Mbah Wir terbangun, terkejut karena berada di dalam peti mati, nyaris tidak dapat bergerak. Karena ukuran peti mati, hanya pas ditubuhnya, bagian atasnya saja yang masih memiliki ruang, samping kiri-kanan benar- benar ngepres. Mbah Wir, mendorong tutup peti mati tapi sangat berat, sekuat tenaga Mbah Wir berusaha mendorong tapi tidak bergeming.
"Mad, buka bungkusan sing takwehne mau, pahamono isine!" ("Mad, bukalah bungkusan yang aku berikan padamu tadi, pahami isinya!" red-) Suara Sumila mengagetkan Mbah Wir, panik membuka bungkusan yang tadi diberikan Sumila.
"Sebuah buku?!" ucapnya bingung, di sampul buku tertulis 'JOYO SUKMO'. Tertulis dengan menggunakan tinta merah darah dengan hurup jawa kuno. Mbah Wir, tertegun beberapa saat kemudian membukanya, sebuah tulisan terpapar di halaman paling depan.
'Ayo podo eleng-tineleng mergo urip kui gak asing soko olo-tinolo. Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukma siji, urep yomkaping siji. Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne. Karo lingsire piker kang mateng, ugo weteng kang anteng, jagat muter-seser, urep diantengne. Kui sejatine keikhlasan.'
Mbah Wir, tertegun berusaha memahami setiap kata dari kelimat yang terangkai indah di halaman paling depan. "Aku telah pernah membaca banyak buku, bertemu dengan banyak orang baik bahkan dengan orang-orang terbaik di bidangnya. Namun, aku belum pernah mendengar mereka mengartikan keikhlasan dengan bahasa yang sangat indah, begitu detail."
Mbah Wir, kagum bercampur bingung dengan setiap kalimat yang tertera di halaman paling depan di dalam buku yang sedang dipegangnya. Berusaha mencari kata yang sepadan dengan setiap kata yang tertera, pelan-pelan mulai memaknai. Di dalam hati terus bersyukur, karena diberi kesempatan membaca buku tersebut.
"Ayo podho eling-teneleng mergo urip kui nggak asing soko olo-tinolo." ("Mari kita saling mengingatkan karena hidup tidak jauh dari saling menjelekkan. Red-)
"Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukmo siji, urip yo kaping siji." ("Orang yang berbuat dosa tidak merasa bahwa Tuhannya satu, hatinya satu, sukma satu, hidup juga hanya sekali." Red-)
"Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne, karo lingsire pikir kang mateng ugo weteng kang anteng, jagad muter seser. Urep diantengne kui sejatine keikhlasan." Mbah Wir, terdiam beberapa lama karena lagi-lagi terkagum dengan setiap kata yang tersusun.
Setiap kata memiliki makna yang luas, "sabar digarne?" Mbah Wir mengulang-ulang kata-kata 'digarne', jelas sedang berfikir keras. "Digarne, maknanya dimekarkan, tapi sepertinya bukan itu maksudnya." Setelah beberapa lama, akhirnya Mbah Wir menemukan kata-kata yang tepat dan sepadan, "sabar diluaskan, maksudnya kesabaran yang tanpa batas."
Kemudian berlanjut pada kata-kata berikutnya. Mbah Wir manggut-manggut tapi saat sampai pada kalimat, "lingsire piker kang mateng", Mbah Wir kembali tertegun. Beberapa saat kemudian, Mbah Wir kembali mangut- manggut, terus membaca dan memaknai kata demi kata membuatnya seolah sedang berada di tempat yang asing, lupa bahwa sedang terkurung di dalam peti mati.
"Lingsire pikir kang mateng tegese kudu iso sumeleh---legowo, untuk bisa sumeleh memang harus memiliki kesabaran yang luas, memiliki ketetatapan hati--- karep diantepne. Jika sudah bisa melewati fase ini maka akan sampai kepada, "weteng kang anteng.
"Weteng kang anteng, dimaknai sebagai puasa. Puasa atau poso artinya ngeposne roso---mengendalikan nafsu, biso ngrekso---mampu menjaga, iso ngempet---bisa ngerem. Tahu kapan mesti berhenti dan kapan harus terus.
Jika fase inipun telah mampu dilewati, maka akan mencapai pucak kejayaan, bahwa 'jagat muter seser', artinya bumi itu bulat, bumi bulat artinya kosong--- fana. Dunia ini tidak berarti jika dibandingkan dengan ketenangan---kesejatian hidup, yaitu keikhlasan.
Dalam makna yang lebih luas, 'ndunyo muter seser' dimaknai bahwa dengan roda dunia akan berada dalam genggaman.
Mbah Wir, akhirnya mengerti bahwa untuk bisa keluar dari peti-mati, mesti mampu memaknai semua kalimat di atas dengan benar lalu merefleksikannya. Artinya, harus mampu mengusai ilmu Joyo Sukmo atau selamanya akan terkubur di dalam peti mati.
Mbah Wir terus mengulang kata demi kata. Namun tetap saja tidak dapat menemukan makna yang sesungguhnya. "pasti ada yang terlewat, tapi apa?" Mbah Wir, terus berfikir keras, terus mencari jawaban dari teki-teki yang sedang mengungkungnya. Nyawa jadi taruhan atas teka-teki dari buku yang sedang dipegangnya.
"AS*!"
Mbah Wir mengumpat, marah. Lalu memutuskan membuka halaman berikutnya. Namun wajah Mbah Wir sangat kecewa, setiap halaman yang dibuka tidak ada isinya, kosong. Panik bercampur penasaran, Mbah Wir terus membuka halaman demi halaman. Namun, semua halaman sama, kosong. Ada keanehan lain dari buku yang sedang di pegang Mbah Wir, halaman buku itu seperti tidak ada habisnya, meski terus dibuka tapi masih terus ada halaman berikutnya.
____________________
BERSANBUNG
part selengkapnya di karya karsa: https://karyakarsa.com/Karenina/joyo-sumo
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBOLO GENI BOLO SEWU
HorrorKisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan---untold story. Terjadi tahun 1962, di sebuah dusun kecil bernama Lembah Biru. Letak Lembah biru berada di lereng selatan Gunung Raung dan sebelah timur Gunung Kumitir. Kisah tentang seorang pen...