MCD [12] Tiap-tiap Banjar Dua Kali Belok

4.7K 683 65
                                    

Seminggu berselang, Bang Nathan telah kembali dengan kebanggaannya. Seragam putih yang dipajang diam di dalam kamar, pin Purna Paskibraka Indonesia yang kini ada di tas hitamnya, dan kenangan baju latihan serta topi yang mulai lusuh. Abang terus bercerita tentang bagaimana 1 bulannya di Surabaya dan bagaimana dia menyelesaikan tugas dengan baik sebagai pasukan 8. Tak menyangka, Bang Nathan yang jahil dan banyak bicara ini bisa masuk pasukan 8.

Tadi aku sempat bertanya, apa alasan pelatihnya menempatkan Bang Nathan di pasukan 8, itu pasukan paling bergengsi setahuku. Tahu Abang jawab apa? Karena dia ganteng. Rasanya orang-orang di sekitarku tidak ada yang benar, kecuali Mama dan Papa.

"Nu, udah siap belum? Abang mau berangkat nih!" pekik Bang Nathan dari kamarnya. Daripada berteriak, kenapa tidak berbicara sebelum dia pergi tadi? Memang Abang lebih suka berisik daripada baik-baik.

Aku tidak menjawab sampai akhirnya Bang Nathan masuk lagi ke kamarku dengan helm di kepalanya dan kunci motor dengan gantungan boneka beruang kecil.

"Ayo! Belum ganti baju juga?" katanya berdiri tegak.

"Nggak latihan!" tegasku.

"Weh, kenapa? Sakit?"

"Udah nggak mau latihan. Udah bubar jalan tanpa penghormatan!"

"Lah, kenapa sih?" Mendekatiku, duduk di sebelahku. Aku yang masih tengkurap memainkan ponsel, berselancar di pencarian Instagram.

"Udah males. Percuma ikut tapi ketuanya nggak pengen aku ada di pasukannya."

"Dewa? Kenapa?"

"Tahu lah! Tanya sendiri!"

"Nu, ayo ah! Nggak ada alasan buat nggak latihan. Abang ketuanya ya ini. Nanti Abang keluarin dengan tidak terhormat loh."

"Emang udah keluar tanpa penghormatan juga."

"Nu! Masa gara-gara Dewa aja banyak aba-aba yang kelewat sih. Ayo lah, nggak boleh bubar jalan tanpa penghormatan kalau belum keluar dari area perlombaan. Yuk ah!" Menarik tangan kananku agar aku mau bangkit.

"Nggak mau!" tegasku.

Bang Nathan melepaskannya, kembali duduk dan menatapku beberapa detik dengan diamnya. "Nu, malah kesannya aneh kalau kamu mempermasalahkan ini berkepanjangan. Kalau kamu merasa dicampakkan sama dia padahal kamu deketin juga enggak. Kamu harus lebih bisa mencampakkan dia. Sekarang waktunya tiap-tiap banjar dua kali belok kanan atau tiap-tiap banjar dua kali belok kiri, terserah. Artinya apa? Sekarang waktunya mikirin diri sendiri dan waktunya buat mengatur tugasnya sendiri-sendiri tapi biar seimbang barisannya, tetap perhatikan banjar lain. Kalau dia nggak mau deket, tinggalin. Kaya cuma dia aja yang harus deket sama kamu."

Membenamkan wajahku ke bantal empuk, menjatuhkan ponselku.

"Jangan jadikan dia penghalang. Kalau orang lain kejam sama kamu, bilang sama dia kamu bisa lebih kejam. Kalau kamu protes kaya yang diceritain Opik, malah kesannya kamu cemburu. Suka sama Dewa nih jangan-jangan."

"Enggak, Bang," balasku pelan. "Aku cuma kesinggung aja. Apa semenjijikkan itu sampai harus dihindarin? Kalau dia bilang nggak mau nyentuh aku karena alergi, aku nggak apa-apa. Tapi kalau dia bilang nggak bisa deket-deket sama cewek terus di belakang dia bisa deket sama cewek lain, itu kaya menginjak harga diriku juga. Nggak ada orang mau deketin dia tapi sok kecakapan!"

"Tapi dia kan emang cakep."

"ABANG!" Melempar bantal ke wajahnya.

Bang Nathan terkekeh. "Sudah lah, anggap Dewa nggak ada."

"Tapi kan dia ketua aku sekretaris, mau dianggap nggak ada ya nggak bisa. Jalan satu-satunya buat mengabaikan dia ya keluar dari Gana Nirbaya."

"Nu, kamu justru seperti pecundang nanti. Udah ayo berangkat, mau Abang gendong? Nggak ding, Abang seret aja. Gendong, enak aja. Badan kek gajah gitu."

My Cold DantonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang