Paginya Haidar bangun dengan keadaan linglung. Lengannya juga terasa keram. Pasti karena semalam beralih profesi menjadi bantal temannya itu.
Haidar tidak melihat Damar disampingnya. Kasurnya itu kosong hanya diisi dengan sprei yang berantakan.
Seperti biasa Haidar ini kalau bangun tepat pukul enam jadi ia memutuskan untuk langsung mandi.
Saat mengambil handuk di belakang pintu dan ingin keluar dari kamarnya, Haidar dan Damar hampir saja bertabrakan di depan pintu.
Damar terlihat sudah berganti pakaian dengan kaos biasa, wajahnya juga terlihat basah tetapi masih saja pucat. Mungkin ia masih sakit jadi belum ingin masuk sekolah.
Dengan cepat Haidar bergeser dan pergi untuk mandi. Ia kalau mandi tidak butuh waktu lama, paling hanya sabunan dan gosok gigi.
Selesai mandi ia dengan cepat menggunakan seragam, sisiran, mengambil buku-buku sesuai jadwal pelajaran bahkan ia menyempatkan untuk selalu sarapan kali ini.
Sarapan pagi ini ia hanya makan dengan sosis sisa semalam, sedikit ia tabur pilus pula, ini sudah enak tidak perlu repot-repot sarapan dengan yang lain.
Haidar lupa ia sudah sekamar dengan Damar, terlebih Damar sakit tapi waktunya tidak cukup untuk memasak yang lain.Haidar berinisiatif membuatkan bubur saja.
Dengan cepat Haidar meracik bumbu untuk bubur yang akan ia masak, kuah bubur lebih tepatnya. Cukup dengan kaldu ayam dan beberapa bumbu lagi yang ia masukan.
Mencuci beras lalu ia masukan ke dalam panci dengan takaran air yang pas untuk membuat bubur.
Haidar tak punya waktu lagi, lihat jam sudah mendekati pukul tujuh. Dengan begitu ia berlari kecil mengintip Damar di kamar.
"Dam? Lo tidur?"
Damar terlihat terganggu tapi apa boleh buat, Haidar harus membangunkan nya.
"Dam?"
"Hng?"
"Gue lagi buat bubur, sebentar lagi jadi tapi udah mau jam tujuh, nih. Kalo airnya udah gak keliatan lagi, lo bisa matikan kompornya gak?"
"Hem"
"Ntar lo makannya pake bubur aja, kalo mau nambahin lauk atau apa, lo cari aja di kulkas"
Setelah berpesan seperti itu, Haidar langsung saja ngacir keluar kosan nya dengan helm di kepalanya dan sepatu di tangannya.
Ia sudah buru-buru tidak ada waktu untuk basa-basi lagi. Tapi paling tidak ia menyapa orang-orang yang juga terlihat keluar dari kos nya, berkumpul di parkiran untuk membawa kendaraannya ikut pergi. Pagi hari semua orang sibuk dengan urusan, entah itu kerja atau sekolah.
Parkiran sekolah sudah terlihat penuh, bahkan ada saja yang tidak teratur memarkir motor. Tapi bukan Haidar kalau bingung-bingung bagaimana memarkirkan motornya itu, ikut saja nyumpel di antara motor yang lain. Masalah susah untuk dikeluarkan itu nanti saja saat ia pulang.
Pagi ini akhirnya Haidar mengatakan kalau Damar absen karena sakit, kasian juga kalau anak itu sampai alpha tanpa keterangan.
Dan Haidar menyambut senang pelajaran pertama, matematika. Ia suka bukan berarti menguasai mata pelajaran itu.
Ya, hanya suka saja bagaimana teman-temannya frustasi jika di beri soal dengan deretan angka yang cukup membuat pusing kepala, terlihat lucu. Bahkan terkadang sampai membuat Haidar tertawa terbahak-bahak sendiri.
Saat mata pelajaran kedua, tiba-tiba saja ada informasi kalau guru-guru sedang rapat hingga sore nanti yang artinya mereka tidak akan belajar dan mereka di perbolehkan untuk pulang. Lebih baik begitu sih, kalau di sekolah terus tidak belajar juga percuma.
Haidar memutuskan untuk ke kantin dulu, membeli beberapa camilan yang hanya tersedia di kantin sekolah. Haidar itu kuat makan tapi camilan juga tidak ketinggalan. Pantas saja perutnya tidak pernah kempes sama sekali.
Haidar bingung, pagi hari begini ia harus melakukan apa, kalau ke kos juga pasti hanya akan repot merawat Damar yang sakit.
Dan juga kejadian malam tadi membuat Haidar sedikit canggung, tapi sepertinya Damar terlihat biasa saja.
Ia bahkan sudah menatap Haidar seperti hari biasanya. Dugaan Haidar bahwa Damar sudah sembuh. Kesadarannya sudah kembali.
Mungkin saja benar karena saat pertama kali Damar membuka mata ia bahkan kaget melihat dirinya berada di pelukan Haidar.
Bahkan di saat mereka berpapasan Damar terlihat gugup walaupun tidak terlukiskan dengan benar di wajahnya tetapi melihat Haidar yang seperti tidak memikirkannya dan langsung pergi ke kamar mandi membuat Damar lega.
Kedepannya Damar perlu mencegah agar ia tidak jatuh sakit lagi di hadapan Haidar kalau tidak ia tidak tau bagaimana respon temannya.
Mau tidak mau, Haidar pulang ke kos untuk mengecek keadaan temannya itu. Dia juga tidak bisa keluar main seperti biasa, ya, mau bagaimana lagi temannya sedang sakit tidak etis kalau ia meninggalkannya untuk pergi main.
Motor maticnya melaju di jalanan yang terlihat sepi, dengan angin sepoi-sepoi membuat Haidar memejamkan matanya sebentar.
"Enak banget hawanya,"gumam Haidar sambil memelankan laju motornya.
Cuaca disini sangat tidak menentu, kadang panas seperti akan memanggang orang hidup-hidup lalu tiba-tiba saja hujan deras seperti tidak ada hari lain untuk turun hujan.
Haidar melihat tukang cilok mangkal di pinggir jalan, baunya bahkan sampai ke hidung Haidar. Ia ragu apakah harus membelinya atau tidak, seharusnya sih tidak, ia memilih untuk hemat.
Jangan percaya Haidar kalau soal perut, bilangnya saja tidak tapi ditangannya sudah terdapat sekantong cilok yang masih panas.
Parkiran di kos nya sangat sepi, hanya beberapa motor yang terparkir. Cepat-cepat Haidar masuk ke dalam kos nya.
Ia akan ganti baju lalu makan. Ini bahkan belum siang tapi lihat sudah berapa kali ia makan. Cukup hentikan cita-cita nya yang ingin memiliki perut kotak-kotak.
Setelah membuka sepatu dan menaruh helm, Haidar pergi ke dapur untuk mengambil mangkuk. Menuangkan cilok kuah yang ia beli. Hanya aromanya saja membuat ia tersenyum senang.
Haidar berlari ke kamar untuk ganti baju dan menaruh tas nya. Lagi-lagi pemandangan di kamar itu hanya ada Damar yang sakit. Haidar menyelip dibelakang pintu untuk ganti baju.
"Dam, udah makan?"
Tak ada jawaban membuat Haidar mendekat dan mencoba mengecek suhu tubuh Damar. Masih panas tapi sudah tidak seperti tadi malam.
Haidar mengangguk-angguk senang.
"Dam? Lo udah minum obat belum?"
"Hmm"
"Hah? Udah?"
"Belum, pait"
Haidar cemberut mendengarnya. Ia tidak suka merawat orang sakit yang banyak maunya.
"Lo udah makan buburnya belum?"
Damar diam memberi gumaman tidak jelas membuat Haidar mendengus kasar.
Haidar kembali ke dapur. Ia melihat panci bubur itu terlihat hitam dan kerak kering yang meluber keluar.
Haidar membuka panci yang masih terletak di atas kompor.
Niat ingin menikmati cilok yang masih panas tapi sekarang malah kepalanya yang terasa panas.
"Tuhan ... " lirih Haidar yang sedang meratapi nasib melihat bubur yang ia buat tadi terlihat keras bahkan bawahnya sudah gosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friends
Fiksi PenggemarHaidar dan Damar merupakan murid di salah satu SMA swasta, teman satu kelas pula. Tapi keduanya tidak pernah berinteraksi, kebetulan mereka menjadi teman satu kos. Lalu ada rasa suka diantara salah satu dari mereka. [Cerita ini mengandung unsur LGB...