14. (tak berjudul)

869 94 7
                                    

Dalam perjalanan pulang ke kos, Haidar terpaksa menyambangi tempat potong rambut terlebih dahulu untuk merapikan rambutnya yang petal.

Sudah tidak ada harapan untuk rambutnya agar gondrong, malahan ia terpaksa harus mencukur habis rambutnya. Gaya rambut dengan model cepak.

Saat ia melihat kaca besar tepat di depannya, matanya bersitatap dengan sang pencukur membuat Haidar tersenyum kecut.

"Mas ... " Panggilnya.

"Wuapik tenan iki kok, dek, wes guanteng!"

Perkataan tukang cukur guna menghiburnya itu malah membuat Haidar semakin memasang wajah tertekan.

Haidar keluar dari tempat cukur, kemudian menaiki motornya sembari menelusuri toko di pinggir jalan yang biasanya khusus menjual barang dengan harga murah. Biasa orang-orang menyebutnya toko '35'.

Haidar mampir hanya untuk membeli topi hitam polos guna menutupi rambutnya yang langsung saja ia pakai ditempat. Narsis begini, sebagai laki-laki yang memegang teguh kalau rambut adalah pengaruh terkuat ketampanan seseorang, Haidar tidak pede karena gaya baru rambutnya.

Kemudian, ia melajukan kembali motornya ke kosan setelah beres berbelanja sayur di pasar lokal.

Memasuki ambang pintu kosan, tanpa Haidar duga-duga matanya bertemu pandang dengan manik gelap milik wanita paruh baya yang kini sedang duduk di samping Damar. Haidar tersenyum tipis tapi nyatanya tak di gubris. Nampak kalau wanita paruh baya itu tidak memiliki kesan baik padanya.

Damar pandangi Haidar yang melengos ke dapur meletakkan belanjaannya, menaruh helm lalu pergi ke kamar untuk ganti baju.

Keluar dari kamar Haidar tidak menemukan Damar sama sekali, hanya sang ibu yang berdiri cemberut memegangi tas mahalnya, menelisiknya dari atas sampai bawah. Habis sudah kalau begini.

"Namanya temen itu saling ngebantu, gak usah yang satu enak-enakan terus temennya disuruh kerja yang keras-keras" ia menoleh dengan enggan lalu melanjutkan, "kasian anak saya kalo sakit lagi padahal baru aja ke sini" Nada sarkas terdengar melambung dari bibir merah cerah ibunya Damar.

Kaki nya yang nampak masih kencang walaupun berumur sudah tidak matang membuktikan kalau perawatannya tidak main-main itu ikut menghakimi. Mengentak-entak di lantai.

Wanita itu mendengus keras menatap nya dengan tatapan rendah ingin menghabisi, seperti saat Haidar melihat cicak di kamar mandi tadi pagi.

Haidar mengkerut jadinya. Sesungguhnya Haidar ingin mengumpat saja rasanya. Membalas pun percuma membuang waktu juga tenaga, lebih baik doakan saja dalam hati semoga cepat dapat hidayah nya.

Wanita itu pergi berpamitan dengan Damar yang hendak masuk dari luar. Mereka berdua bertukar kata sedikit yang sebenarnya Haidar tidak ingin tau tapi melihat dari ekspresi sang ibu berubah dari merah ke hijau lalu hijau ke hitam bisa dipastikan kalau ia sedang jengkel.

Wanita itu keluar tanpa membawa pergi bau parfum yang menusuk hidung Haidar. Ia jadi ikut kesal kalau begini.

Enak-enakan apanya? Kerja keras siapa? Haidar sambat untuk kesekian kali, ia merasa di aniaya karena disalahpahami. Bukankah harusnya Haidar yang dikasihani? Ia di perbudak tanpa gaji!

Kalau dari awal ibunya Damar berspekulasi seperti itu, apa boleh buat, Haidar tidak akan mengecewakannya. Dengan senang hati memenuhi ekspektasi nya. Hehe, Haidar tidak sabar mengerjai teman satu kos nya itu.

Suasana hati Haidar tiba-tiba berfluktuasi. Hatinya tak lagi suram seperti guru olahraganya saat tau ia melanggar peraturan sekolah kala itu.

Haidar diam-diam tersenyum manis tapi tidak sampai pada matanya. 

Just FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang