Part 12 KEMARAHAN PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

235 11 0
                                    

                    Ada keanehan lain dari buku yang sedang di pegang Mbah Wir, halaman buku itu seperti tidak ada habisnya, meski terus dibuka tapi masih terus ada halaman berikutnya. Mbah Wir semakin bingung, di puncak kebingungan, Mbah Wir mendengar suara Sumila, "jutek disirepne!"

Reflek Mbah Wir mengulang kalimat tersebut, "jutek disirepne---pikiran jelek diredam---maknanya tidak boleh berburuk sangka." Sesaat setelah Mbah Wir menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba suasana begitu hening, udara di dalam peti mati tak lagi pengap, tapi sejuk dan damai. Bahkan peti mati tak lagi sempit, Mbah Wir merasa berada di tempat yang begitu luas. Detik berikutnya, Mbah Wir tampak sangat kikuk, tersipu karena seorang pemuda tampan berpakaian serba putih telah bersimpuh di sampingnya, tersenyum tipis lalu berkata, "Sugeng rawuh, Kang Mas." ("Selamat datang, Kang Mas." Red-).

Dialah Gusti Pangeran Sawedang, macan putih penguasaha area terlarang di belantara Raung. Sawedang, mengangguk santun kemudian membantu Mbah Wir berdiri. Setelahnya, Sawedang mundur selahkah lalu menekuk lutut, berucap santun, "kulo ngaturaken sugeng rawuh serto ngaturaken sembah bekti kulo mugi kunjuk, Kang Mas" ("Saya mengucapkan selamat datang serta menghaturkan bakti, semoga Kang Mas berkenan menerimanya." Red-).

"Yo, tak tompo Yayi, semono ugo restuku tamponono.'' ("aku terima, baktimu, Yayi, begitu juga restuku terimalah." Red-).

"Nun inggih, Kang Mas.'' ("Baik, Kang Mas. Red-).

Mbah Wir, berjalan mendekati Sawedang, lalu memegang bahunya. Membingbingnya untuk berdiri, menatap dalam-dalam, Sawedang menunduk dalam, tidak berani menatap Mbah Wir. Beberapa saat kemudian, Mbah Wir meraih bahu Sawedang lalu membenamkan kedalam pelukan. Sawedang tampak terkejut, expresinya tidak menyangka akan dapat pelukan erat. Sawedang tampak ragu-ragu melingkarkan tangan. Namun akhirnya, kedua tangannya membalas pelukan, mereka berdua berpelukan untuk beberapa saat.

BRUUUKKK!

Keduanya terhenyak, tiba-tiba sesuatu jatuh di samping mereka berdua dari atas tebing. Reflek mereka berdua melepas pelukan, terpaku menatap tubuh seorang laki-laki terkapar bersimbah darah. 

BRUUUKKK! 

BRUUUKKK! 

BRUUUKKK!

Belum hilang rasa terkejut mereka mendapat kejutan yang lebih besar, banyak sekali tubuh berjatuhan, tak terhitung jumlahnya. Mbah Wir langsung tersadar itu ulah siapa, "Lacip sedang mengamuk?! Ndoro Putri sudah mengingatkan jika aku terlambat, orang-orang tidak akan tertolong." 


                    Panik, Mbah Wir meloncat lalu memanjat tebing, gerakannya begitu ringan. Sementara Sawedang memeriksa satu-persatu tubuh yang berjatuhan. Sesaat kemudian, Sawedang mengibaskan tangan, serta-merta bermunculan banyak sekali pemuda berbadan tegap yang berpakaian serba putih, tanpa diperintah mereka langsung menolong mereka.

Sawedang memeriksa satu-persatu orang-orang yang terluka, pemandangan di tempat itu berubah mengerikan. Orang-orang yang terluka terkapar di mana-mana, darah juga bercecer dimana-mana. Erangan dan rintihan mereka menyayat hati, Sawedang menatap ngeri ke segala arah. Ada duka yang dalam bercampur amarah dalam sorot matanya.

Sementara dari atas tebing masih terus berjatuhan tubuh-tubuh lain, seperti hujan, banyak dari mereka saat jatuh sudah jadi mayat. Sawedang tampak putus asa, berjongkok sambil berteriak sekencang- kencangnya.

"AAAAAAAAAAAACCCKKKK!"

Sawedang sudah tidak dapat menahan amarah, raungannya menggema, orang-orang yang mendengar raungannnya langsung menutup telinga. Detik selanjutnya, Sawedang meloncat naik ke atas tebing tanpa mempedulikan orang-orang yang terluka, pemuda-pemuda tampan yang tadi membantunya mengekor di belakang Sawedang. Gerakan mereka sangat ringan, dalam hitungan menit mereka telah berada di atas tebing, di situ ada tempat landai dan luas. Rupanya disitulah mereka diletakkan oleh bolo sewu. Lacip sedang mengamuk, Lacip menganggab kegagalannya adalah karena ketidak becusan anak buahnya. Oleh karena itu, Lacip berfikir bahwa mereka pantas mati.

Hampir seluruh anak buahnya telah terkapar, saat Mbah Wir sampai ke atas. Yang masih berdiri juga sudah sempoyongan, mundur ketakutan. Lacip benar- benar sinting, psikopat. Tidak ada belas kasian sedikit pun. Menendangi mereka yang terkapar, lalu melempar ke jurang dibawahnya, selayaknya menendang bola. Mbah Wir, menghela nafas panjang, ada sesal dan duka yang sangat dalam di bola matanya.

"Hentikan, Cip!" Lacip tersentak mendengar Ucapan Mbah Wir, sejenak menghentikan aktifitas sintingnya, lalu menyeringai licik. Di akhir seringainya, kakinya melayang menendang Mbah Wir.

TASK!

 Tersentak, Mbah Wir menangkis serangan Lacip, terhuyung beberapa langkah ke belakang. Lalu berbalik menyerang, tampak jelas Mbah Wir menahan serangan, terlihat setengah- setengah melakukannya. Lebih kepada menghindar dan menahan diri, bahkan saat seharusnya serangannya mengenai Lacip, Mbah Wir menahannya beberapa inci.

"Nyapo Wir, kok koyok banci awakmu?" ("Kenapa Wir, kok kayak banci?" red-) Lacip mengejek Mbah Wir.

"Lereno, Cip! Sumele-o, ayo balik!" ("Berhentilah, Cip! sadarlah, ayo kembali!" red-) jawab Mbah Wir dengan suara datar, Lacip tertawa menegejek.

"Kwak....kak...kak!"

Rupanya Lacip membaca dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi, ia tahu bahwa Mbah Wir mengkhawatirkan keadaannya. Namun keangkuhan mengalahkannya, dia berfikir tanpa bantuan Mbah Wir bisa keluar dari sana. Padahal sepekan lebih sebelumnya dia telah mencoba, tidak pernah berhasil. Telah berusaha naik, siang-malam tanpa istirahat dalam sepekan. Namun tidak pernah mencapai atas jurang. Sampai akhirnya putus asa lalu mengamuk, menyerang anak buahnya dan berusaha membinasakan mereka.


                       Pertarungan antara Mbah Wir dan Lacip masih berlangsung saat Sawedang dan anak buahnya sampai atas. Sawedang tahu bahwa Mbah Wir menahan diri, Sawedang sangat mengkhatirkan Mbah Wir sesungguhnya. Karena sawedang tahu, hal ini akan dimanfa'atkan oleh Lacip.

"Kang Mas, masih saja seperti dulu, selalu tidak tega terhadap ____," belum lagi selesai dengan apa yang diucapkanya, tiba-tiba Mbah Wir sudah terkapar di hadapannya. Pukulan telak milik Lacip mengenai dadanya. Sawedang langsung berjongkok, menolongnya, Mbah Wir muntah darah.

Sawedang yang memang sejak dari bawah sudah sangat marah, semakin tidak dapat mengendalikan diri. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengurus Mbah Wir. Sawedang langsung bersila, jelas penuh amarah, wajah tampannya merah padam, sebelum memejamkan mata, menghela nafas panjang berulang. Menata emosi, perlahan tapi pasti wajah tampan Sawedang berubah tenang dan teduh, seteduh laut selatan.

Beberapa saat kemudian terlihat Sawedang berdiri, meningalkan raganya, dia melakukan beberapa gerakan khas, gemulai gerakannya bagai penari gandrung. menghipnotis. Lacip tampak tersenyum mengejek, di akhir gerakannya Sawedfang mengibaskan tangan kanan  beberapa kali seolah sedang menggiring sesuatu. Lalu?

BAAAAAMMMMM!

Sebuah peti mati tiba-tiba meluncur deras dari atas tebing, mendarat dengan keras di hadapan Sawedang. Lacip tampak terkejut, kemudian seringai licik kembali menghiasi wajahnya. Detik selanjutnya, Sawedang menendang dengan keras peti mati di hadapannya. Peti mati melesat menabrak tubuh Lacip. Lacip yang senyeringai puas menyaksikan Mbah Wir terkapar, tidak sempat menghindar, tubuhnya terdorong hingga menabrak tebing. Tubuh Lacip terpental beberapa meter, langsung muntah darah. Lacip terkapar berusaha bangkit sambil memegangi dadanya.

Peti mati masih melayang-layang di udara seolah menunggu perintah dari tuannya. Sawedang sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi terhadap Lacip. Wajah tampannya beku tanpa ekpresi, kemudian Sawedang melakukan beberapa gerakan lain, peti mati tiba-tiba kembali jatuh berdebam ke tanah. Menuruti perintah bendoronya.

BAAAAAMMMMM!

Tanpa belas kasian, Sawedang menendang tubuh Lacip yang baru saja mampu mengakkan punggung, tubuh Lacip melesat ke udara kembali menabrak tebing, darah kembali muncrat dari mulutnya. Sesaat kemudian Lacip jatuh tepat di atas peti mati yang terbuka, peti mati itu seolah memang sedang menadah tubuhnya. Setelah itu, tangan kiri Sawedang mengarah ke arah tubuh Mbah Wir, diputarnya telapak tangannya dengan gerakan khas. Bagai penari gandrung yang sedang mengundang tamunya untuk ikut menari ke panggung, sebuah buku melesat cepat, dalam kedipan mata buku itu telah berada di tangan Sawedang. Sawedang masih sempat membaca sampul buku, "Joyo Sukmo."

_____________ 



GEMBOLO GENI BOLO SEWUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang