MCD [22] Hadap Kanan Henti

3.8K 556 39
                                    

17 Agustus adalah hari yang paling disyukuri oleh rakyat Indonesia, hari bersejarah di mana darah bertumpah ruah dan tulang-tulang patah. Semata untuk bahagia dari 45 sampai nanti. Meski terlalu banyak anak negeri ini lupa bagaimana negara ini merdeka, bahkan kemerdekaan bagi rakyat kecil juga masih merupakan penderitaan, tapi mereka tetap merayakannya dengan suka cita.

Di tanggal ini pula aku menciptakan sejarah dalam hidupku. Aku yang dibuang selalu mendapat tempat terbaik selama masih ada di negeri ini. Sudah kukatakan, bukan? Hari ini aku akan bertugas sebagai pembawa baki pada saat pengibaran bendera, saat penurunan nanti bukan aku yang membawa baki, tapi Zely.

"Dewa habis kamu marahin?" tanya Devon di pagi hari saat aku masih duduk di depan ruang rias bersama Arsi.

Menggeleng. "Ah, kalaupun aku marah, udah biasa juga di telinganya."

"Iya juga ya. Cuma agak aneh aja dia, tiba-tiba pas bangun tidur dia senyum-senyum sendiri," jelasnya.

"Kalau kena marah Una nggak mungkin juga Dewa senyum-senyum sendiri, Dev. Yang ada tampah muram itu wajah," seru Arsi.

Devon menaikkan sebelah alisnya. "Ah, penggemarnya Dewa. Kayanya kurang tahu soal Dewa ini. Alfa sama Hendri yang bilang, Dewa sama Una kalau habis berantem, atau Una habis marah besar ke Dewa, pasti kutub es Dewa meleleh."

Dahiku mengernyitkan. Tentu saja aku memprotesnya karena Dewa tidak pernah begitu. Kalian sendiri sila menjadi saksi, apakah Dewa tersenyum setelah bertengkar denganku? Tidak. Apakah dinginnya meleleh? Tidak, yang ada justru semakin dingin dan dingin.

"Lah, Dewa selalu melakukan itu setiap kali tidak ada kamu. Tanya sama Alfa sama Hendri sendiri lah. Katanya semua anggota Gana Nirbaya juga tahu, cuma lebih banyak diem karena takut Gana Nirbaya bubar jalan," jelas Devon lagi semakin meracau. Dia tidak tahu kehidupan kami setiap harinya tapi terlalu percaya pada cerita orang lain.

"Ngaco! Dewa ada pacar ya, nanti aku lagi yang kena. Noh, anak SMAN 2 masih ngira aku mau ngerebut Dewa. Tatapannya udah kek lihat pelakor," ketusku masuk ke dalam karena satu orang sudah selesai memoles wajahnya. "Haishhhh, orang-orang di luar itu nggak gugup apa ya, masih sempat-sempatnya ngajak ngerumpi," keluhku setelah mengetahui ada Alfa di sebelah tempat dudukku menunggu perias menyiapkan alatnya yang baru.

"Kenapa? Diwawancara soal Dewa lagi?" tanya Alfa yang sedang dilukis alisnya.

Menoleh. "Fa, kamu sama Hendri bilang aneh-aneh ya soal Dewa sama aku? Ishhh, capek lah. Nggak tahu apa-apa tapi diposisikan seolah-olah aku ini pelakor hubungannya Dewa sama Via."

"Bukannya memang iya?" seru anak SMAN 2 yang ternyata ada di sisi kiri.

"Yaa!" ketusku. "Anak 17 sama 45 longgar banget hidupnya sampai bisa ngerumpi. Seriusan ya, bilang sama Via kalau aku nggak niat banget dan nggak banget mau ngerebut Dewa dari dia."

"Masa?"

"Iya!"

"Aku pegang ya ucapanmu!"

"Iya."

"Tapi subuh tadi Via sama Dewa putus."

"What?"

Hanya mengangkat kedua alisnya. Sungguh? Ah, sudah-sudah, lupakan soal hubungan orang lain. Bukankah lebih penting berdoa dan berusaha tenang sebelum melaksanakan tugas? Membuat kesalahan sedikit saja akan dikenang selamanya dan menjadi mimpi buruk. Aku tak mau dikenang sebagai pembawa baki yang melakukan kesalahan. Ini hanya sekali dalam seumur hidupku.

Usai merias wajahku, aku pergi ke luar untuk melakukan sedikit latihan. Kemarin-kemarin aku masih dievaluasi pada langkahku menuju mimbar untuk mengambil bendera merah putih. Pelatih bilang aku sedikit lebih lembat dan terlihat cukup takut ketika berjalan mundur menuruni 2-3 anak tangga saja. Ya, terkadang ada bayangan aku akan salah mengambil pijakan sehingga jatuh.

My Cold DantonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang