Lima rumah, keluarga keturunan Mbah Surodiko sangat sepi. Bedanya, mereka masih shalat berjam'ah seperti biasa tiap waktu, selesai berjamaah salat maghreeb masih terdengar suara lantunan bacaan Alqur,an dan suara anak-anak mereka yang belajar mengaji, ditutup dengan shalat isyak berjama'ah. Begitu juga, selesai berjama'ah salat subuh masih terdengar suara lantunan bacaan Alqur'an di mushala masjid kulon.
Rumah tempat Mbah Wir ngenger adalah rumah tengah. Rumah anak tertua keturunan Mbah Surodiko yang bernama Sumila. Rumah itu disebut rumah tengah karena memang letaknya di tengah, di antra masjid wetan dan masjid kulon.
Selain itu, rumah itu merupakan punjer---pusat, karena sesungguhnya tanah yang dimana rumah tengah berdiri adalah tanah pilihan. Tanah di mana awal mula keluarga Mbah Surodiko menancapkan tongkat pertama kali, saat beliau babat alas di lalu tinggal di tempat itu. Yang kemudian hari diberi nama dusun Lembah Biru. Ada sumur tua di sana, sumur yang digali sendiri oleh Mbah Surodiko pada saat baru-baru datang ke hutan dimana sekarang telah menajdi dusun Lembah Biru. Sumur yang tidak pernah asat---kering---meski kamarau panjang.
Biasanya, dalam tradisi jawa, anak ragil---bungsu---yang akan menempati rumah orang tua. Namun ada pengecualian karena hanya Sumila yang mampu mewarisi ilmu orang tuanya. Maka dialah yang terplih untuk nyengkuyung---menjaga---kelaurga. Pada zaman itu, rumah-rumah masih sangat jarang jadi lahan sekitar lima hektar hanya ada satu rumah joglo. Ada pendopo yang cukup luas di depan rumah utama.
Tiap malam, hanya Mbah Wir yang terlihat duduk santai sendirian. Di tengah pendopo sambil menikmati rokok klobot---kulit jagung muda yang dikeringkan---kesukaannya. Jika sudah lewat tengah malam, Mbah Wir akan bersila sambil memejamkan mata, mirip orang yang sedang bertapa. Konon begitulah cara Mbah Wir tidur. Saat tarkhem---waktu sebelum subuh---Mbah Wir akan membuka mata lalu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan ke arah sumur. Suara langkah kakinya, klotak! klotak! klotak! membangunkan seisi rumah.
Sudah seminggu, Mbah Wir tidak terlihat duduk bersila setelah lewat tengah malam. Terlihat mondar-mandir di depan pendopo sambil mbondo tangan. Terkadang kembali duduk, menikmati rokok klobotnya. Jelas sedang berpikir keras meski wajahnya tetap terlihat tenang.
Malam itu, sekitar jam tiga pagi, tiba tiba Mbah Wir berdiri, berjalan ke halaman, lalu berhenti tepat di tengah halaman. Wajahnya terlihat sangat serius, seperti sedang mendengarkan penjelasan dari sesesorang, tetapi tidak tampak ada siapa pun selain dirinya. Beberapa saat kemudian, wajah Mbah Wir terlihat sangat tegang. Jelas sedang menahan amarah, giiginya gemeretak, tangan mengepalkan, tubuh gemetaran menahan amarah.
"Yo siapno, kabeh!" (Ya siapkan semua! Red-). Itu kalimat yang terucap, lalu berbalik masuk ke pendopo. Berdiri di tengah-tengah pendopo, membelakangi halaman dengan kemarahan yang memuncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
TerrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...