14 (si perut karet)

5.9K 353 2
                                    

Fano makan nasi goreng buatan Stevan dengan lahap. Ternyata, meskipun Stevan adalah seorang mafia, ia juga mampu memasak dengan luar biasa. Fakta ini benar-benar mengejutkan, terutama karena Fano yang biasanya pilih-pilih makanan kini menghabiskan semuanya tanpa sisa. Stevan hanya tersenyum sambil memandangi putra bungsunya makan, tidak ingin mengganggu momen bahagianya.

"Pah, abang suruh ke sini dong," ucap Fano tiba-tiba sambil menaruh piringnya.

"Untuk apa, nak?" tanya Stevan, bingung.

"Tadi abang janji mau kasih aku makanan, tapi sampai sekarang belum ada tuh!" keluh Fano sambil mengerucutkan bibir.

"Kamu sudah makan steak sama nasi goreng, dek," ucap Stevan sambil mengusap kepala Fano.

"Belum kenyang, mau makan lagi," jawab Fano dengan wajah serius.

Stevan terkekeh kecil. "Nanti perutmu kembung, malah sakit perut, terus siapa yang repot?"

"Perutku ini karet, pah. Aman," ucap Fano dengan penuh keyakinan.

Stevan menggeleng, lalu menyerahkan ponselnya. "Nih, hubungi abangmu pakai hp papa. Hp kamu kan lagi di-charge."

Fano langsung mengambil ponsel itu dan menelepon Argo. Beberapa kali percobaan, ponselnya tidak aktif. Fano mulai kesal, tetapi akhirnya tersambung juga di percobaan kesepuluh.

Argo: Halo? Ada apa sih, pah? Aku lagi ada meeting penting!

Fano: Ini aku, Bang.

Argo: Eh, adek? Kok pake hp papa?

Fano: Hp-ku habis baterai, Bang. Lagi di-charge.

Argo: Oh, terus ada apa?

Fano: Janji abang, aku tagih!

Argo: Pesananmu udah dikirim, paling 10 menit lagi sampai.

Fano: Cepetan ya, aku lapar banget!

Fano langsung memutuskan telepon, lalu tanpa berpikir panjang, ia melempar ponsel Stevan begitu saja. Untung Stevan reflek dan berhasil menangkapnya. Tapi dalam hati, ia kesal setengah mati.

"Kamu ini, dek, nggak bisa sedikit sopan?" ucap Stevan sambil menahan tawanya.

"Papa, aku nggak mau black card lagi," ucap Fano tiba-tiba.

"Kurang banyak black card-nya?" tanya Stevan.

"Ngapain banyak-banyak? Itu nggak berguna, pah. Aku kasih ke penjaga warteg dekat sekolah malah ditolak!" keluh Fano.

Stevan tertawa kecil. "Ya iyalah, dek. Di warteg nggak ada yang terima black card. Itu buat restoran atau mall."

"Di restoran tuh mahal, pah. Di warteg lebih mantap, murah, perut kenyang!" jawab Fano bangga.

"Papa belum pernah makan di warteg," ucap Stevan, penasaran.

"Coba deh, pah. Dijamin maknyus! Nasinya segunung, lauknya numpuk!" kata Fano dengan semangat.

Stevan menggeleng sambil tersenyum. "Sekolahmu gimana, dek? Rajin, kan?"

"Seperti biasa, aku bolos lima hari seminggu," jawab Fano santai.

Stevan memandang Fano dengan alis terangkat. "Jadi kamu cuma masuk sehari?"

"Iya. Aku udah pintar, pah. Mau belajar apa lagi?" jawab Fano sambil menepuk dadanya.

"Tentang yang tadi, gimana perasaanmu saat… membunuh?" tanya Stevan hati-hati.

Fano mengangkat bahu. "Biasa aja, sih. Tapi aku jadi lapar setelahnya."

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang