Keberanian untuk menyerah

155 28 2
                                    

Selesai melakukan transaksi dengan tukang bengkel yang menangani sepedanya, Rajendra melesat pergi dari sana dengan perasaan riang, akhirnya Ia bisa bersepeda lagi hari ini.Sebelum pulang ke rumah ia memarkirkan sepedanya di depan Alfamart untuk membeli susu kotak.

Deretan susu kotak terlihat jelas di Jendra, dengan berbagai jenis rasa. Rajendra mengambil dua susu kotak rasa cokelat dan rasa stroberi,anak laki-laki itu berjalan ke arah kasir lalu mengeluarkan uang berwarna hijau dari saku celana.

Ketika Ia ingin mengayuh sepeda tiba-tiba seorang anak kecil datang lalu bernyanyi di depannya, Rajendra kembali merogok saku celana mengeluarkan uang kembalian dari membeli susu tadi, uangnya tidak seberapa namun anak itu berkali-kali berucap terima kasih.

Tidak lama setelahnya Rajendra kembali mengayuh sepeda tua yang sudah menemani Rajendra selama tiga tahun. Hujan tiba-tiba turun membuat Ia harus menepi dulu menuju ruko kosong dekat Alfamart.

"Jendra."

"Dipa."

Rajendra berucap kikuk mengingat perkataan Renjana waktu di perpustakaan, lalu ia menatap Naradipha. Mana mungkin Naradipha suka dengan Rajendra, suka dari segi apa pula?

"Kamu ngapain di sini?"

"kamu juga ngapain?"

Cowok itu melotot kecil,"lho kok kamu nanya balik sih?"

Gadis itu tertawa sesaat, setelah tawanya reda Naradipha kembali melihat butiran-butiran air hujan yang membasahi bumi,"hujan apa nggak cape? jatuh terus ke bumi? Apa dia nggak ada niatan buat menyerah?

Ada yang beda dari nada bicara Naradipha bukan sok tau tapi berteman dengan Dipa dari dulu membuat Ia tahu jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja,"lagi ada masalah?"

"Hah?"

"Lagi ada masalah." ulang Rajendra. Ia menyedot susu kotak yang tadi di beli, kalo tahu mau hujan mendingan beli bajigur aja di deket pos satpam.

"Aku?" Rajendra mengangguk,“aku nggak papa, tadi lagi jalan-jalan sore sambil dengerin musik, tiba-tiba hujan jadi aku berteduh dulu di sini.”

"Hujan sudah  reda, ayo naik aku bonceng sampe rumah. Itung-itung tanda terima kasih udah beliin aku susu kotak kemarin."

Tanda mereka sadari ada seorang anak laki-laki patah hati melihat adegan tadi.

••••

Ketika Rajendra memasuki rumah, lampu ruang tamu masih menyala itu tandanya orang-orang  di rumah ini belum tidur, Rajendra menuju dapur untuk makan, akan tetapi tidak ada makanan yang tersisa disana.

Cowok berkaus hitam itu mengambil kerupuk dan satu piring nasi dingin yang untungnya masih tersisa di atas meja, tanpa mengeluhkan apapun Rajendra menyuapkan nasi itu ke dalam mulut.

Di ruang makan yang hening ini Rajendra memikirkan banyak hal, tentang tatapan sayu Naradipha dan tentang keluarganya. Rajendra bukan anak yang gemar meminta ini itu kepada Ayah Bunda, Ia hanya ingin mereka memberikan kasih sayang merata kepada anak-anak nya.

"Habis nonton film horor?"

Di atas ranjang terbaring seonggok manusia yang sedang menerawang langit-langit kamar, seakan tuli Renjana mengabaikan ucapan Rajendra barusan. Rajendra tidak ambil pusing ia mengambil handuk untuk mandi, lalu membaringkan diri di samping kembarannya.

"Pipi Lo kenapa? Habis berantem."

"Di tampar Ayah."

Tubuh Rajendra menegak menarik kaos Renjana dengan paksa, tubuh Renjana terusik, dengan malas Ia duduk berhadapan dengan Rajendra, bukan apa.

"Kembaran gue makan apa sih? Sampe pipinya kaya bakpao gini."Rajendra menepis tangan kurang ajar itu kemudian ia bertanya apa yang terjadi sebenarnya."Nggak usah mengalihkan topik pembicaraan."

Terdengar hembusan napas berat dari Renjana, dia kembali berbaring memeluk guling,sehabis makan malam Renjana memberanikan diri untuk berbicara dengan Ayah, menyuarakan keinginan nya, namun Ayah tidak setuju dengan rencana yang Renjana utarakan itu.

"Gue bilang sama ayah bulan depan nggak mau ikut olimpiade. Gue udah Kelas dua belas pengen fokus sekolah sama belajar saja, jujur gue cape ikut lomba sana sini. Tapi Ayah nggak setuju, dan seperti yang lo lihat, gue di pukul.”

Untung ada Bunda.

Hati kecilnya sedikit terluka saat Renjana berucap seperti itu, saat dirinya di pukul habis-habisan Bunda tidak pernah datang Bunda tidak pernah ada untuk Rajendra.

"Lo tau kan hidup gue penuh perencanaan gue mau masuk universitas yang gue mau bukan yang Ayah mau. Gue pikir setelah nurutin keinginan Ayah selama ini setelahnya gue bebas menentukan jalan hidup gue sendiri, kenyataannya enggak. Ayah semakin gencar mengontrol hidup gue Jen."Renjana menenggelamkan wajah nya pada bantal bulu milik Rajendra.

"Lo tau kenapa gue nggak pernah buat rencana apapun tentang jalan hidup ?"Katanya menarik kepala Renjana secara paksa," karena sekuat apapun seorang manusia berencana sehati-hati apapun manusia berencana untuk tidak gagal, ujung-ujungnya kembali lagi kepada rencana tuhan."

"Tapi rencana ini sudah gue rancang hampir dua tahun dan Ayah tiba-tiba nggak setuju, seenggaknya Ayah mempertimbangkan keinginan gue."Rengek nya masih tidak terima.

"Ayah nggak mungkin menyesatkan anaknya sendiri kan? Apalagi lo anak sulung kebanggaan beliau jadi wajar kalo Ayah mau yang terbaik untuk lo."

Renjana menatap Rajendra tidak suka, seharusnya sebagai saudara apalagi mereka kembar seharusnya Rajendra mendukung rencananya! Kenapa semua orang di rumah ini tidak ada yang setuju dengan dengan keputusan Renjana,

"Lo sama saja sama kaya Ayah! Nggak pernah mendukung keputusan gue! Kenapa sih Jen?! Seharusnya lo orang pertama yang dulu gue bukan kaya gini!”

“Bukan gitu maksud gue Jana, kadang yang terlihat baik untuk kita belum tentu baik, Ayah orang tua kita beliau lebih tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya.”

“Yang terbaik untuk anaknya itu gimana? Membunuh semua mimpi gue!”

Renjana tidak mau lagi mendengar omong kosong Rajendra dia keluar dari kamar kembarannya dengan perasaan sakit hati.

“Jangan ikutin gue, gue marah.”

“Oke fine Bang, gue minta maaf.”

Bukan itu maksud Rajendra, Ia tidak mau hubungan Ayah dan Renjana merenggangkan hanya itu tidak lebih,

Rajendra mengambil handphone lalu menonton ulang film Mulan, ada satu kalimat yang Ia suka dari Film itu kurang lebih seperti ini; Tidak ada keberanian tanpa rasa takut.

Tanpa orang lain tahu sebenarnya Rajendra Sajora memiliki mimpi Ia ingin berkuliah ingin mencari jati diri namun apakah semua itu dapat terlaksanakan? Apa Ayah dan Bunda mau menyekolahkan anak tidak berguna sepertinya.

Itu kenapa Ia berkata seperti itu kepada Renjana karena apa yang dia dapatkan itu yang Rajendra inginkan. Sampai Rajendra berada di titik ini; menyerah, sekarang ia sudah menyerah walaupun awalnya Ia takut namun seperti kata Hua Zhou tidak ada keberanian tanpa rasa takut.

Rajendra tidak mau Renjana gagal, itu kedengaran egois tapi Ia tidak mau Renjana merasakan putus asa karena mimpi yang sudah dibangun sedetil mungkin tiba-tiba hancur begitu saja.






tbc


5.11. 2O22

Republish: 12 Januari 2O23

Photograph✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang