Ayo podo eleng-tineleng, mergo urip kui gak asing soko olo-tinolo. Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukma siji, urep yo kaping siji. Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne. Karo lingsire piker kang mateng, ugo weteng kang anteng, jagat muter-seser urep diantengne, kui sejatine keihlasan.
_______________________________
LEMBAH BIRU 1962
Mbah Wir, masih terus berusaha melacak keberadaan Lacip. Namun tak tertembus, semuanya gelap, Mbah Wir seperti berada di dalam jurang yang gelap. Kabut tebal yang melingkupi jurang seperti tidak berujung. Selalu, semedinya mental, tidak mampu mencapai dasar jurang.
Mbah Wir, seolah dilempar keluar sebelum bisa mencapai dasar jurang, terpental bangun dari semedi. Namun Mbah Wir tidak berhenti mencoba, terus melakukannya hingga hari ke empat puluh satu. Sumila menemui Mbah Wir dalam semedinya. Sumila datang bersama macan putih di sampingnya, macan putih yang biasa menunggu gerbang masjid wetan. Macan putih itu sempat dilukai oleh Lacip, sepertinya sudah pulih.
"Tangio, Mad!" suara Sumila pelan, berwibawa bernada perintah. Mbah Wir membuka mata lalu berdiri, tubuh halusnya keluar dari raga, sementara raganya masih duduk bersila. Mbah Wir langsung menekuk lutuk ketika sudah berada di depan Sumila.
"Ngaturaken gunge samudra pangasami Ndoro Putri, amargi kulo sampun lancang madosi Lacip." ("Saya mohon ma'af beribu ma'af, Ndoro Putri, karena saya telah lancang mencari Lacip." Red-)
"Ngadeko, Mad!" ("Bangunlah, Mad!" red-) Serta- merta, Mbah Wir berdiri. Sumila menyerahkan sebuah bungkusan berwarna putih. Saat diperhatikan dengan seksama, kain yang dipakai membungkus adalah mori---kain kafan. Berbetuk segi empat yang yang semua ujungnya saling di'ikatkan seperti glempo. Mbah Wir, menerima dengan kedua tangan, kepalanya tetap menunduk.
"Budalo ngalor, Wir! Lacip pendemen, kuwi segele, wong-wong liyane gowoen mulih!" ("Berangkatlah ke utara, Wir, kuburlah Lacip! itu segelnya. Para pengikutnya, bawalah pulang!" red-)
Mbah Wir, tampak shock. Cara Sumila memanggilnya, menandakan bahwa perintahnya tidak bisa dibantah, padahal Mbah Wir beharap bisa membawa Lacip pulang. Malah diberi perintah untuk mengubur dan menyegelnya di dalam jurang. Beberapa detik kemudian, Mbah Wir berucap, "Inggih, Ndoro Putri, sendiko dawuh.'' ("Baik, Ndoro Putri, seuai perintah." Red-)
Mbah Wir, berlalu dari hadapan Sumila setelah berpamitan, naik ke punggung macan putih. Beberapa saat kemudian, macan putih berlari bagai angin menembus gelapnya malam menuju utara, menuju Raung. Tampak Sumila duduk bersimpuh tidak jauh dari raga Mbah Wir kindar, belakang sebelah kanan.
"Mad, awakmu kudu nyampek jurang bengi iki, lek awakmu kasep nyowone wong-wong rabakal ketulung." ("Mad, kamu harus sampai jurang malam ini, jika kau terlambat nyawa orang-orang---para pembunuh bayaran tidak akan tertolong. Red-) Mbak Wir mendengar Sumila berbisik ditelinga, "inggih, Ndoro Putri, sendiko dawuh.'' jawabnya singgkat.
Mbah Wir, memeluk leher macan putih, berbisik, "aku tak mlayu dewe wae, awakmu yoben iso mlayu luwih cepet," ("aku akan berlari saja, supaya kau bisa berlari lebih cepat," red-) macan putih, mengangguk. Setelah itu, Mbah Wir meloncat dari punggung macan putih, lalu melesat bagai angin meninggalkannya.
Macan putih juga melesat menguntit di belakang Mbah Wir. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah melewati hutan pinus lalu perkebunan cengkeh dan mulai memasuki belantara. Terus masuk ke dalam belantara hingga akhirnya keduanya berhenti di atas tebing jurang.
Keduanya manguk-manguk---berdiri bimbang---diatas jurang. Sesungguhnya Mbah Wir tidak tahu jalan masuk jurang, "piye caraku mlebu jurang?" batinnya, ingin sekali bertanya kepada macan putih, tapi canggung untuk mengatakan. Detik berikutnya, mata Mbah Wir membulat sempurna, bibirnya reflek berteriak.
"AAACCCKKK!"
Macan Putih mendorong tubuh Mbah Wir masuk ke dalam jurang, lalu dia sendiri juga meloncat, keduanya melesat bagai roket menuruni jurang. Mbah Wir jatuh di atas tanah basah, merasakan seluruh tubuhnya remuk, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap. Sementara, macan putih juga terkapar di sampingnya, tidak bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...