Sudah berapa Minggu berlalu sejak aku mengambil alih Dewa sebagai pasukanku? Tidak, maksudku sebagai kekasih yang aku kungkung dengan aba-abaku. Sudah sejak saat itu pula aku tak henti-hentinya gelisah, kupikir semakin banyak saja yang menanyakan Dewa padaku meski sudah kukatakan bahwa dia memiliki seseorang yang disebut sebagai kekasih. Justru lebih banyak orang bertanya siapa kekasihnya dan secantik apa kekasih seorang Ketua Gana Nirbaya, Mahanta Basudewa. Ingin sekali rasanya aku mengatakan pada mereka, "Aku lah si cantik kekasih Mahanta Basudewa." Sayangnya aku tidak secantik itu untuk bisa menyombongkan diri.
Sekali waktu aku juga bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku salah telah memilih untuk jatuh cinta pada Dewa? Seseorang yang bisa disebut idola sejuta umat di sekolah ini. Akan tetapi, aku tidak pernah memilih untuk jatuh cinta. Bagaimana hati ini bisa memilih kepada siapa dia akan menaruh perasaanya? Tidak bisa, bukan? Ya, aku hanya menyukainya begitu saja tanpa tahu bagaimana bisa.
Haruskah aku menyebutkan siapa saja yang bertanya padaku setelah kabar tentang kekasih Dewa kemarin kusebarkan? Jika harus maka akan aku sebutkan. Pertama, Rini, seseorang dari kelas XI IPS 3 yang memperkenalkan diri tiba-tiba melalui pesan singkat WhatsApp, lalu tanpa basa-basi lain dia menanyakan apakah aku tahu siapa kekasih Dewa. Sungguh ini lucu dan bagiku terlalu berani. Aku tidak pernah mengenalnya sebelumnya, bukan, maksudku aku mungkin familier dengan wajahnya tapi sekalipun kami tidak pernah bertegur sapa meski kami satu angkatan, bagiku terlalu berani untuk menanyakan hal pribadi tentang Dewa semacam ini. Kemudian yang kedua, Kia, anak IPA 2 yang sebenarnya tidak begitu dekat denganku tapi dia juga menanyakan apakah benar Dewa memiliki kekasih yang cantik ataukah aku hanya diminta Dewa untuk menjauhkan perempuan-perempuan yang berusaha mendekatinya. Ah, sudah lah, masih banyak lagi dan satu halaman cerita tak akan cukup. Pada intinya adalah aku muak.
"Una," panggil Dewa yang sejak tadi sudah ada di depanku membicarakan laporan pertanggungjawaban dana perlombaan kemarin. Ya, ada beberapa yang harus kami perbaiki, termasuk kesesuaian nota pembelanjaan dan biaya yang kutulis dalam laporan pengeluaran. "Kamu dengerin aku nggak? Kamu nggak tiba-tiba jadi tunarungu, kan?"
"Hah? Nggak lah."
"Ya sudah ini diperbaiki dulu, nota pembelian kaus kaki dengan laporan pengeluaranmu itu berbeda nominalnya, seharusnya..." Dewa menghela napas setelah menghentikan kalimatnya yang belum tuntas. "Kamu sudah berulang kali membuat laporan ini dan tidak biasanya kamu seteledor ini. Mau bilang sesuatu? Mau kasih aku aba-aba apa?"
Menggeleng.
Aku sudah mengatakannya pada Dewa saat itu, haruskah aku mengatakannya lagi? Tapi dia akan menganggapku sebagai seorang pencemburu, mungkin dia juga tidak akan menyukai sifatku ini. Bagaimana jika kami bubar jalan sebelum sampai pada aba-aba berjalan ke berhenti? Banyak hal yang membuatku khawatir meski setiap harinya sejak perpisahan kedua orang tuaku, aku belajar untuk menerima aba-aba bubar jalan meski belum tiba waktunya.
"Kamu masih khawatir tentang orang-orang yang menginginkan aku? Ah, terkadang aku heran, apa aku setampan Taehyung BTS yang suka dielu-elukan anak zaman sekarang? Atau aku ini sangat-sangat berprestasi seperti Kevin Sanjaya? Rasanya tidak, bahkan kekayaanku pun tidak sebanding dengan kekayaan Kaesang Pangarep. Jadi kenapa banyak sekali yang suka sama aku?"
"Kamu masih sempat memikirkan itu?" tanyaku ketus.
Menghela napas. "Berikan aku aba-aba kalau begitu atau aku saja yang mengambil alih hubungan ini lagi?"
"Nggak, aku nggak mau kamu tiba-tiba memberiku aba-aba bubar jalan. Aku, aku tahu kok kalau semua cinta bisa bubar jalan tapi aku tidak mau sekarang."
"Bahkan selamanya pun aku mungkin tidak mau," gumamnya yang kudengar samar-samar. Memejamkan mata sejenak lalu mengatakan, "Una, cukup ya. Aku sudah ada di bawah kendalimu dan kamu masih khawatir? Kalau kamu masih seperti ini, berikan aku aba-aba yang lebih keras!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
Teen FictionPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...