Tempat yang mereka tinggalkan terpapar pemandangan yang sangat mengerikan. Ratusan mayat berjajar dengan rapi di atas rerumputan ditutupi mori. Sementara di sisi lain banyak tubuh terbaring tak berdaya, umumnya, mereka memar di dada kiri, berwarna biru kehitaman. Persis dengan luka yang di miliki Mbah Wir.
Sebagian besar mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh seperti punggung, tangan dan kaki. Ada yang kakinya patah jadi lima, ada yang kehilangan tangan. ada yang tulang punggungnya patah, yang terparah tidak bergerak, koma. Yang masih bisa jalan meski dengan bantuan penyangga, bisa diitung dengan jari.
Orang-orang berpakaian serba putih, mengurus mereka tanpa bicara sepatah katapun, susana sangat beku dan mencekam. Terkadang tatapan orang-orang berpakaian serba putih begitu mengerikan, tatapan mereka adalah tatapan membunuh. Yang lebih mengerikan, terkadang mereka tiba-tiba terpaku menatap orang-orang yang sedang dirawat, memandangi dengan tatapan mendamba. Seolah mereka adalah hidangan yang lezat, tatapannya begitu lapar.
"Tuan, apa anda baik-baik saja?" seorang pembunuh bayaran gemetaran memberanikan diri bertanya. Mencoba memecah bekuan, Ia merasa sangat terancam. Karena laki-laki yang sedang merawatnya menatapnya dengan tatapn membunuh, seolah ingin mencabik-cabik tubuhnya lalu memikmati dagingnya. Laki-laki itu tergagap dan menggeleng pelan, selulet kemarahan jelas tergambar di bola matanya. Meski berusaha ditekan. Sepertinya ia mengerti bahwa laki- laki yang sedang dirawatnya, merasa terancam.
"Apa Gusti Pangeran akan kembali malam ini?" masih gemetaran pembunuh bayaran itu kembali bertanya, entah ide sitting dari mana dia bertanya tentang Sawedang. Yang dia pahami satu-satunya yang membuat tenang dan merasa aman hanya kehadiran Sawedang. Saat Sawedang tidak ada di sana mereka, dia merasa nyawanya selalu terancam. Laki-laki berpakaian putih lagi-lagi tidak menjawab, hanya kembali menggeleng. Namun ada yang berubah dari sorot matanya, mata yang tadi tampak marah berubah beku. Sang pemubunuh bayaran, sudah tidak berani bertanya apa-apa lagi. Wajahnya tampak putus asa.
Kemben yang dipasang Sawedang sesungguhnya adalah pertanda yang sangat jelas bahwa para pembunuh bayaran tidak dapat keluar dari area kecuali dengan ijin mereka. Sekaligus pelindung yang sengaja dipasang untuk melindungi mereka dari keganasan belantara. Karena sesungguhnya, Sawedang tidak percaya sepenuhnya dengan anak buahnya. Namun pelindung itu begitu tipis, bisa saja salah satu dari mereka menyeret pembunuh bayaran keluar dari area yang dikembeni lalu mencabik-cabik tubuh para pembunuh bayaran dan menjadikan santapan lezat.
Laki-laki yang tadi bertanya kepada pemuda yang merawatnya tubuhnya menggigil, membayangkan hal itu. Dia dicekam kengerian dalam diam, meringkuk di tempatnya tanpa mampu untuk sekedar mengeluh. Keputusan Sawedang meninggalkan mereka demi membawa pulang Mbah Wir dan Sumila adalah keputusan yang salah. Ada yang tidak dihitung, yaitu anak buahnya yang sebetulnya juga tidak nyaman dengan kehadiran manusia di wiliyahnya.
Hampir separoh belantara Raung sudah ditinggalkan oleh Sawedang, ketika Mbah Wir membuka mata, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Setelah beberapa lama, Mbah Wir menyadari sedang ada di dalam kereta milik Sawedang. Mbah Wir langsung duduk, menatap Sumila yang tertidur di sampingnya. Lalu beringsut, memegang punggung Sawedang. Sawedang sangat terkejut, reflek menghentikan kereta, menoleh ke belakang tersenyum tipis. Saat mata keduanya bersitatap, Mbah Wir melihat kekacauan yang sedang terjadi, panik Mbah Wir meloncat ke depan, duduk di samping Sawedang. Langsung menarik tali kekang kuda, menghentaknya dengan arah putar balik.
"Kang Mas, kok arah putar balik?!" tanya Sawedang bingung.
"Matamu, meleko!" jawab Mbah Wir penuh amarah. Ragu- ragu Sawedang memejamkan mata, saat membuka mata, Sawedang meloncat dari kereta lalu melesat, dalam sekejab menghilang dari pandangan. Ia menyadari telah membuat kesalahan yang fatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...