk disampingnya sedang cengengesan.

Dibantu Haidar, Damar akhirnya bisa bangun dengan tubuhnya bersandar di dinding.

Haidar langsung saja menaruh piring itu di tangan Damar yang di balas dengan tatapan dari temannya itu.

Suasananya terasa sangat canggung saat Damar memulai makannya. Damar yang makan tanpa memedulikan apa-apa dan Haidar yang kadang mencuri pandang ke arah temannya itu.

Haidar sengaja batuk saat Damar sudah selesai makan. Bahkan suaranya terdengar jelas kalau saja Haidar melakukannya dengan sengaja.

Cepat-cepat Haidar mengambil piring kotor itu untuk ia letakkan di dapur, tidak lupa ia juga mengambil minum untuk Damar meminum obatnya.

Haidar dibuat kesal lagi setelah kejadian membangunkan Damar sebab Damar yang terus menolak untuk meminum obat dengan alasan obatnya terasa pahit.

"Namanya obat itu pait! Kalo manis, tuh, Insana!"

Haidar bersungut-sungut seperti akan ada tanduk yang muncul di kepalanya kalau ia terus saja marah.

"Jangan kayak anak kecil, anjing! Pusing gue"

Damar hanya menggeleng kecil dengan tangannya memijat pelipisnya pelan.

Pada akhirnya Haidar melarutkan obat itu dengan air dan tambahan gula. Sungguh ini memalukan, rasa kesal Haidar menguar begitu saja. Ngomong-ngomong ini mengingatkan Haidar ketika ia berusia 5 tahun.

Setelah Damar mau meminum cairan obatnya, Haidar langsung saja mematikan lampu kamar. Ini sudah terlalu malam. Beberapa jam lalu hanya ia habiskan dengan merawat Damar yang ternyata banyak mau.

Dirasa Damar sudah tenang, ia tidur menghadap dinding sedangkan Damar tidur terlentang.

Akhirnya ia tidur juga.

Tanpa di duga sekitar pukul dua dini hari Damar terbangun dan terus merengek pada Haidar. Ia mengeluh kepalanya terasa pusing dan berat, lalu bahu dan punggungnya yang terasa sakit. Ya, wajar saja seharian dia sakit dan terus tertidur.

Haidar malas menanggapi temannya itu, ia ngantuk pasalnya semalam ia tidur jam sebelas karena merawat Damar. Mungkin sebagian orang biasa saja tidur di jam-jam itu tapi bagi Haidar itu rekor terbaru nya.

Haidar juga merasa cukup aneh mendengar rengekan temannya.

"Sakit ..."lirih Damar yang terus saja grasak-grusuk di samping Haidar.

Lenguhan Damar terus saja terdengar disampingnya bahkan terkadang telinga Haidar dapat mendengar temannya itu sesekali meringis seperti menahan tangis. Kalau begini kan Haidar mana tega. Rasa kasihannya terlalu besar.

Jadi ia mendudukkan dirinya kemudian mendengus keras. Melirik tajam orang disampingnya walaupun hanya gelap yang ia lihat.

Haidar bangun dari kasur dengan mata yang masih setengah terpejam untuk menyalakan lampu kamar lalu memasukkan kembali handuk kecil tadi kedalam baskom berisi air. Dengan telaten ia memeras handuk itu dan menaruhnya di kening Damar.

Haidar melihat alis Damar yang masih saja menukik, kepalanya juga kesana kemari membuat kompresan itu terlepas membuat Haidar ingin menampar wajah temannya dengan kompresan.

Haidar menghela nafasnya lelah melihat kelakuan temannya yang baru sehari jika dihitung itu pindah.

"Lo mau apa coba ngomong,"

"Baru jam segini, jadi lo gak bisa minum obat lagi. Nanti pagi aja" sambungnya pada Damar.

"Dam, ngomong lo maunya apa? Gue tau lo sakit. Jadi, gue harus gimana?"

"Sakit ..."sahut Damar pelan yang membuat Haidar lagi-lagi menghela nafas dibuatnya.

Sifat Damar yang Haidar rekam dalam kepalanya kemarin terasa berbeda. Apa karena sakit Damar jadi aneh begini?

Haidar memutuskan mendekat dan duduk di pinggiran kasur. Menatap Damar yang terus-menerus bergerak-gerak tidak karuan lalu memilih untuk memijat bahu sang teman.

"Sakit."

Ia membawa tangannya dari bahu menuju kepala. Bergerak memutar dan menekan pelan area mata serta alis.

Terus saja Haidar melakukannya sampai menahan matanya agar tidak terpejam karena ngantuk.

Dilihat tidak ada pergerakan dari Damar, Haidar memutuskan untuk kembali membaringkan tubuhnya di kasur. Biarlah lampu kamarnya menyala, Haidar lelah memainkan saklar lampu itu. Ia bersiap-siap untuk kembali tidur.

Baru saja ingin tidur nyenyak, lenguhan Damar kembali terdengar membuat Haidar merasa antara ingin menangis dan tertawa.

"Dam, tidur, ya? Gue ngantuk banget"

Damar yang sakit ternyata merepotkan. Walaupun ia jadi lebih banyak berbicara bagi Haidar lebih baik Damar yang acuh tak acuh. Tidak merepotkan sama sekali.

"Sakit ..."

Haidar memutar otaknya. Biasanya jika dia sakit hal apa yang membuatnya merasa nyaman?

Dengan cepat tangannya membawa kepala Damar berada di lengannya kemudian tubuhnya menghadap ke arah Damar.

Tangan satunya menuntun Damar untuk menghadap ke arahnya kemudian mengelus punggung Damar atau sesekali menepuk nya pelan.

Haidar juga sesekali menyenandungkan lagu penghantar tidur.

Sebenarnya Haidar sendiri antara geli atau jijik ketika menyadari kelakuannya tapi mau bagaimana lagi.

Tangannya yang berada di bawah kepala Damar itu ia fungsikan untuk memeluk kepala sang teman dan sesekali memijat nya.

Terlihat temannya itu tidak menolak bahkan lenguhan yang terdengar keras tadi sudah tidak terdengar.

Merasa nyaman dengan posisi seperti ini, Damar membawa tubuhnya semakin mendekat dan kepalanya semakin masuk. Membuat dagu Haidar tepat berada di pucuk kepalanya. Tangannya terulur kebelakang lalu memegang pundak Haidar.

Damar bisa mencium aroma keringat tepat di depan hidungnya, tapi itu sama sekali tidak mengganggu. Baunya enak menurut Damar.

Sedangkan Haidar sendiri terlihat diam mencoba memastikan apa yang terjadi.

'Situasi macam apa ini?!' Haidar masih belum menerima semuanya, kenapa jadi begini? Ini terjadi bukan seperti pemikirannya.

"Anjing, kok jadi gini"gumam Haidar.

Just FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang