Kagaduhan belum juga redam meski sudah lewat jam istirahat pertama. Banyak siswi membicarakanku terang-terangan. Beberapa memuji, maksudku berbahagia tentang hubunganku dengan Dewa tapi beberapa lagi dengan nada kerasnya tidak terima. Patah hati memang semenyakitkan itu, tetapi tidak ada alasan untuk menyalahkan orang yang tidak salah. Benar, bukan? Dalam hal ini aku tidak salah, aku tidak merebut Dewa dari siapapun, tidak memaksa Dewa, dan tidak menyingkirkan orang lain demi perasaanku.
Aku tahu kegaduhan ini sangatlah mengganggu, akan tetapi aku lebih tidak menyukai orang lain terus berusaha mengejar Dewa saat dia bersamaku. Jika semua orang tahu semacam ini, ya, setidaknya beberapa orang dapat menahan dirinya meskipun tidak semua bisa menyerah pada Dewa yang pasti beban itu sedikit berkurang. Ya, sampai kapanpun, cinta selalu memiliki penganggunya. Bahkan sudah menikah sekalipun, cinta bisa memiliki banyak sekali danton tinggal mana yang berani mengambil alih.
Benar, berkaca pada Mami dan Papi yang tidak lagi dalamm satu komando meskipun sudah diikat dalam ikatan suci bernama pernikahan. Mereka tiba-tiba menemukan danton baru yang mereka biarkan mengambil alih hati mereka dan membuat cinta berhimpun dalam satu tempat. Tidak ada pasukan yang pasti dan menetap, tidak ada danton yang tidak bisa tergantikan kecuali Tuhan, maka benar jika cinta bisa saja berubah mengikuti aba-aba.
Ah, apapun itu aku hanya ingin menikmati kebahagiaa ini sebelum Dewa atau aku menginstruksikan bubar jalan. Apa yang aku punya sekarang, aku hanya berusaha memandu dan merawatnya dengan baik. Perkara bubar jalan atau berakhir pada padang mahsyar, aku akan memikirkannya nanti.
"Ngalamunin apa?" tanya Dewa yang baru saja duduk di sampingku dengan satu jilid kertas dan dua es krim di tangannya.
"Ah, nggak. Ngapain? Nanti jadi bahan omongan orang!" Memperhtikan sekeliling. Tentu saja, semua mata tertuju padaku dan Dewa. Bahkan ibu kantin yang merupakan tempat curhat sejuta umat di sekolah ini pun ikut melempar tatapan pada kami.
Tersenyum sembari memberikan satu es krim padaku.
"Heh, bisa senyum juga si Mas Dewa?" bisik yang di belakang terdengar olehku. Padahal kantinn cukup ramai di jam istirahat.
"Cakep banget kalau senyum, kenapa nggak dari dulu-dulu coba," bisik yang lain.
"Dia senyum gitu cuma ke pacarnya aja inget!"
"Bener-bener, kalau orang cakep plus dingin kaya kulkas 32 pintu senyum ke perempuan, jangan anggap diacuma teman. Lihat saja Mbak Una, katanya cuma teman dekat yang bisa bikin Mas Dewa senyum tahunya teman hidup." Baiklah ini sudah tidak lucu lagi.
Dewa tiba-tiba tertawa kecil. "Sudahkah kamu merasa beruntung hari ini, Una?" tanyanya membukakan bungkus sendok es krimku.
"Apanya yang beruntung? Sejak tadi jadi bahan omongan orang kok beruntung," jawabku ketus.
"Punya pacar yang jadi idaman banyak orang itu harusnya merasa beruntung."
"Dih!" balasku tidak terbiasa dengan sikap narsistiknya. Benarkah ini Dewa yang kukenal sebelumnya? Mengapa dia memberikan banyak sekali kejutan.
Dewa tersenyum dan menikmati es krimnya, aku pun begitu. Selanjutnya, tiada obrolan mengenai hubungan kami lagi. Dewa hanya membahas Gana Nirbya, Diklat, dan Reorganisasi Gana Nirbaya bulan depan. Ya, sebagaimana pun hubungan ini terasa hangat, Dewa tetaplah orang yang profesional, mengutamakan tugas dan amanahnya adalah yang utama dibandingkan perasaan kami. Toh, ini yang kujanjikan pada teman-teman Gana Nirbaya agar perasaan kami tak mengganggu laju kegiatan dalam organisasi.
"Mau balik ke kelas? Aku yang naruh laporan itu ke basecamp atau kamu sendiri yang naruh ke sana?" tanya Dewa dalam perjalanan kami meninggalkan kantin. Memang, laporan pertanggungjawaban lomba kemarin telah sempurna. Aku harus menyimpannya dalam almari arsip di ruang Gana Nirbaya.
"Ak..."
"Pacaran teros!" sambar Opik membuat kalimatku tak sempurna, ditambah huruf o yang bulat di antara kata terus yang tidak baku.
"Nggak pacaran, orang ngasih laporan pertanggungjawaban yang tadi," jawab Dewa. "Tapi, memang ada niat buat pacaran sih," lanjutnya membuatku memukul lengannya dengan 1 jilid kertas di tanganku.
"Tuh kan!" pekik Opik. "Dewa, koen beneran bucin sama Una, ya?"
"Sok tahu!" balasku.
"Loh, kelihatan tahu, Na. Dewa nggak pernah senarsistik itu juga kok di depan pacar-pacarnya yang dulu. Dewa juga cenderung cuek tapi sama kamu enggak. Dan satu lagi, semalam kan gempar tuh waktu kamu bikin instagram story. Hampir 100 orang perempuan nanya ke aku tentang hubungan kalian. Aku harus jelasin ke sana sini dan Dewa justru asyik membuat status WhatsApp tentangmu. Wah, sangat-sangat diperbudak cinta."
Menoleh ke arah Dewa yang salah tingkah.
"Aku nggak nyuruh kamu jelasin juga. Kamu saja yang kurang kerjaan jelasin hubungan orang ke orang lain, Pik," balas Dewa dengan telinga yang sedikit merah.
Aku jadi penasaran tentang apa isi status Dewa semalam. Benar, aku mematikan ponselku dan baru membukanya tadi pagi di jam 8 lalu membiarkannya tersemat di antara buku-buku. Dalam arti aku tak sempat melihat jajaran status teman-temanku termasuk Dewa.
"Lupakan! Ini ngapain kamu tiba-tiba ada di antara aku dan Una?" tanya Dewa pada Opik.
"Ah, tadi ada yang nyari Una di depan, aku nggak tanya siapa cuma disuruh guru nyampein ke Una. Katanya kamu ditunggu di ruang piket," jelas Opik lalu pamit meninggalkan kami.
Siapa yang mencariku? Aku tak merasa ada yang perlu mencariku. Bang Nathan? Kami bisa bertemu di rumah. Mama dan Papa pun sama, banyak waktu kami bisa bertemu di rumah. Bahkan jika itu sangat penting, baik Papa, Mama, dan Bang Nathan pasti langsung menemuiku di kelas.
"Nggak dikasih tahu siapa?" tanyaku.
"Eng..."
"Una," panggil seseorang dari arah belakang, memori suara yang telah lama kukubur kini naik kembali ke permukaan. "Ini Mami, Sayang," lanjutnya setelah aku berbalik.
Dewa dan Opik menoleh padaku sementara aku mematung untuk beberapa saat sebelum Dewa membisikkan, "Pimpinan saya ambil alih!" Menggenggam tangan kiriku. "Dua langkah ke belakang, jalan!" tegas tetapi lirih.
Aku mundur dua langkah dan dia tetap. Dewa tidak benar-benar ada di depan untuk melindungiku tapi dengan dia ada di depan sebelah kiriku, itu cukup bagiku untuk merasa terlindungi.
"Mami kangen banget sama Una, em, Mami sudah minta izin sama Tante, Mami mau..."
AKu menggnggam tangan Dewa semakin erat dan bergeser ke belakang tubuh tegap Dewa.
"Perlu dua langkah ke belakang lagi kalau kamu masih ragu-ragu, atau mau balik kanan lari maju jalan kalau kamu sudah tidak mau bertemu dengan Mamimu?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang dan berbisik. Dewa masih cukup baik menjaga perasaan Mami agaknya. Sementara Mami tersenyum tanpa dosa di depan kami.
Sungguh sebuah dusta yang manis. Bagaimana dia bisa tersenyum tanpa rasa bersalah, dan bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia merindukanku setelah membuangku tanpa pernah peduli bagaimana sakitnya terbuang. Mengapa dia pandai sekali berdusta bahkan ketika musim di dalam dirinya ialah musim dingin.
"Mami, mami tahu Una marah sama Mami, tapi..."
Aku tidak ingin mendengarnya lagi dan langsung berlari ke arah ruang guru, meninggalkan Dewa dan juga Opik yang tidak tahu juga harus berbuat apa. Benarkah Mama mengizinkan Mami menemuiku? Mengapa? Bukankah Mama sama marahnya denganku? Bukankah Mama juga merasa terluka sama sepertiku? Tidak, maksudku bukankah Mama mengerti perasaan benciku? Mengapa Mama membiarkanku bertemu dengan ketidaknyamanan ini?
Mami, bagaimana dia bisa meninggalkanku begitu saja saat aku membutuhkan aba-abanya untuk kehidupanku? Bagaimana dia bisa menyerahkan kepemimpinannya pada orang lain? Ya, pertanyaan-pertanyaan yang kini kembali berkecamuk dalam kepalaku. Benar, aku hanyalah pasukan yang setiap saat akan dialihkan kepada orang lain. Aku adalah pasukan yang siap menerima perintah jika ada pergantian kepemimpinan. Kehidupan yang sangat kubenci.
🚶🚶🚶🚶🚶
Bersambung...
Gimana? Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
Fiksi RemajaPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...