Di atas peti mati, tertulis hurup jawa kuno yang diukir dengan serampangan. Gajah mengejanya perlahan, "ju-rang.'' Betet terlihat tenger-tenger, menopang dagu. Tatapannya kosong, entah apa yang sedang dipikirkan.
Gajah masih meneruskan membaca ukiran di atas peti mati. Di bawah kata jurang ada tulisan yang lebih kecil yang ditulis dengan hurup pegon, "munggaho nganggo joyo sukmo". ("naikklah menggunakan joyo sukmo." Red-) Gajah tampak juga tercenung, memikirkan arti tulisan di atas peti mati. "Kalimat itu bernada perintah, namun diakhiri dengan titik? Maknanya tidak ada jalan keluar lain?" Gajah tampak berpikir keras.
"Joyo sukmo?!" Gajah mengulang dua kata terakhir, suaranya nyaris berbisik. Keningnya berkerut, mencari arti dua kata tersebut. "Yang kupahami joyo berarti berjaya atau berhasil, sukmo adalah sukma. Namun jika disatukan bisa saja bermakna lain?!"
Betet masih terpaku, masih menopang dagu, tatapannya kosong. Gajah mendekati adiknya, "tegese kui opo, Tet?" dia bertanya, matanya tidak beralih dari tulisan yang ada di atas peti mati. Betet diam saja, tidak menjawab. Karena Betet tidak menjawab, Gajah mengalihkan pandangan kepadanya.
Gajah tidak menyadari bahwa bola mata Betet tidak berkedip, "Tet, semauro!" kali ini suara Gajah lebih keras, adiknya masih tidak menjawab. Disitu, Gajah baru sadar bahwa ada yang salah. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan muka adiknya.
Betet tidak bergekedip, Gajah menyentuh tubuh adiknya. Tubuh Betet langsung roboh, Gajah sangat terkejut, dia tidak sempat meraih tubuhnya. Sejenak terpaku, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Setelah Gajah mampu mengusai diri, sadar apa yang terjadi, dia langsung menghambur meraih tubuh Betet yang terkulai. "Tet, bangunlah! Bangunlah!" ucapnya sambil menggoyang-nggoyangkan tubuh Betet. Namun, Betet tidak bergeming. Matanya memang terbuka, tapi tak berkedip.
Gajah mulai menangis. Masih terus mengoyang-ngoyangkan tubuh adiknya, hingga lelah dia melakukannya. Akhirnya dia jatuh terduduk sambil memegangi kepala. Benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Betet baik-baik saja beberapa saat yang lalu, bahkan dia yang membersihkan tanah di atas peti mati. Terakhir kali aku melihatnya bergerak, saat dia membersihkan peti mati, setelah itu, dia terpaku sambil menopang dagu?! Ah aku bisa gila memikirkan hal ini." keluhnya. "Bagaimana mungkin bisa tiba-tiba jadi seperti ini?!"
Beberapa saat kemudian, dia memutuskan menyeret tubuh Betet. Memegang kedua bahunya, dengan susah payah dia menyeret tubuh adiknya keluar dari kamar tengah. Lalu digeletakin di lantai ruang tamu, kemudian balik ke pintu kamar tengah, menguncinya. Memasukkan kunci itu ke dalam saku bajunya. Namun sebentar kemudian dia keluarkan lagi, tampak bingung. Keningnya berkerut, jelas sedang berfikir keras.
Beberapa detik kemudian, dia berjongkok di samping tubuh adiknya yang terkulai. Membuka telapak tangan adiknya yang sebelah kanan. Lalu meletakkan kunci itu di atas telapak tangan tangan Betet yang terbuka kemudian mengatupkan hingga kunci itu hilang ke dalam genggaman adiknya. Dia memejamkan mata sejenak lalu membuka mata kembali. Saat dia membuka mata, dia membuka kembali telapak tangan Betet. Kunci itu lenyap.
Gajah tersenyum, mendekati telinga Betet, membisikkan sesuatu di telinganya. "Aku tidak yakin apa yang terjadi denganmu tapi aku yakin kau memerlukan kunci itu." Yang dibisiki tetap saja seperti mayat hidup, tak bergeming. Gajah meraih bahu Betet, kembali menyeret tubuhnya, kali ini dia menyeret ke arah dipan yang ada di ruang tamu.
Ada sebuah dipan di ruang tamu, terletak di pojok kanan utara, rumah itu memang menghadap ke utara. Susah payah dia menaikkan tubuh adiknya ke atas dipan. Setelahnya dia mengusap wajah adiknya, perlahan. Sambil membisikkan sesuatu di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
TerrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...