"Aku tidak ingin menjadi Raja!" Prince Anthony berkata dengan ketus, "jika menjadi seorang Raja artinya harus berpura-pura tersenyum saat sedang bersedih, maka aku tidak menginginkannya!"
Prince Anthony sungguh tidak mengerti, kenapa ia harus menjalani takdir yang, baginya, melelahkan ini? Usianya belum genap sembilan tahun, tapi pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan yang bahkan sulit dijawab orang dewasa.
Kenapa orang-orang menyebut hak waris ini sebagai hak istimewa? Apa istimewanya? Apakah menjadi pewaris takhta sungguh sebuah keunggulan? Takdir yang sudah digariskan, bahkan sebelum seseorang lahir di dunia.
Kenapa mewarisi takdir tanpa bisa memilih, dianggap keunggulan? Anthony bahkan tidak tahu, apakah hari penobatan adalah peristiwa bahagia atau justru menyedihkan?
Ia sama sekali tidak mengerti. Sejauh ini, yang Anthony tahu, menjadi pewaris takhta adalah tugas yang amat berat dan melelahkan. Tidak bisa asal tersenyum, tidak bisa asal menangis. Memikirkan setiap inci gerakan dan kalimat di depan umum. Anthony bisa membayangkan seberapa sulitnya semua aturan dan protokol itu. Seberapa melelahkan hari-hari yang harus dilalui. Sebab semua itu dengan jelas tercermin dari wajah Kakek dan Ayahnya.
Disclaimer!!!
Cerita ini merupakan karya fiksi berdasarkan imajinasi author. Latar dan penokohon adalah fiktif yang terinspirasi dari Kerajaan Inggris. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, author meminta maaf sebesar-besarnya dan menyatakan bahwa itu bukan merupakan sebuah kesengajaan. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thorny Throne [Selesai]
Historical FictionPrince Anthony tidak ingin menjadi Raja. Ia tidak pernah menginginkan hak waris, yang disebut istimewa, itu. *** Terlahir sebagai cicit laki-laki pertama Sang Raja, Anthony dipaksa menerima masa depan yang bukan pilihannya. Sejak kecil, ia sudah men...