Gedung tak terbengkalai tampak jelas di depan mata. Fano menyipitkan matanya, mencari-cari musuh yang akan dihadapinya. Dunia mafia tidak mengenal pertarungan adil, dan itu adalah kenyataan yang sudah lama ia terima. Menggunakan siasat licik, Fano tahu betul bahwa dalam dunia ini, siapa yang cerdik akan keluar sebagai pemenang.
"Sniper, tembak kepala beberapa orang yang berjaga di pintu tanpa suara," perintah Fano melalui walkie talkie.
"Laksanakan, Mr. Fandik!"
Fano berada di atas pohon bersama satu anak buahnya. Penyerangan kali ini berdasarkan ide dari Rimba, namun Fano sendiri terlalu sibuk dengan persiapan ulangan untuk benar-benar fokus pada penyerangan ini. Bagi Fano, dunia ini memang kejam, dan dia sudah terbiasa dengan itu.
"Kurasa dunia ini sangat kejam, Fano," ucap Radit, yang baru saja diangkat menjadi tangan kanannya setelah berhasil menuntaskan seorang pengkhianat.
Radit sebenarnya enggan terjun lebih dalam ke dunia hitam ini. Namun, ada sisi gelap dalam dirinya yang selalu muncul saat emosinya terpancing—alter ego bernama Rio.
"Sejak kecil aku sudah merasakan kerasnya dunia ini. Aku pernah memakan makanan sisa orang lain karena kelaparan. Keluargaku mafia, jadi pembunuhan sudah menjadi hal biasa bagiku," jawab Fano, suaranya datar.
"Keluargamu tidak ada hubungannya dengan kehidupan masa lalumu, Fano," Radit menatap Fano, sedikit khawatir. "Kau bisa menolaknya, kau tahu itu."
"Tidak ada alasan untuk menolak," jawab Fano. "Aku mengerti makna hilangnya ingatan. Itu mengajarkanku cara bertahan hidup. Dunia mafia pun sama, yang lemah akan mati, dan yang kuat akan berkuasa."
"Bisnis mafia yang kau jalankan sekarang berada di posisi kedua di bawah ayahmu," Radit menimpali.
"Aku akan membuatnya nomor satu di masa depan," ucap Fano dengan penuh tekad.
"Berarti melawan kakakmu?" tanya Radit, terkejut.
"Ya, hanya itu caranya," jawab Fano dengan mantap.
"Penjagaan di luar telah dilumpuhkan, Mr. Fandik," suara dari walkie talkie terdengar.
"Sniper mundur, biarkan aku urus sisanya," perintah Fano melalui walkie talkie.
"Kita hanya berdua?" tanya Radit.
"Biarkan Rio keluar," jawab Fano dengan tenang.
Radit terkejut mendengar ucapan Fano. Rio, alter ego dalam dirinya, selalu muncul ketika Radit merasa terpojok. Fano tersenyum, meskipun senyum itu terkesan sinis.
"Tenang, ada Mr. Fandik yang ganteng di sini," canda Fano, sedikit narsis.
"Mr. Fandik, sangat narsis," ujar Radit sambil menahan senyum.
Fano terkekeh mendengar ucapan Radit. Kini saatnya untuk membiarkan Rio keluar. Tanpa ragu, Radit menutup matanya sejenak, dan dalam sekejap, pupil matanya berubah menjadi merah darah.
"Mr. Fandik, saya harap Anda tidak keberatan jika saya menyayat beberapa tubuh," ujar Rio, alter ego Radit dengan suara yang lebih dalam dan mengerikan.
"Sayat saja, kita akan membuat oleh-oleh untuk ketua Black Rose," jawab Fano dengan senyuman yang penuh arti.
Fano dan Rio turun dengan cepat dari pohon. Fano menerobos masuk sendirian, sementara Rio memukul setiap orang yang mencoba menghalangi jalan mereka. Mereka membawa 500 orang untuk penyerangan kali ini—20 di antaranya adalah sniper, sisanya adalah pasukan Fano.
'DOR' 'DOR' 'DOR' Suara tembakan bergema, dan tak ada satu pun musuh yang berhasil lolos dari hadapan Fano. Fano bergerak dengan cepat, tidak peduli dengan mayat yang bertebaran di sepanjang jalan.
"Pemandangan yang bagus," kata Fano, tanpa rasa penyesalan. Ia melangkah dengan tenang di antara tubuh-tubuh yang tergeletak tak bernyawa.
"Heh, curang juga kamu, bocah," ujar seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Fano menatap pria tersebut dengan tajam.
Pria itu mengenakan topeng bermotif elang, dan tampak marah melihat Fano yang dengan dingin mengalahkan anak buahnya.
"Jangan menasihatiku, kawan. Dunia ini penuh tipu muslihat demi mendapatkan kekuasaan," jawab Fano dengan dingin.
"Kau anak pungut dari ketua Darkness?" tanya pria itu, suaranya penuh ejekan.
"Aku putranya. Pewaris Darkness," jawab Fano dengan percaya diri.
"Dulu Darkness dipimpin oleh seorang wanita, sekarang malah anak kecil. Tidak mengherankan mereka kalah dari Dark Knight," ejek ketua Black Rose.
"Nama aslimu Wisnu Pramana, kan?" tanya Fano dengan santai, matanya penuh perhitungan.
Ketua Black Rose, yang bernama Wisnu Pramana, terkejut mendengar Fano menyebutkan namanya. Fano tahu cara menggali informasi dan lebih memilih membuat lawannya khawatir daripada langsung terjun dalam pertarungan.
"Darimana kau tahu?!" desis Wisnu, sambil menodongkan pistol ke arah kepala Fano.
"Mencari informasi sangat mudah bagiku. Kau hanya perlu ingat namaku, Mr. Fandik," jawab Fano sambil tersenyum sinis.
'DOR!' Wisnu menembakkan pistol, tapi Fano berhasil menghindar dengan cepat dan menatapnya dengan penuh penghinaan.
"Lemah!" ledek Fano.
Wisnu melemparkan pistolnya dan dengan gerakan cepat menendang perut Fano. Fano terlempar cukup jauh, bahkan membentur dinding. Ia berdiri dan mengelap darah yang mengalir dari belakang kepalanya.
"Kau harus sadar diri, bocah!" teriak Wisnu dengan marah.
"Mengenai apa?" tanya Fano, tidak terpengaruh dengan kata-kata Wisnu.
"Mrs. Lu... biarkan dia bahagia dengan ayahku," teriak Wisnu, seolah-olah itu adalah alasan di balik tindakannya.
"Otakmu geser, Wisnu. Mrs. Lu sudah berkeluarga. Ayahmu tahu itu, tapi tetap saja memaksakan kehendaknya," jawab Fano dengan dingin.
"Cinta itu harus dimiliki!" pekik Wisnu, suaranya penuh dengan kekesalan.
"Tidak selalu, kawan. Cinta tidak selalu harus dimiliki. Belajarlah untuk realistis," jawab Fano, tidak terpengaruh.
"Kau sama saja!" kesal Wisnu, mencoba menyerang Fano lagi.
Wisnu memukul topeng Fano dengan keras. Namun, tidak ada yang terjadi. Topeng Fano sangat kuat, entah apa bahan yang digunakan oleh Stevan untuk membuatnya tahan terhadap serangan.
Melihat Wisnu mulai kewalahan, Fano pun membalas perlakuan Wisnu dengan pukulan yang sangat kuat.
'BUGH!' Pukulan Fano membuat Wisnu terlempar jauh dari tempatnya berpijak. Fano berlari menghampiri tubuh Wisnu dan melanjutkan aksinya memukul dengan penuh amarah.
Setelah beberapa saat, Fano berhenti. Ia menatap Wisnu yang tergeletak tak bergerak lagi. Dengan dingin, Fano membuka topeng Wisnu, dan seperti yang ia duga, musuh kali ini adalah seseorang yang pernah mengenalnya.
"Dulu kau mempermalukan diriku karena aku anak yatim piatu dan miskin. Sekarang, aku membuatmu malu dengan kekalahanmu," pikir Fano, sambil menatap Wisnu dengan penuh ejekan.
"Mr. Fandik, semuanya bersih," ujar Rio.
"Kembali ke markas kalian semua. Buang mayat-mayat ini ke mana saja. Buat tanda Darkness di setiap pergelangan tangan mereka," perintah Fano.
"Baik, Mr. Fandik!" jawab pasukan Fano.
Fano melewati Rio dan menepuk pundaknya. Ia memilih untuk kembali ke rumah, malas berurusan lebih lanjut dengan mayat-mayat tersebut.
Dalam perjalanan pulang, Fano terjebak kemacetan. Namun, ia tidak terlalu peduli. Baginya, perjalanan hidup ini adalah tentang balas dendam dan kekuasaan. Musuh yang ia hadapi sebelumnya adalah orang yang pernah membuli Fano di masa lalu. Itulah sebabnya Fano belajar bela diri—untuk membuktikan dirinya, dan untuk tidak pernah lagi merasa lemah.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat
Sampai jumpa
Senin 12 Desember 2022
![](https://img.wattpad.com/cover/318178043-288-k920454.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Художественная прозаStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...