Kemarahannya kali ini menggetarkan seisi alam. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, petir menggelegar bersahutan, hujan lebat tiba-tiba mengguyur bumi. Pohon-pohon banyak yang tumbang, tercabut bersama akarnya. Suasana pagi yang biasanya sunyi senyap, menjadi kacau. Penduduk berhamburan keluar rumah, lari menyelematkan diri karena banyak dari rumah mereka yang tertimpa pohon.
Sang pemilik rumah tenagh, Sumila terbangun karena hiruk-pikuk yang terjadi. Bukan seperti biasanya terbangun karena suara bangkiyak yang dipakai Mbah Wir. Sumila tidak membuka jendela seperti biasa, tetapi melangkah ke pintu depan lalu membuka pintu. Di sana, dia melihat Mbah Wir sedang berdiri membelakangi pendopo.
Mata Sumila menatap Mbah Wir untuk beberapa saat, raut muka yang tadinya tenang terlihat murka. Sumila mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia menghela nafas panjang, melangkah mendekati Mbah Wir. Langkahnya agak tergesa tetapi wajahnya begitu tenang. Murka di wajahnya telah tertalan langkah kakinya yang tergesa.
"Mad, kowe ki nyapo?" ("Mad, kamu ini sedang apa?" red-) suaranya lembut tetapi berwibawa. Seketika Mbah Wir tersadar dari amarah yang mengusai. Tangan yang tadi mengepal perlahan melepas kepalan, wajah yang penuh kemarahan memudar menjadi rona malu dan rasa bersalah. Hujan perlahan mereda lalu berhenti sama sekali. Angin pun perlahan pulih seperti biasa, menjadi angin pagi yang damai. Nanun, beberapa saat kemudian, saat Sumila berdiri tepat di depan Mbah Wir, tiba-tiba suasana menjadi sunyi-senyap.
Bahkan sisa air hujan yang akan jatuh dari pepohonan tidak jadi jatuh, berhenti di tempatnya, waktu seolah terhenti.
"Pangapunten, Ndoro Putri." (Mohon maaf Ndoro Putri." Red-). Wajah Mbah Wir tertunduk, sama sekali tidak berani mengangkat dagu apalagi menatap Sumila.
"Nesu kuwi oleh, Mad. Ning yo kudu eling tur duwe welas asih marang dulur lan tonggo teparo!(Marah boleh saja, Mad. Namun mesti mampu mengendalikan, juga mesti memiliki belas-kasih pada saudara dan para tetangga!" red-)
"Kabeh ki wis sengsoro amargo kahanan sing koyo ngene, atiku yo loro banget amarga rabiso nulung." (Semua sudah sangat sengsara karena keadaan, hatiku juga sakit karena tidak bisa membantu." Red-).
Kok saiki malah awakmu nambahi karo nesumu, terus ngorat-ngarit kampung. Njajal opo paedhahe?!" (Sekarang malah kau tambahi dengan luapan amarahmu, dengan mengobrak-abrik kampung, coba apa manfa'atnya?" red-)
Mbah Wir Kindar hanya menunduk malu, gemetaran mendengarkan ndoronya berbicara panjang lebar. Tidak ada nada marah dalam setiap ucapan, tapi cukup membuat mbah Wir ketakutan.
"Wis kono gek wudhu terus shalat jama'ah subuh, mari ngono kowe kudu mbalekne kahanan. Mboh piye caramu kabeh kudu mbalik ning panggonane, tak kei wektu telung dino!" (Sudah sana berwudhu terus shalat jama'ah subuh, setelah itu kau harus mengembalikan keadaan. Aku tidak mau tau bagimana caramu, yang penting semua harus kembali ke tempatnya, aku kasih waktu tiga hari!" red-).
"Inggih, Ndoro Putri. Sendiko dawuh." (Baik Ndoro Putri. Sesuai perintah." Red-). Sumila berbalik, melangkah masuk rumah. Suasana kembali seperti sedia kala, udara berhembus tenang, titik air sisa hujan kembali jatuh. Mbah Wir masih memandang ndoronya hingga pintu ditutup kemudian melangkah pergi menuju sumur dan berwudhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...