Mbah Wir ambruk, tercekat beberapa saat. Meraba dadanya, saat menydarai dadanya tidak terluka, panik meraba mencari bagian tubuhnya yang terluka. Saat menyadari seluruh tubuhnya masih utuh, Mbah Wir semakin menyadari siapa sesungguhnya Sumila.
Detik-detik terakhir, Sumila berubah fikiran. Lalu anak panah dilepaskan ke udara. Membentur padar gaib, menimbulkan medan magnet dan suara ledakan. Mbah Wir tetap menunduk. Tidak menyangka Sumila mengampuninya.
"Mad, lingguho! Matek Aji Gembolo Geni Bolo Sewu. Kon nyengkewing wong-wong sing isih sehat, kon ngguwak ning jurang sisih kidul kang ono ing Raung. Ning aku pingin wong-wong kui panggah urip!" ("Mad, bersiaplah! Matek Aji Gembolo Geni Bolo Sewu. Perintahkan untuk nyengkiwing orang-orang yang masih sehat, buang mereka ke jurang di sisi selatan Gunung Raung. Namunaku menginginkan mereka tetap hidup!" red-).
"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."
"Ilingo, awak e dewe ra duwe hak karo nyowone wong-wong kui! Gusti Kang Murben Dumadi sing duwe wenang. Ora bakal iso metu ko kono kejobo duwe ati ikhlas!" ("Ingat! Kita tidak memiliki hak atas nyawa mereka. Nyawa sepenuhnya kewenangan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak akan bisa keluar dari jurang itu kecuali mereka memilki keikhlasan!" red-)
"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."
"Sing do tatu, tinggalen!" ("Yang terluka, tinggalkan saja!" red-)
"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."
Setelah menyelesaikan kalimatnya Mbah Wir, langsung bersila. Sumila balik badan sambil mengibaskan tangan, berjalan pelan menuju pendopo. Saat kaki Sumila menginjak undakan pendopo, suana kembali seperti semua. Mereka tampak kebingungan, tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Belum sempat mereka keluar dari kebingunngan, tiba-tiba tubuh mereka sudah dicengkiwing oleh raksasa dengan wajah yang sangat meyeramkan. Mereka tidak tau dari mana raksasa-raksasa itu berasal. Jumlahnya sangat banyak, mungkin ada seribu. Masing-masing nyengkiwing satu orang. Lalu membawa orang-orang itu berlari ke arah utara, ke arah Gunung Raung. Jelas mereka tersiksa dibawa berlari, saking cepatnya mereka berlari udara yang berhembus menjadi sangat kencang seperti badai.
Mbah Wir membuka mata, berdiri. Lalu beranjak dari tempatnya menuju pendopo. Orang-orang yang terluka juga dicengkiwing, tetapi tidak dibawa ke jurang. Mereka hanya dibuang di belantara Raung, sebelum jurang selatan.
Satu-persatu para pembunuh bayaran yang masih sehat, diletakkan ke dalam jurang. Jurang itu sangat dalam, sejauh mata memandang tak dapat mencapai dasar jurang. Jika pohon yang paling besar di hutan belantara Raung dipotong lalu jatuh ke jurang, maka suaranya saat mencapai dasar jurang tidak akan terdengar.
Jurang selatan, sesungguhnya sebagai tameng dan penyelamat bagi orang-orang yang tinggal di sebelah timur selatan Gunung Raung. Jika Gunung Raung dandan lalu mengeluarkan lahar. Maka lahar itu akan mengalir melalui jurang. Hingga tidak akan meluber ke perkampungan. Lahar akan berjalan dengan tenang menuju muara.
Di dalam jurang terdapat air terjun, dari air terjun mengalir membentuk sungai. Sungai ini mengairi ribuan hektar sawah dan kebun di bawahnya hingga sampai laut selatan. Sungai ini juga melewati Lembah Biru. Sekarang sungai ini menjadi sumber air bagi jutaan warga di bawahnya. Disalurkan melalui pipa-pipa, menuju desa-desa dan kota disekitarnya. Baik yang dibangun oleh swasta maupun pemerintah.
Untuk mencapai air terjun, harus menembus pekatnya belantara lalu membuat jalan sendiri menuruni jurang. Jika orang biasa dan tidak memiliki ilmu kanuragan ataupun linuwih harus membawa peralatan lengkap. Karena jika tergelincir maka nyawa taruhannya.
Setelah menuruni jurang untuk bisa mencapai air terjun yang paling besar dan paling tinggi harus menyebrangi sungai berkali-kali. Melewati beberapa air terjun lainnya yang lebih pendek. Bagi yang beruntung dan memilki keberanian bisa menaiki tebing untuk mencapai gua dibalik air terjun yang paling besar. Disitu juga ada air terjun kecil-kecil, yang sangat indah. Dari keterangan orang yang pernah ke sana dan pengalaman pribadi saat menyebrangi sungai. Hitungannya berbeda antara satu orang dan yang orang lainnya. Ada yang mengatakan meyebrang tujuh kali, ada yang mengatakan menyebrang sebelas kali, ada yang bilang tujuh belas bahkan ada yang bilang dua puluh satu kali.
Dari pengalaman pribadi tiga kali kesana hitungan memang berbeda. Semakin bernafsu untuk cepat sampai maka akan semakin terasa lebih jauh. Medan terasa lebih berat, apalagi jika dicampur dengan grundel---mengeluh tidak berkesudahan---maka akan sangat sulit mencapai air terjun.
Orang-orang ini diletakkan di bagian terdalam, bagian terasing. Daerah yang tidak pernah dijamah oleh manusia. Sisi paling gelap dari jurang. Sisi di mana hanya orang-orang yang ikhlas yang bisa keluar dari sana, seperti yang dikatakan Sumila. Jika ingin keluar dari jurang, harus benar-benar berserah dan mampu memahami bahwa dirinya telah bersalah lalu merefleksikan diri.
"Hanya orang-orang yang mampu mengusai 'joyo sukmo' yang akan keluar dari sana." Ucap Sumila. Jika masih ada sedikit saja sifat 'aku' di dalam hatinya, yang percaya bahwa dia mampu keluar dari sana. Atau sedikit saja dia percaya bahwa dia memiliki kekuatan akan bisa keluar dari sana maka dia tidak akan pernah menemukan jalan keluar. Itu artinya dia akan menjadi penghuni abadi jurang.
__________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...