Fano mengendarai motor gede berwarna hitam, hadiah dari Stevan yang diterima kemarin sore. Padahal, ia hanya asal bicara ingin motor gede untuk sekolah, tetapi Stevan langsung mengabulkannya.
Motor melaju di atas kecepatan rata-rata. Fano terburu-buru karena terlambat bangun setelah semalam terlalu asyik bermain game di laptop. Umpatan pengendara lain tak ia pedulikan. Yang terpenting baginya adalah segera sampai di sekolah.
Jam di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 06.50, hanya beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Fano menambah kecepatan, menyadari guru BK di sekolahnya tak pernah memberi toleransi bagi siswa yang terlambat.
Setibanya di depan sekolah, Fano tersenyum lega melihat gerbang yang masih terbuka. Namun, seperti kata pepatah, jangan berharap terlalu tinggi—tak lama gerbang itu ditutup rapat. Beberapa siswa yang terlambat memohon agar diizinkan masuk.
Fano berhenti di depan gerbang dengan motornya yang mencolok, menarik perhatian siswa lain.
"Eh, tumben anak jenius kayak dia telat."
"Motor barunya keren banget!"
"Jangan-jangan dia gigolo, makanya bisa beli motor mahal."
"Benar juga, dia kan anak yatim piatu. Dari mana dapat uang buat beli motor kayak gitu?"
Mendengar hinaan itu, Fano melemparkan helmnya ke tanah. Wajahnya merah padam. Ia melangkah maju dan menghajar beberapa siswa yang berbicara sembarangan. Satpam sekolah, Pak Sapri, mencoba melerai, tetapi malah terkena bogem mentah dari Fano.
"Mulut kalian nggak pernah diajarin sopan ya!" teriak Fano penuh emosi.
"Fano, hentikan! Jangan bikin keributan di sini," ujar Pak Sapri, mencoba menenangkan.
"Mulut mereka yang mulai duluan, Pak!" balas Fano dengan nada tinggi, menunjuk salah satu siswa yang tadi melecehkannya.
"Ucapan gue nggak salah! Lu anak haram, kan?" ejek siswa itu.
"Iya, kedua orang tua lu pasti buang lu ke jalan karena hasil hubungan gelap!" tambah siswa lain, diiringi tawa beberapa temannya.Mendengar itu, amarah Fano memuncak. Ia kembali menghajar mereka satu per satu, tak peduli seberapa parah akibatnya nanti.
Setelah puas melampiaskan kemarahan, Fano meludah ke arah siswa-siswa yang terkapar di hadapannya. "Dasar lemah!" ejeknya dingin.
Salah satu siswa berteriak, "Gue laporin lu ke bokap gue!"
"Anak manja!" ledek Fano, tak kalah tajam.
Tiba-tiba, suara tegas seorang perempuan memecah suasana. "Stefano Mahardika! Kalian semua ikut ibu ke ruang BK sekarang juga!" ujar Bu Erni Sulistyo, guru BK sekolah, dengan nada memerintah.
"Ck," Fano menghela napas kesal, tetapi ia menurut.
Mereka semua berjalan menuju ruang BK, dengan Fano yang berada di barisan paling belakang sambil mendorong motornya. Beberapa siswa yang tadi dihajarnya ingin melontarkan ejekan lagi, tetapi tatapan tajam Fano membuat nyali mereka ciut seketika.
Di ruangan BK, Fano berdiri sendiri dengan tangan disilangkan di depan dada. Wajahnya jelas menunjukkan ketidaksabaran. Sementara itu, Bu Erni sibuk menghubungi para orang tua murid untuk segera datang ke sekolah.
Salah satu siswa yang tadi dihajar Fano menatapnya dengan sinis. "Bu, nggak usah repot-repot panggil orang tua dia. Dia kan anak yatim, nggak punya orang tua," ejeknya.
Fano langsung berbalik dengan ekspresi marah. "Lu pengen gua masukin ke kuburan sekarang juga, hah?!" bentaknya sambil mendekat, membuat siswa itu langsung melangkah mundur ketakutan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Aktuelle LiteraturStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...