Surabaya menyambut kedatangan Gana Nirbaya dengan langit yang tersenyum cerah. Meski kendala keberangkatan sejak kemarin seolah tak mau enyah. Opik yang tiba-tiba demam, Yuki yang mabuk perjalanan, bus yang harus mengalami ban kempes 2 kali, dan bahkan hampir menabrak pengendara motor. Semua kendala itu nyata terpampang. Beberapa berbisik tentang kesialan tapi aku dan Dewa masih berseru untuk tidak mempercayainya. Bahkan ini lomba pertama yang kami ikuti sebagai pasukan yang benar-benar pasukan. Jika lomba parade dan defile memiliki tambahan anggota dari siswa lain, kali ini tidak. Hasil latihan berhari-hari selama 1 bulan lamanya. Aku tak ingin semua patah hanya karena beberapa kejadian saja.
"Pik, kamu beneran sudah nggak ada daya upaya?" tanya Dewa memegangi dahi Opik terus menerus.
Opik tersenyum. "Ada, aku bisa. Tapi stop pegangin dahiku. Orang akan salah paham, Wa."
Aku terkekeh.
"Oke."
"Mending hafalin ulang tuh aba-aba. Awas ya sampai kaya kemarin pas geladi bersih. Main ulangi-ulangi!"
Nampaknya aku tak perlu terlalu khawatir pada Opik, karena dia masih bisa menasihati Dewa. Lebih-lebih soal momen Dewa hampir salah menyebutkan aba-aba. Seharusnya melintang kiri namun aba-aba hampir saja menjadi halauan dan Dewa harus memekik kata ulangi sebelum benar-benar terjadi. Untungnya masih geladi bersih, jika sudah dalam perlombaan, aku yakin akan ada pengurangan nilai.
"Iya, iya. Doain aja nggak latah kaya kemarin."
Opik dan aku hanya tersenyum. Tapi Dewa, bukannya membuka catatan aba-aba, dia justru membuka pesan dari pacarnya. Padahal balasan pesannya dari Dewa hanya, "Ya, yaudah, udah sampai, udah." Sebatas satu kata atau dua kata tapi waktu membalasnya cepat, secepat kilat.
Karena bosan menunggu upacara pembukaan yang terlambat, aku memutuskan memainkan ponselku juga. Membuka beberapa platform media sosial, melihat-lihat isi media sosial para atlet bulu tangkis di seluruh dunia. Kegiatanku selama tidak ada kegiatan lain.
"Wait, Minggu lalu kamu ultah ya, Wa?"
Mengangguk.
"Belated birthday, Wa. Sorry, lupa," ucapku.
"Dah biasa. Kinar yang nggak lupa," balasnya.
"Kasih kado pasti. Gila kan si Kinar, udah patah hati tapi harapannya tetep besar," seloroh Opik dengan suara lemahnya.
"Kasian sebenarnya, tapi gimana lagi." Dewa masih santai.
"Kasih kado apa? Kok nggak nitip ke aku ya, lupa kali dia yang bantuin dapatin nomormu siapa. Gitu kalau dateng jadi temen pas butuh doang. Kaya Mami sama Papi, pas mereka seneng aja ada aku, pas udah nggak seneng bareng-bareng aku dibuang gitu aja. Manusiawi banget," gerutuku meyandar pada Alfa. Kami sedang duduk di pelataran sekolah swasta di Surabaya, pihak penyelenggara.
Dewa dan Opik diam untuk beberapa saat, mereka duduk di depanku tepat, sembari memainkan daun-daun yang berguguran.
"Kasih miniatur kapal gitu dalam botol, mahal kayanya. Dititipin ke Natalia, tetanggaku anak IPA 3," jelas Dewa.
Mengangguk-angguk.
"Na, untuk perhatian, istirahat di tempat, grak!" perintah Dewa hanya menunjukku.
"Ngapa dah?" Kebingungan tapi Dewa mengulangi aba-abanya sekali lagi. "Sedeng lu ya?"
Alfa dan Opik terkekeh sementara Dewa menghela napas panjang. Dia bilang, dia ingin aku melakukan istirahat parade sebentar saja dan memperhatikannya karena dia mau berbicara. Ya, mana aku paham. Setahuku perintah istirahat parade harus ada kata parade dulu di depan, misalkan, "Parade, istirahat di tempat, grak!" Ternyata dalam upacara bendera yang biasanya, "Untuk perhatian, istirahat di tempat, grak!" Itu juga termasuk istirahat parade karena pandangan kita akan tertuju pada satu titik, biasanya Pembina Upacara saat hendak memberikan amanat. Kata Dewa begitu, tapi dia sendiri juga tidak yakin, hanya pernah mendengar dari pelatih Pramukanya di SMP.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
Teen FictionPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...