Haidar membuat bubur lagi. Tangannya mengaduk-aduk beras yang sebentar lagi menjadi bubur. Haidar tidak ikhlas sebenarnya membuang-buang beras dan tenaga. Tapi apa boleh buat, ia harus mengumpulkan pahala.
Damar membuat Haidar ingin terus-terusan mengumpat.
"Ah!" Haidar mengusak rambutnya dengan kasar membuat rambutnya acak-acakan. Sudah persis seperti penampilan mahasiswa akhir yang di kejar sidang skripsi.
Haidar kembali ke kamar dengan bubur dan air putih yang ia bawa. Untuk siapa lagi kalau bukan si Damar, Damar itu. Lihat saja kalau Damar sampai tidak mau makan.
Haidar menaruh dulu mangkok berisi bubur itu di atas meja kecil yang terletak di dekat kasur.
Haidar menyodorkan segelas air putih,"Dam, minum dulu."
Damar hanya melenguh lalu memunggungi Haidar.
"Gue udah buatin bubur lagi, dimakan. Habis itu lo bisa minum obat"
Tak mendapat respon membuat Haidar mengulum bibirnya lalu pergi karena kesal.
Selang beberapa menit ketukan pintu kos nya terdengar. Haidar dengan cepat melesat membukanya.
Terdapat bapak-bapak dengan setelan dan helm hijaunya yang khas menyodorkan sekantong plastik berwarna putih kedepan dada Haidar.
Ia menaikan alisnya terkejut. Sebelum ia sempat bertanya suara orang didepannya menginterupsi.
"Mas Damar, ya?"
Haidar masih terlihat berdiam diri tapi setelah mendengar kata Damar kepalanya langsung mengangguk perlahan.
"Ini, Mas, orderannya"
Setelah menerima pesanan itu Haidar tampak menatap kepergian bapak-bapak itu dengan linglung. Segera ia menutup pintunya menunju kamar saat dirasa ia sudah tersadar dari lamunannya.
Sesampainya di situ ia melihat Damar yang masih terbaring di kasur.
Ia meletakkan plastik putih itu di atas meja kecil.
Mendapati Damar yang masih tertidur kaki kiri Haidar dengan sengaja mendorong pantat Damar sambil berkata, "Ini pesenan lo udah dateng."
Mendengar perkataan Haidar, Damar langsung terburu-buru duduk di kasur. Ia menatap Haidar yang tersenyum kecil lalu melegang pergi meninggalkannya sendiri di kamar.
Damar melirik mangkok berisi bubur yang Haidar buat di meja kecil dan disampingnya pula terdapat plastik sedang berwarna putih.
Saat di dapur Haidar terlihat termenung sebentar kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum kecut.
"Anjir, cilok gue jadi dingin!" Haidar berseru saat melihat mangkok kecil di meja patri yang sudah tidak mengeluarkan uap.
Kalau sudah dingin begini nikmatnya sudah berkurang.
Ia memandang cilok di depannya lalu mengalihkan pandangannya pada pintu kamar yang terbuka lebar.
Kakinya berjalan menuju kamar lagi. Ia berniat ingin mengambil kembali bubur yang tadi sempat ia berikan pada Damar.
Suasananya jadi terasa canggung saat matanya bersitatap dengan mata Damar. Ia sedang duduk di pinggiran kasur, memakan makanannya yang tadi ia pesan.
Damar terlihat menundukkan pandangannya menatap bubur ditangannya yang ia pesan tadi. Jari-jarinya bergerak kecil.
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa saat sebelum Haidar berdehem kecil.
"Ekhem"
"Oh, iya, gue mau nanya, bubur tadi pagi kenapa bisa gosong?"tanya Haidar melirik Damar yang masih menunduk.
"Gue gak bisa masak"jawabnya lirih.
"Gue cuma nyuruh lo matikan kompornya kalo airnya udah ilang, itu doang, gak bisa?"
Mata Damar terlihat kesana-kemari sebelum menjawab "Gue gak tau cara matiin kompornya."
Haidar melotot kaget. Demi apapun, bahkan Damar tidak tau cara mematikan kompor? Manusia belahan bumi mana yang tidak tau cara mematikan kompor? Jika tidak bisa masak Haidar akan memaklumi. Tapi ini? Wah, luar biasa.
"Gue gak pernah ke dapur kalo di rumah, makan selalu mama yang ambilin"lanjutnya pada Haidar.
Haidar ingin berseru kembali sebelum perkataannya ia telan bulat-bulat.
"Ya, udah makan aja, ntar minum obat."
Damar tak kunjung menyuapkan bubur itu ke dalam mulutnya. Ia malah doyan hanya memperhatikan bubur itu.
Damar memperhatikan Haidar yang berdiri tidak jauh darinya lalu beralih ke tangan Haidar yang menggenggam mangkok berisi bubur.
Haidar hanya memperhatikan gerak-gerik Damar. Menatap sekilas temannya yang tak kunjung memakan bubur yang ia pegang lalu ia segera pergi keluar meninggalkan Damar.
Haidar selonjoran di atas karpet depan TV. Memakan bubur itu dan cilok yang ia beli sebagai lauk dengan khidmat.
Damar keluar dari kamar guna membuang kantong plastik tapi ekor matanya menemukan Haidar tengah makan sambil menonton TV.
Saat Damar melihat mangkok hijau itu di tangan Haidar matanya tiba-tiba menunduk lagi.
Haidar yang merasa Damar berdiri di dekatnya pura-pura tidak tau. Ia tetap melanjutkan makannya.
Mangkok bubur sudah terlihat kosong begitupun dengan bungkus jajanan dari kantin. Soal perut sudah aman tinggal melanjutkan nontonnya saja.
Tapi rasanya Haidar ngantuk berat. Setelah perutnya kekenyangan selalu saja matanya mengantuk.
Haidar sudah tidak kuat bahkan hanya untuk membuka mata, ingin langsung tidur saja. Tapi, suasana canggung di antara keduanya sejak tadi membuat Haidar enggan tidur di kamar.
Tapi ... Tidur di karpet tipis begini pun Haidar takut kejadian 10 tahun lalu terulang. Dimana ia kerasukan setan karena tidur dilantai hanya beralaskan karpet tipis.
Jadi ia agak was-was jika tidur di sembarang tempat. Kalau tidur, ya, harus di kasur dengan amben setinggi dengkulnya. Makanya jika dilihat di kamar kos yang lain pasti hanya kamar Haidar yang menggunakan amben.
Sebenarnya itu petuah dari seorang dukun. Percaya tidak percaya Haidar mengikuti sarannya saja. Yang penting tidak membahayakannya sama sekali.
Pada akhirnya Haidar tidak tidur, ia menghabiskan sore ini dengan bermain HP. Membalas pesan dari seseorang yang kadang membuatnya terkekeh geli.
Setidaknya suasana hati Haidar bisa terhibur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friends
FanfictionHaidar dan Damar merupakan murid di salah satu SMA swasta, teman satu kelas pula. Tapi keduanya tidak pernah berinteraksi, kebetulan mereka menjadi teman satu kos. Lalu ada rasa suka diantara salah satu dari mereka. [Cerita ini mengandung unsur LGB...