Selamat pagi hari Rabu rasa hari Senin, hari di mana tubuh terasa berat untuk berpindah dari tempat tidur apalagi berangkat ke sekolah. Sejujurnya itu karena ada sedikit penyesalan telah mengumumkan hubunganku dengan Dewa melalui Instagram kemarin. Aku bahkan mematikan sambungan internetku, mengeluarkan akun Instagram, Twitter, juga Facebook-ku. Bahkan WhatsApp saja kumatikan. Lalu bagaimana aku menghubungi Dewa? Tentu saja aku tidak menghubunginya semalam, entah dia mencariku atau tidak. Penyesalan ini bukan berarti negatif, hanya semacam, "Apa yang aku lakukan ini benar untuk hubungan kami? Bukankah lebih nyaman jika menjalaninya hanya berdua dan tidak menjadi konsumsi publik?" Sayangnya udang terlanjur menjadi rempeyek.
Bagaimana tanggapan orang-orang nanti? Apakah biasa saja dan tak terlalu mencampuri atau justru selalu ingin tahu? Mengingat Dewa bukan lah orang biasa. Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berkecamuk. Wah, aku sungguh tidak ingin berangkat ke sekolah. Aku tidak mau menunjukkan wajahku pada orang-orang, bahkan Mama sekalipun.
"Una, Sayang, berangkat ndak? Mama sudah mau berangkat nih. Kamu juga belum sarapan, kan? Una sakit?" tanya Mama mengetuk pintu kamarku berulang kali. Tangan hangatnya itu juga sesekali berusaha membuka pintu kamarku yang terkunci.
Tidak, tidak, aku tidak boleh menjadi pecundang, bukan? Keputusan telah dibuat dan apapun risikonya seharusnya aku sudah tahu sebelum memutuskan sehingga tidak akan ada penyesalan semacam ini. Toh, penyesalan tidak akan mengubah apapun. Akan kuhadapi semua serangan hari ini dengan senyuman manis.
"Iya, Ma, sebentar." Segera mengambil tas ranselku dan membuka pintu. "Nanti Una sarapan di sekolah aja, Una kesiangan." Realitanya aku justru tidak bisa memejamkan mataku dengan baik.
Dari mata indahnya di pagi hari, aku tahu Mama tidak memercayai kata-kata yang keluar dari mulutku. Tentu saja, Mama lebih memahamiku dibandingkan orang yang meminjamkan rahimnya padaku.
"Mama ndak masalah kalau Una suka sama cowok atau Una punya pacar, tapi Una tahu kan tugas utama Una selama masih sekolah?" lontar Mama di tengah perjalanan yang hening.
Mengangguk. Aku tahu, tentu aku tahu dengan baik bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu belajarku sebab aku tidak ingin membuat Mama dan Papa kecewa. Mereka sudah mau merawatku yang rapuh ini, mereka mau memberiku semangat secara cuma-cuma baik segi material maupun psikologis, di mana orang-orang yang seharusnya bertanggungjawab atas diriku enggan melakukannya. Aku harus menjadi lebih dewasa lagi sebab tak ada banyak tempatku bisa bermanja-manja.
"Dewa yang ketua pasukan inti itu, kan?"
Mengangguk.
"Nanti Mama ngajar di kelasnya."
"Jangan ditanya-tanya!" pintaku lirih.
Mama menahan tawanya. "Sudah pernah Mama tanya kok."
Menoleh ke arah Mama yang masih menahan tawanya. "Mama tanya apa?"
"Kamu suka sama anak Ibu, ya? gitu."
"Terus Dewa jawab apa?"
"Iya, Bu."
"Masa Dewa jawab gitu, Ma?"
"Iya. Masa Mama bohong sama Una."
"Bukan itu, Ma. Maksudnya kenapa Dewa percaya diri sekali langsung menjawab? Seharusnya dia bersembunyi-sembunyi. Em, Mama ngerti kan maksud Una?" Kalimatku sedikit sulit dimengerti. Ya, benar, aku takut mengecawakan Mama. Tidak, lebih tepatnya aku juga malu berbagi tentang diriku yang mulai membagi hati tidak hanya dengan keluarga tetapi juga Dewa. Seharusnya aku lebih mencintai keluarga orang buangan sepertiku, bahkan mereka memberikan cinta yang berlimpah. Sekarang aku justru menyukai Dewa seolah melebihi rasa sukaku untuk keluarga Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
Teen FictionPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...