Kematian adalah takdir yang tak terhindarkan bagi setiap umat manusia, tak peduli usia, tak peduli waktu. Setiap kehidupan pasti akan menemui akhir. Di depan gundukan tanah yang sunyi, hanya ada keheningan yang menyelimuti.
Keluarga Jovetic kehilangan permata mereka, seorang anak yang telah lama hilang dan akhirnya berpulang ke pangkuan Tuhan untuk selamanya. Kehilangan yang begitu mendalam, tak terlukiskan dengan kata-kata.
Rimba terdiam, tak percaya akan kenyataan yang baru saja terjadi. Tangannya menampar pipinya beberapa kali, mencoba mengusir kenyataan yang menyakitkan ini. Tindakan tersebut segera dihentikan oleh sang kakak, Argo, yang mendekat dan menahan tubuh Rimba.
Fano, adik tercinta, menghembuskan nafas terakhirnya beberapa jam lalu, setelah berjuang melawan rasa sakit yang disebabkan oleh racun mematikan. Fano menyerah dan memilih pergi, meninggalkan luka yang dalam di hati setiap anggota keluarga.
Pemakaman Fano dihadiri oleh mereka yang mengenal keluarga Jovetic, namun setelah prosesi selesai, Rimba pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Mata Rimba membengkak, tanda-tanda tangisan yang tak henti-hentinya mengalir.
Tak seorang pun berani mendekati Rimba, karena mereka tahu, saat ini dia tak ingin diganggu. Stevan, sang ayah, menatap kosong gundukan tanah itu, seolah tak mampu menerima kenyataan bahwa putranya telah pergi. Berbeda dengan Argo yang tak mampu menahan amarahnya, dia menghampiri Stevan dan memukul perutnya dengan keras hingga membuatnya terjatuh.
"Kau yang membuat adikku pergi!" ujar Argo dengan nada dingin, penuh kebencian.
"Argo, kematian Fano adalah takdir," jawab Bram, mencoba menenangkan.
"Tapi takdir itu takkan terjadi kalau adikku tak dipaksa menjalankan misi berbahaya yang kalian berikan, Stevan!" Argo berteriak, amarahnya meledak.
"Nak," Lusiana mencoba menghentikan.
Argo mundur dan segera mengejar Rimba, yang lebih dulu meninggalkan area pemakaman. Keluarga Jovetic sadar bahwa kedua kakak beradik ini membutuhkan waktu untuk memproses kehilangan mereka.
Di tempat yang sunyi, Rimba berdiri terdiam, menatap genangan air di depannya. Raut wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam, seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya. Fano, adiknya yang begitu ia cintai, kini hanya tinggal bayangan dalam mimpi-mimpinya. Setiap kali dia terjaga, kenyataan itu begitu menusuk, membuatnya merasa seperti terjebak dalam siklus penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Kondisi Fano semakin memburuk setiap jamnya. Segala upaya telah dilakukan, namun takdir berkata lain. Mereka berjuang, namun pada akhirnya, takdir yang tak bisa dilawan datang dengan cara yang begitu menyakitkan. Fano pergi terlalu cepat, meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun.
"Dek, kakak berharap kamu tidak pergi, kamu tahu itu... Lima tahun lalu kamu diculik, dan sekarang kamu malah meninggalkan kakak begitu saja," lirih Rimba, suaranya penuh kepedihan.
"Patah hati itu sakit, Dek, tapi ditinggalkan saudara lebih sakit lagi," Argo berkata pelan, penuh empati.
"Bang... aku marah sama papa," suara Rimba tercekat, penuh perasaan.
"Luapkan saja semua amarahmu sekarang, Dan. Kita tak bisa terus begini selamanya," jawab Argo dengan lembut.
"Besok pagi aku akan pergi ke bandara," kata Rimba, keputusannya sudah bulat.
"Dan, keputusanmu ini pasti datang karena amarahmu yang menguasai. Jangan biarkan itu membuat kita semua lebih terluka," Argo menegaskan.
"Alasan aku pergi ke Indonesia adalah karena Fano, bang. Tanpa Fano, aku juga tak ada alasan lagi untuk tinggal," jawab Rimba dengan tegas, namun lemah.
"Rasa sayangmu terhadap Fano lebih besar daripada sayangmu pada orang tua kita, Dan," ucap Argo dengan berat hati.
"Aku yang merengek ke mama dan papa untuk diberi adik, Bang. Sejak Fano lahir, aku begitu sayang padanya," ujar Rimba dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Rimba tersenyum tipis, mengingat masa kecilnya yang penuh keinginan memiliki adik. Dia merasa kesepian, karena Argo yang sibuk dengan dunianya. Fano menjadi pengisi kekosongan yang ada.
"Abang sibuk sendiri, Bang. Aku kesepian tanpa dirimu di sampingku. Jadi aku minta adik, supaya aku tidak sendirian lagi," ucap Rimba pelan.
"Abang sibuk dengan sekolah dan tugas, sementara papa mulai mempercayai abang untuk mengurus perusahaan," jawab Argo, sedikit tersenyum mengingat masa lalu.
"Apa itu alasan?" sindir Rimba.
Argo mengelus rambut Rimba, mencoba mengalihkan pembicaraan agar adiknya tidak tenggelam dalam kesedihan yang terlalu dalam.
"Aku ingat banget saat Fano mulai bisa bicara. Mama dan papa selalu membujuk Fano untuk mengucapkan kata 'mama' atau 'papa'. Tapi Fano malah melihat ke arahku dan memanggilku 'kakak'. Itu membuatku sangat bahagia, Bang."
"Aku juga merasa senang, Dan. Saat itu aku berjanji untuk menjaga Fano seumur hidupku. Tapi kenyataannya, Fano lebih dulu pergi, Bang. Kenapa Tuhan begitu kejam padaku?" Rimba menahan tangisnya, suaranya hampir tak terdengar.
"Fano sempat berbicara padaku sebelum dia menjalankan misi berbahaya itu. Dia bilang, 'Fano sayang banget sama kakak, Bang. Fano juga sayang abang dan senang sekali punya keluarga seperti kita.'"
Rimba memejamkan matanya, air matanya mengalir deras. "Bang, aku nggak mau berpisah sama adek. Tuhan jahat ya, dia selalu pisahkan aku sama adek kesayanganku. Kenapa harus begini?"
"Dan, Tuhan tak akan memberi hukuman yang tak bisa kita tanggung. Tapi kalau ini terasa begitu berat, aku tahu betapa besar rasa kehilanganmu," Argo berkata dengan lembut, mencoba menenangkan hati Rimba yang sedang hancur.
"Aku gagal, Bang. Aku gagal menjaga Fano. Aku izinkan dia menjalankan misi berbahaya itu, dan sekarang dia pergi. Aku... aku tak pantas jadi kakaknya." Rimba meraung, kehilangan semua kekuatan.
Argo memeluk Rimba erat, menggendong beban kesedihan yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. Ini adalah tangisan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, lebih memilukan dari apapun yang mereka alami sebelumnya.
Beberapa bulan berlalu, dan perlahan-lahan, keluarga Jovetic berusaha bangkit dari kesedihan yang mendalam. Rimba mulai mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk pergi.
"Dan, kau yakin akan kembali ke Jepang?" tanya Stevan, suaranya penuh keputusasaan.
"Kau ingin aku tinggal? Kalau kau ingin aku hidup, kembalikan adikku!" jawab Rimba dengan dingin, tanpa menatap wajah ayahnya.
"Itu tidak mungkin, Dan," jawab Stevan, dengan nada putus asa.
"Jangan halangi aku pergi ke Osaka. Aku pergi, Stevan," kata Rimba, mengangkat kopernya.
Stevan berdiri terdiam, perasaannya kacau. Putranya, yang dulu sangat dekat dengannya, kini menjauh, dan dia tahu, kematian Fano adalah pemicu dari semuanya.
Di ruang kerjanya, Argo sibuk mengerjakan dokumen-dokumen yang menumpuk. Namun, suara berita yang mengabarkan tentang kecelakaan pesawat menghentikan segala aktivitasnya.
"Pesawat Air Mas tujuan Osaka, Jepang, kehilangan kontak sejak satu jam yang lalu," suara berita itu membuat jantung Argo berdegup kencang.
"DAN!" teriak Argo, suaranya penuh ketakutan.
Argo berlari keluar, melompat ke mobilnya, dan melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa peduli dengan segala hal di sekitarnya. Di bandara, Argo bergegas mencari informasi.
Hatinya semakin sesak saat ia menemukan nama Rimba tertera di daftar penumpang pesawat yang hilang itu. Argo mundur perlahan, tubuhnya terasa lemas.
Tanpa berkata sepatah kata, Argo meninggalkan bandara. Di jalan yang sepi, ia berhenti dan menangis, merasakan kehilangan yang begitu mendalam.
"Kalian berdua jahat. Kenapa harus seperti ini? Aku masih kuat kalau ada Dan, tapi sekarang... aku tak tahu apa yang harus kulakukan," ucap Argo, air matanya mengalir deras.
Sosok tegas Argo kini menangis, terpuruk dalam kesedihan yang begitu mendalam. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki semua yang telah hilang.
Ending
Senin 06 Maret 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
General FictionStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...