Pertemuan kembali

120 24 5
                                    

Renjana masih marah kepada Rajendra, dia bahkan tidak mau bertegur sapa dengan Rajendra saat di rumah, tapi jika di sekolah mereka memang jarang terlihat bersama kehebohan minggu lalu saat Rajendra ada di tengah-tengah perkelahian antara Baron dan Renjana sudah reda di hantam waktu.

Saat memasuki kantin Renjana melihat dua meja bersebelahan tapi orang-orang disana seperti jauh; tidak mengenal satu sama lain.

Di meja kiri ada adik bungsu nya Lulut bersama teman-teman nya di bangku kanan ada Rajendra, Naradipha dan juga Kenzie. Kenzie memperagakan hal yang konyol membuat kedua temannya tertawa terbahak.

Lirikan tajam mereka dapatkan dari penghuni kantin, mereka merasa tidak nyaman karena tertawaan itu apalagi tawa Rajendra yang sampai putus-putus seperti itu. Renjana ikut tersenyum melihat adik-adiknya.

Renjana kembali memakan bekalnya sendiri di atap sekolah, menghabiskan bekal buatan Bunda sudah membuat kenyang. Renjana Arutula memang tidak memiliki teman sama sekali, ia terlalu malas untuk berteman dengan manusia, mereka sangat merepotkan lebih baik ia belajar untuk mencapai tujuannya.

Renjana akan kembali mencoba bicara dengan ayah perihal rencananya, mengingat itu membuat dadanya bergemuruh, di tambah tidak ada yang mendukungnya sama sekali, bahkan kembarannya.

Suasana hati Renjana semakin memburuk! Tiba-tiba ban motornya bocor di tengah jalan mana bengkel masih jauh dari sini, terpaksa ia harus mendorong motor kesayangannya di tengah terik matahari ini.

"ANAK KURANG AJAR! UDAH GUE BILANG! KERJA YANG BENER! KALO LO NGGAK KERJA KITA MAKAN DARI MANA."

Mata Renjana membulat sempurna melihat adegan kekerasan di ujung trotoar, parahnya semua manusia disana tidak ada yang mau mengulurkan tangan untuk membantu.

Sedangkan disana Narwasita berharap Ia mati saja hari ini, jemput saja ajalnya Tuhan! Narwasita tidak sanggup lagi hidup dengan laki-laki brengsek seperti Ayah nya.

Seluruh anggota tubuhnya sakit, Ia tidak punya tenaga untuk melawan. Narwasita pun anak tunggal Ia tidak punya sodara untuk di andalkan. Di ujung ke putusan, pukulan dari balok kayu itu berhenti. Berganti dengan suara hantaman pada aspal.

Ayah Narwasita menggeram marah, membanting balok kayu itu ke aspal, dia pergi sebelum orang-orang melaporkan kekerasannya ke kantor polisi.

"Teh? Teteh bisa berdiri? Jangan takut, dia sudah pergi."

Renjana mengulurkan tangan untuk membantu perempuan itu. Ini terasa aneh, biasanya Ia tidak begitu peduli dengan urusan orang lain tapi saat melihat perempuan ini di pukul rasa kemanusiaan bergejolak ingin membatu, adegan kekerasan tadi mengingatkannya pada seseorang yang Ia sayang.

•••••

Sudah tiga malam Renjana merasa aneh dengan dirinya, terkadang jantungnya akan berdegup tidak keruan kadang senyumnya terukir tanpa dirasa,kejadian di hari hujan itu merubah segalanya, ada rasa ingin melindungi, ada rasa yang tidak bisa Renjana tafsir—kan.

Apa dia sudah gila gara-gara mendekati ujian Nasional? Renjana mengabaikan rasa aneh tersebut dia memfokuskan diri kepada buku-buku, semoga saja perasaan itu cepat hilang lalu kehidupan Renjana akan kembali tenang.

“Mau mie? Di luar masih hujan, enak kayanya kalo makan yang anget-anget.”

Bekas luka di sudut gadis itu terlihat seperti Srikandi, bukanya karakter wayang itu sangat mengagumkan seorang gadis ikut berperang bersama para lelaki, saking kagumnya dengan Srikandi, Renjana sampai lupa jika gadis di depannya ini sedang menunggu jawaban.

Renjana menganggukkan kepala tanda setuju, namun untuk sekarang Ia bukan hanya butuh makan tapi juga kamar mandi, dengan begitu Narwasita menunjukkan jalan menuju kesana.

Dari dalam kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari dapur, Ia bisa mendengar bunyi bungkus mie yang dibuka meskipun samar-samar tertimpa dengan suara hujan.

Takdir itu memang lucu, Renjana dipertemukan kembali dengan gadis yang Ia paksa berlari waktu itu, kesan pertamanya dengan Narwasita tidak cukup baik, Renjana menanggap gadis itu sarkas dan juga kasar, cukup liar untuk ukuran perempuan.

Akan tetapi Narwasita memiliki daya tarik untuk membuat Renjana tidak bisa berkutik di hadapan gadis itu, matanya? Mungkin atau keberaniannya? Berani? Tidak juga gadis itu biasa-biasa saja, namun kenapa jantungnya berdetak tidak karuan saat gadis itu memandangnya.

“Jadi? Mau kan maafin gue?”

Jurus wajah imut! Rajendra mengedipkan kedua matanya seperti anak kucing kelaparan dan Renjana seekor rubah pemangsa! Dia tidak akan luluh dengan cara itu.

Rajendra terus-menerus menganggu Renjana selama dua jam, anak itu berguling di atas kasur terus menanyakan kapan dia akan diberi maaf? Kelakuannya begitu menggemaskan, biarkan saja dulu. Renjana masih mau melihat Kembarannya itu merengek.

Sepertinya anak kucing nakal sudah kelelahan menahlukan sang rubah, Rajendra membiarkan Renjana belajar dengan tenang, tapi tangannya tidak diam dia mengambil komik-komik koleksi kakak—nya, bukan mengambil tapi mengacak-acak.

“Nggak usah di acak-acak! Balikin lagi ke tempatnya.” Ritual belajar Renjana sudah selesai Ia berencana ingin tidur lebih awal jika Renjana mau tidur tenang dia harus mengusir kucing jadi-jadian ini dulu.

Rajendra tidak mudah menurut, dia menarik tubuh Renjana untuk dia peluk dengan erat sangat erat sampai Renjana berteriak kesakitan,“lepas! Rajendra!”

Kedua anak kembar itu malah bergulat di atas kasur, seluruh tendangan Renjana mampu menjatuhkan semua bantal dan juga guling, lihat saja Rajendra akan mendapatkan maaf malam ini juga!

Tidak ada yang mau mengalah mau itu Rajendra ataupun Renjana, keduanya keras kepala. Bahkan katanya saat di dalam kandungan mereka berebut untuk keluar duluan.

“Maaf! Maaf! Maaf ! Maaf ! Maaf ! ”

“Enggak! Keluar lo dari kamar gue.”

Tingkah laku mereka melebihi Lulut si bungsu, dia sedang menonton pergulatan antara kedua kakak—nya jika di biarkan Ayah dan Bunda pasti akan marah, dengan itu Lulut masuk mengunci pintu lalu menelusup ke tengah-tengah,“nggak boleh berantem! Nggak boleh berantem!”

“Lulut jangan ikut-ikutan! Kalian berdua keluar! Kakak mau tidur.”

Sekuat tenaga Renjana mendorong kedua mahluk kurang ajar itu, berani-beraninya mengusik ketenangan, sekarang adik bungsunya ikut andil dalam petarunggan. Lulut terlihat bahagia melihat kedua kakaknya perang bantal, Lulut tidak memihak siapapun dia memiliki menjadi wasit.

Stamina ketiganya surut menjelang tengah malam, Lulut sudah tertidur pulas di kasur Renjana, dengan jahilnya Rajendra mencium pipi gembul adiknya berkali-kali jika Lulut tahu dia akan marah besar.

“Udah! Pipinya merah itu, lagian Lulut udah remaja bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya lo cium.”

“Gue kangen masa kecil Lulut dia selalu senang kalo pipinya gue cium.”

Dahulu Rajendra selalu menjadi pengasuh Lulut setiap kali Bunda sibuk dengan pekerjaan rumah, jujur Rajendra awalnya tidak mau memiliki adik tapi setelah Lulut hadir rasa tidak suka itu menjadi rasa sayang.

Ia selalu senang jika Bunda menitipkan Lulut kepada Rajendra, sampai kejadian itu terjadi Bunda menjauhkan Ia dengan Lulut.

“Alasan Lulut gak suka gue, apa karena kejadian dulu?”

“Ngaco! Dia masih kecil mana inget, beberapa hari ini juga Lulut kayanya mulai deket lagi sama lo.”

Rajendra mengangguk semoga Lulut kembali seperti dulu, Rajendra mencium kening Lulut lembut, Ia tarik selimut yang Lulut Kenapa sebatas dada jangan sampai adiknya kedinginan, ia sampai melupakan misinya datang ke kamar ini,“jadi gimana di maafkan tidak? Sudah perang bantal masa nggak di maafkan adik mu bang.”

“Gue maafkan,” senyum Rajendra merekah,“tapi dengan satu syarat.”






tbc

7.11.2O22

Republish: 13 Januari 2O23

Photograph✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang