16. Sesuatu yang Haidar ingin tau

657 58 4
                                    

Akhir pekan ini pada bulan April, Haidar bangun pagi-pagi sekali sekitar jam 5 pagi. Ia sibuk dengan sekeranjang pakaian kotor di pojok pintu, suaranya lumayan keras membuat Damar yang tengah tidur tengkurap itu perlahan menyipit bangun.

"Dar?"

"Apaan?" Haidar menjawab sembari sibuk memilah-milah pakaian kotor mereka berdua.

"Mau kemana?" Matanya yang masih ngantuk itu ia coba menelisik perawakan Haidar di tengah remang-remang cahaya kamar.

"Nyuci baju lah, anjir. Segunung nih, lo bisanya ngotorin baju" balas Haidar sewot.

"Masih pagi... Biasanya siang."

"Gue mau main ke rumah nenek gue, jadinya gue awalan beres-beres biar ga kesiangan ke sana"

"Nenek?" Tanya Damar, suaranya terdengar serak tidak jelas efek dirinya baru bangun.

"Udah lama gue gak main ke rumah nenek gue. Terakhir waktu lo baru ke sini"

Damar hanya ber'oh' ria tanpa ba-bi-bu lagi melanjutkan tidurnya tak memperdulikan Haidar yang mencibir dirinya.

"Anjing emang tu orang" gumam Haidar jengkel.

Selesai Haidar beres-beres dan mandi tepat pada jam 10 pagi bahkan ia sendiri juga sudah menyempatkan untuk memasak beberapa lauk serta sayur yang ia taruh di atas meja guna menjejali mulut temannya itu.

Haidar menyahut kunci motor serta helm yang tergeletak di dekat TV lalu melongok sebentar pada Damar yang masih terbaring seperti ikan asin di kasur.

"Dam, kalo mau makan tinggal liat di dapur, udah gua masakin, gue cabut"

Sebelum Haidar hendak menutup pintu kamar, Damar bangun tergesa-gesa dan bertanya, "Mau kemana?"

"Nanya mulu lo, anjir. Ke rumah nenek gue!"

"Gue?" Tanya Damar sembari menunjuk diri sendiri dengan wajah bantalnya.

"Ya, terserah lo mau ngapain,"

"Ikut..."

"Njing! Gak, ah!"

Mendengar penolakan cepat Haidar, Damar ngibrit bangun begitu saja dengan mata yang berusaha ia buka. "Gue ikut"

Haidar mengacak-acak rambutnya frustasi, "Dari tadi, kek! Udah mau berangkat aja lo baru bangun mau ikut"

Sementara Damar yang tengah sibuk bersiap-siap, Haidar duduk cemberut di ambang pintu kosnya, melirik jam di hp nya lalu saking kesalnya ia menampar lututnya sendiri.

"Cepet, Dam. Ah, elah lo! Udah siang, nih!"

Damar melirik Haidar dibelakangnya, kadang-kadang matanya ikut menilik ekspresi Haidar melalui kaca spion motor. Sedangkan sang pemilik memasang muka masam, siap menyemprotkan pisuhannya pada Damar.

"Belok ke kiri"

Lamunan Damar buyar ketika mendengar perintah Haidar segera ia mengikuti instruksinya.

Perjalanan yang di lalui dengan cuaca mendung dan angin sepoi-sepoi membuat siapapun merasa senang tapi berbeda lagi dengan Haidar dan Damar yang tengah perang dingin. Atau bisa di bilang Haidar tengah merajuk membuat suasana yang tentram tak lagi menyenangkan. Salahkan saja Damar.

Sore hari ketika zamrud khatulistiwa di warnai berbagai warna menyala yang menggantung di langit halaman belakang rumah neneknya, Haidar dan Damar tengah terbaring di bangku bambu yang sudah ada sejak Haidar menginjakkan kakinya saat kecilnya dulu.

Bambu kuning yang telah menghitam itu banyak memberikan Haidar potongan-potongan kecil kenangan yang hampir saja ia lupakan. Semuanya muncul satu persatu seperti tetesan embun. Kakeknya, mbah Yon, serta ibu dan ayahnya.

Semilir angin membuat Haidar memejamkan matanya, mereka terdiam saat rasa ngantuk menyerang usai disodorkan berbagai macam jenis makanan oleh neneknya tadi.

Damar menoleh saat mendengar pintu di sampingnya berderit memunculkan sesosok tubuh bungkuk nenek Haidar yang melangkah keluar. Langkah kaki yang patah-patah menghampiri mereka berdua membuat Damar langsung saja terduduk di atas bangku bambu itu.

"Wes tidur aja, gapapa" ucap cepat nenek Haidar yang dibalas anggukan canggung Damar. Mau bagaimana lagi, Damar segan.

Nenek Haidar duduk di pinggir bangku bambu tepat di samping Haidar sendiri yang sedang tidur, entah sang empu benar-benar tidur atau tidak.

Tangannya terangkat menyusuri rambut cepak Haidar, matanya menatap lekat-lekat cucunya itu, "Idar, piye kabare Yuni?"

Hanya kediaman yang mengisi jawaban sang nenek sebelum suara pelan Haidar terdengar.

"Baik, nek"

"Alhamdulillah"

Haidar membuka matanya menatap warna-warni jingga di atas langit yang menyatu dengan suara semilir angin, suasana seperti ini membuat pikirannya melayang tak memperdulikan tatapan seseorang di sampingnya.

Ingatannya kembali pada waktu itu, saat ia berumur 3 tahun. Ya, yang Haidar tau waktu itu ibu dan ayahnya tidak bersama, begitu yang kakeknya bilang. Lalu sesaat umurnya menginjak 5 tahun ia benar-benar mengerti kalau kedua nya sudah bercerai.

Ayah dan ibunya dulu menikah karena perjodohan serta umur yang matang membuat mereka dituntun untuk cepat menikah. Begitulah kisah keduanya dimulai.

Pernikahan kedua orang tuanya hanya bertahan selama tiga tahun sama seperti umur Haidar kala itu, ayahnya memutuskan pergi entah kemana dan ibunya pun begitu. Setelah itu Haidar tinggal bersama nenek dan kakeknya, mereka lah yang merawatnya sebab ibunya bilang ia pergi karena sedang bekerja tapi pada saat umurnya beranjak 5 tahun Haidar diam-diam paham kalau keduanya sudah bercerai dan ibunya menikah lagi.

Dulu, setahun sekali biasanya ibunya akan pulang mengunjungi kakek neneknya, makan bersama lalu mengobrol dengannya di bangku bambu belakang rumah, tepat disini di bangku yang menghitam ini. Sedangkan ayahnya tidak pernah datang tapi ia akan menelepon nya ketika memiliki waktu, sampai umurnya 8 tahun ibu bahkan tidak pernah pulang ke rumah nenek kakeknya dan ayahnya sudah jarang menghubunginya. Ia sendiri pun sepertinya perlahan mengerti jadi ia tidak bertanya-tanya apa-apa tentang orang tuanya itu, tapi kadang nenek dan kakeknya akan memberitahu bahwa orang tua nya merindukan nya walaupun entah itu benar atau kakek neneknya hanya berbohong.

Sejak saat itu sampai sekarang, Haidar tidak pernah berinisiatif menghubungi kedua orang tuanya, bahkan terkadang ia lupa bagaimana rupa ibunya atau ayahnya sendiri. Rasanya sudah lama sekali.

Dan setiap bulan ibu dan ayahnya akan rutin memberinya biaya sekolah maupun hidupnya. Jumlahnya besar, cukup bagi Haidar untuk berfoya-foya walaupun ia tak melakukan itu, bagi Haidar selagi keduanya memberinya uang itu sudah cukup, ia tak meminta yang lainnya.

Sekarang ia hanya tau kalau ayahnya sudah menikah sampai empat kali serta ibunya sudah memiliki keluarga baru dan memiliki anak laki-laki berumur 6 tahun di pernikahannya yang kedua ini. Mungkin itu sebabnya beberapa hari yang lalu ibunya mengirim nya pesan kalau ia akan memotong uang sakunya.

Haidar tidak pernah mengungkit-ungkit apapun kecuali jika neneknya bertanya, ia tidak pernah ingin tau apa yang sedang di lakukan keduanya, hanya biarkan, mereka sudah memiliki kehidupannya masing-masing begitupun Haidar sendiri.

Ia tidak pernah merasa kehilangan kecuali saat kakeknya meninggal. Mungkin saja dulu pernah tapi ia lupa bagaimana rasanya karena itu sudah lama sekali saat usianya 5 tahun.

Perasaan untuk kedua orang tuanya hanya rasa keterasingan. Tapi kadang-kadang pikiran kecil terbesit di benak nya, lahirnya Haidar bukan apa-apa, ia suatu kesalahan dari orang tuanya hanya nenek dan kakeknya yang menginginkannya atau apakah nenek dan kakeknya juga terbebani?

Just FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang