Selamat siang, aku akan selalu menyapa kalian dengan selamat siang. Bukan karena aku menyukainya, sebab waktuku selalu siang, tersengat terik, bermandikan peluh, terbebani gerakan-gerakan melelahkan. Tak apa waktuku seringkali siang, yang terpenting semangatku seperti saat arunika menyapa pagi dan membara seperti teriknya matahari menyulut siang. Itu pesan Bang Nathan, sejatinya aku masih harus belajar untuk kembali melanjutkan perlombaan.
Jika aku melupakan masa lalu dan hidup baik-baik saja saat ini, itu omong kosong. Aku tidak pernah melupakan masa lalu, ia tetap menjadi kenangan menyakitkan. Aku yakin kalian pun begitu, tidak ada masa lalu yang bisa dilupakan, mungkin hanya bisa didamaikan. Aku mencoba itu, tapi ketika masa lalu itu kembali terngiang, ada saatnya aku merasa sangat tidak baik-baik saja.
Duduk di kantin sendirian, bukan aku tidak memiliki teman, ada tapi aku kurang nyaman. Mungkin wajar, semua orang pernah begitu pada awal ia masuk sekolah. Tidak, ya? Mungkin hanya aku.
"Una," panggil seseorang yang wajahnya tidak asing bagiku, siapa lagi kalau bukan si Cina KW, Opik. "Sudah ketemu sama Dewa?"
Menggeleng. "Untuk apa dia mencariku?"
"Itu anak!" gumamnya sedikit kesal. "Nanti junior Gana Nirbaya kumpul. Perintahnya Dewa, kamu disuruh bikin surat tugas."
"Kenapa nggak bilang langsung ke kelas?"
Menggeleng.
"Eh, Pik. Aku nggak tahu lagi cara bikin surat tugas, gimana dong?"
Opik pun menggeleng. "Aku juga nggak tahu."
"Terus gimana?"
"Tanya sendiri sama Dewa."
Menghela napas panjang.
Usai makan siang, aku langsung menuju ke kelas Dewa, mencarinya dan dia tidak ada di kelas. Teman-temannya mengatakan Dewa sedang ada di basecamp ambalan, sedang ada pemilihan pengurus juga di sana. Terpaksa ia meninggalkan kelas sejak pagi.
"Luar biasa memang, ikhlas meninggalkan kelas untuk kegiatan? Hishhh, kaya yang udah pinter aja akademiknya," gumamku berjalan menuju basecamp ambalan di pojok gedung keorganisasian.
Bukan, maksudku ia terlalu serakah. Terdaftar sebagai pasukan apalagi sebagai ketua Gana Nirbaya sudah pasti membuatnya sibuk. Berdasarkan cerita dari Bang Nathan. Lebih-lebih jika lomba baris-berbaris sedang padat dan seleksi paskibraka menanti. Tapi Dewa, ia bergabung dua kegiatan sekaligus, ambalan dan pasukan inti. Bagaimana ia tidak kubilang serakah? Bagaimana juga ia bisa meninggalkan kelas dengan damai nantinya?
"Permisi, Dewa ada?" tanyaku pada seorang perempuan dengan badge kelas yang sama denganku.
"Lagi rapat di dalam. Bisa panggilin, nggak?"
"Kalau bisa ya, soalnya seniornya kaya singa," bisiknya membuatku terhenyak. Bisa-bisanya ia mengatakan hal itu padahal kami tak saling kenal, ah, mungkin lebih tepatnya belum saling mengenal.
Aku mengangguk saja dan menunggu di depan basecamp ambalan. Cukup lama, sampai akhirnya seorang senior perempuan menghampiriku. "Nunggu siapa, Dik? Kenapa nggak masuk?" tanyanya dengan wajah sinis. Tentu, semua senior memang suka memasang wajah sinis, lebih-lebih di tahun ajaran baru.
Menggeleng. "Saya bukan anak ambalan, Kak. Saya nunggu Dewa, ada kepentingan terkait Gana Nirbaya."
"Dewa?"
"Ah, Mahanta Basudewa, Kak."
"Oh. Nanti saya panggilkan."
Mengangguk.
Menunggu lagi cukup lama hingga akhirnya Dewa keluar dari ruang ambalan. "Kenapa?" tanyanya ketus.
"Mau tanya, bikin surat tugas gimana caranya? Aku nggak tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
أدب المراهقينPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...