Setelah upacara pembukaan, pembagian kamar, dan materi pertama perihal kebangsaan serta nasionalisme. Pihak penyelenggara dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur memberikan kami tugas untuk masing-masing perwakilan sekolah membuat power point tentang bela negara. Bu Sri memberikanku banyak jurnal yang beliau simpan di dalam ponselnya. Dewa dan Opik masih ada di dalam kamarnya. Tadi mereka mengirim di grup percakapan kami, setelah mereka selesai mengaji mereka akan datang ke kamarku dan Bu Sri.
"Ibu keluar dulu ya, beli camilan buat kalian. Nanti kalau Opik sama Dewa datang, pintunya jangan ditutup," pesan Bu Sri menjepit dompet di tangannya.
"Iya, Bu."
Meninggalkan aku sendiri yang sedang bermain ponsel, mengulas beberapa permainan epik The Minions. Ya, aku suka bulu tangkis, hanya itu yang menemani sepiku di rumah. Dulu aku sering membayangkan mempunyai kakak atau adik yang bisa diajak main bulu tangkis. Sekarang ada Bang Nathan, tapi dia lebih suka futsal dibandingkan bulu tangkis. Mau mengajak Papa bermain nampaknya beliau selalu sibuk, kalaupun ada waktu lebih memilih mengecek tugas-tugasku dan Bang Nathan, menemani kami setiap kali belajar.
"Assalamualaikum!" seru Opik dan Dewa serempak, tapi Dewa langsung berbalik.
"Wa'alaikumsalam," jawabku mematikan ponsel.
Opik mendekat, melepas sarung yang dia kenakan. Tentu saja aku panik, pikiranku jadi aneh, tapi ternyata dia masih mengenakan celana pendek di selutut dan memberikan sarungnya untuk menutup kaki jenjangku. "Dewa nggak bisa fokus nanti," selorohnya.
"Oh, Dewa balik badan karena celanaku pendek tapi kan..."
"Aku nggak suka kamu pakai celana pendek kaya gitu. Jangan lagi pakai celana pendek kaya gitu di depan banyak orang. Belajar nutup aurat, Na. Dikit-dikit," katanya mulai bisa melihatku.
Itu cukup menohok sebenarnya. Aku terbiasa hidup seperti dalam sinetron, pakaian serba mengikuti trend dan kuanggap biasa saja. Meski tidak separah itu juga. Bukan celana pendek yang ketat dan pendek sekali. Tapi sepertinya Dewa cukup pemilih dalam memandang perempuan.
"Aku punya kata-kata yang lebih menohok, tapi besok-besok saja," katanya lagi lalu menarik Opik keluar. "Benerin dulu sarungnya."
"Iya!" jawabku segera memakai sarung seperti laki-laki saat memakai sarung. "Sudah!"
Opik dan Dewa masuk. "Kenapa harus pakai celana kaya gitu sih?" Kompak.
"Buat tidur kan enak."
"Tapi kan kita masih mau diskusi masa kamu pakai kaya gitu," balas Opik.
"Ya, maaf. Kupikir nggak apa-apa."
"Aku nggak suka lihat cewek pakai celana pendek, bahkan meski di atas lutut sedikit atau bahkan selutut." Dewa mengatakannya dengan lebih tegas.
"Iya, iya, enggak."
"Janji?" tanya Dewa mengajukan kelingkingnya.
"Iya." Hendak mengaitkan kelingkingku tapi dia sudah menarik kelingkingnya lebih dulu. Memang, masih tidak mau bersentuhan denganku.
Kami mulai mengerjakan power point dengan materi dari beberapa jurnal, menggunakan laptop Bu Sri juga sebelum akhirnya Bu Sri datang dengan banyak camilan dan minuman. Beliau juga mulai membimbing kami. Mulai dari kutipan serta materi apa saja yang dimasukkan, bahkan hingga tema latar belakang power point yang digunakan semacam apa pun Bu Sri nemberikan masukannya.
"Nak, saya tidur dulu ya. Sudah jam 10 ini," pamit Bu Sri yang langsung tenggelam di balik selimut tebal.
"Iya, Bu. Selamat malam," kata kami kompak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Danton
أدب المراهقينPernahkah kalian mempunyai atasan yang dingin, tidak, super dingin? Senyum segarisnya saja lebih mahal dari nilai historis sebuah bambu runcing, apalagi tawanya. Pernahkah kalian mempunyai atasan yang dekat-dekat dengan kalian saja tidak mau? Menyen...