Dengan gerakan yang sangat cepat, Sawedang mendekati peti mati, dilemparnya buku di tangannya ke dalam peti mati lalu dengan kibasan tangan kanan Sawedang menutup peti mati. Suara berdebam kembali pecah saat tutup peti mati menyatu dengan induknya.
BAAAMMM!
Lacip meronta-ronta di dalam peti mati, berteriak- teriak mengumpat.
"AS*!
CEL*NG!
MACAN EDAN!
TOKNO AKU!
Sawedang sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan Lacip, meski seluruh isi kebun binatang keluar dari mulutnya. Sawedang menendang peti itu, peti mati melesat jatuh ke dalam sisi yang lain dari jurang, bukan sisi tempat orang-orang ditendang Lacip. Peti mati hilang di antara kabut, masuk ke kedalaman jurang.
Sawedang tampak memandang peti mati milik Lacip hingga hilang dari pandangan, sesungguhnya hatinya terluka. Tampak jelas, meski masih tampak beku, ada selulet duka mendominasi sorot matanya.
"Aku tahu, aku akan melukai Kang Mas Husain, tapi aku tidak memiliki pilihan. Lacip tidak dapat dialusi, kelakuannya sudah sangat keterlaluan.
Kang Mas Husain juga jadi lemah saat menghadapi Lacip, terlalu menyayanginya. Hatinya yang lembut selalu percaya bahwa Lacip masih bisa berubah, nyatanya Lacip justru semakin pongah dan membabi buta saat marah. Dia juga tipe orang yang menghalalkan segala cara agar keinginannya terwujud.
"Bene, ben sinau ning njeru jurang! Lakar urip yo uripo, lakar mati yo matio!" ("Biar belajar di dalam jurang, aku sudah tidak peduli dia hidup atau mati!" red-) ucapan Sawedang penuh luka, entah mengapa hatinya begitu sakit harus melakukan semua ini. Meski mulutnya berkata lain.
"Aku seperti ikut mati besama perginya peti mati milik Lacip." Sorot matanya makin beku, ada banyak hal yang terpampang dalam penglihatannya. Namun peti telah disegel dengan buku pemberian Sumila.
Sawedang terpaku beberapa lama saat, tersadar oleh suara Sumila, "Yayi Sawedang, aku njauk tulung Kangmasmu gowoen munggah, tak enteni ning duwur." ("Yayi Sawedang, tolong kau bawa ke atas Kangmasmu, aku tunggu di atas. Red-)
"Inggih, Gusti Putri, sendiko dawuh," jawab Sawedang sambil mebungkuk santun, seolah Sumila ada di hadapannya. Setelah itu, Sawedang berjalan mendekati raganya, lalu tubuh halusnya kembali menyatu dengan raga. Kemudian mendekati tubuh Mbah Wir, menempelkan jari telujuk dan jari tengah pada leher dan pergelangan tangan Mbah Wir, memeriksa denyut nadi. Sawedang menghela nafas berat, sekarang dia mengerti kenapa Sumila segera paring titah saat Sawedang berasyik-masyuk dengan kesedihan. Keadaan Mbah Wir memang mengkhawatirkan.
Sawedang langsung memanggul tubuh Mbah Wir, sebelum meninggalkan tempat itu, dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa naik ke atas semua orang yang ada di dasar jurang, "bawa mereka semua naik ke atas, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal!"
Sawedang mengibaskan tangan kananNya, serta merta ada jalan setapak yang berbentuk seperti tangga. Kakinya berlari ringan menaiki tangga, tangga itu ada tujuh tingkat berbentuk zik-zak hingga sampai ke atas jurang. Di pinggirnya ada pagar terbuat dari bambu, dibalut oleh mori--kain kafan--- tipis yang transparan hingga bambu di dalamnya terlihat jelas.
Anak buahnya memanggul orang-orang yang terluka, mengikutinya dari belakang. Suasana yang tadi senyap berubah drastis, tampak kesibukan yang luar biasa di tangga itu. Orang-orang lalu-lalang naik-turun memanggul mayat dan orang-orang yang terluka yang tidak bisa berjalan. Yang bisa berjalan, tertatih menaiki tanga, ada juga yang terlihat dipapah.
Sawedang sampai di atas jurang, Sumila sudah menunggu di bibir jurang. Sawedang membaringkan tubuh Mbah Wir di rerumputan. Lalu merobek bajunya, dada kiri Mbah Wir biru memar. Sumila mengulurkan sebuah gulungan kain berwarna putih, Sawedang mengambil gulungan kain tersebut lalu menggelarnya di samping tubuh Mbah Wir. Ternyata, itu mori, berbentuk seperti sampur saat digelar memanjang.
Kemudian Sawedang melangkah mundur, berdiri tak jauh dari tubuh Mbah Wir yang terbaring seperti mayat, mbondo tangan---angannya dilipat kebelakang. Sumila mendekati mori lalu bersimpuh, mori dan tubuh Mbah Wir ada dihadapannya.
Sumila membetulkan letak duduknya, kemudian menutup mata, meletakkan tangan kanan di depan dada. Beberapa saat kemudian, Sumila menyentuh lembut mori di depannya. Tangannya sangat hati-hati menyentuh mori, seperti takut menyakiti.
Hampir sepeminuman teh telah berlalu, Sumila masih melanjutkan aktifitasnya, ketika tiba-tiba Mbah Wir muntah darah. Anehnya mori itu tiba-tiba menghitam. Sumila membuka mata, wajahnya terlihat pucat, kelelahan. Detik selanjutnya, Sumila berdiri, sempoyongan. Belum sempat berdiri dengan sempurna, tubuhnya lunglai lalu terkapar dan tidak bergerak lagi.
Sawedang yang berdiri tidak jauh dari sana geragapan berusaha meraih tubuh Sumila. Namun sayang sudah terlambat. Semuanya memang terjadi begitu cepat. Sawedang menghela nafas berat saat dia memeriksa urat nadi Sumila. "Kehabisan tenaga, hanya perlu istirahat." Ucap Sawedang kemudian.
Sementara suasana di sekitar Sawedang mulai ramai, orang-orang yang tadi mengekor di belakangnya sudah mulai berdatangan. Sawedang melambaikan tangan kepada salah satu dari mereka. Salah satu pemuda yang berpakain putih mendekat, lalu mengangguk santun.
"Tutup gerbangnya saat semua sudah naik ke atas! kita hanya memiliki waktu hingga besok. Besok Lacip akan terlepas dari segelnya. Sekarang, bawakan aku kereta kuda! aku harus membawa Kang Mas Husain dan Gusti Putri ke Lembah Biru."
"Inggih Gusti, sendiko dawuh," pemuda itu melesat meninggalkan Sawedang setelah mengangguk santun. Setelah beberapa lama, dia kembali bersama kereta kuda. Sawedang sedang ngembeni---memagari tempat itu---dengan kain mori.
"Jangan ada yang keluar dari kemben yang sudah kupasang sampai aku kembali! yang sudah meninggal tolong disucikan dan dikafani, lalu masukkan ke dalam peti mati! Yang masih hidup rawat baik-baik!"
"Inggih Gusti, sendiko dawuh." Pemuda itu undur diri. Sawedang mengangkat tubuh Mbah Wir, dibaringkan di dalam kereta yang sudah disiapkan. Setelah itu, Sawedang juga mengangkat tubuh Sumila, lalu membaringkan di samping Mbah Wir. Sebelum meninggalkan keduanya, Sawedang memberi totokan di beberapa bagian tubuh Sumila.
Sawedang tersenyum, "ngapunten Gusti Putri, kalau nggak ditotok aku nanti penejenengan salahkan karena membaringkan penjenenganipun berdampingan dengan Kangmasku. Mengobati saja pakai kain kafan, apalagi dibaringkan berdampingan, bisa penjenengan bakar rumahku." Sawedang memberi totokan kepada Sumila agar terus tertidur. Selain takut menerima kemarahan Sumila, itu juga bertujuan agar Sumila beristirahat. Dengan tidur yang cukup, tenaganya akan segera pulih.
Sawedang telah berada di atas kereta, duduk sebagai kusir. Sesaat kemudian menyentak tali kekang kuda. Kuda berlari menyeret kereta bagai terbang menembus pekadnya belantara Raung, jika dilihat dengan mata biasa kereta kuda itu tidak menjejak tanah.
_____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...