Fano pulang ke rumah tepat saat matahari mulai tenggelam, cahayanya yang oranye membingkai sosok Lusiana dan Stevan yang berdiri di depan pintu. Tatapan tajam mereka langsung membuat Fano merasa seperti anak kecil yang terciduk mencuri. Ia menggaruk belakang kepalanya dengan canggung, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ia terlambat pulang karena ada urusan kecil di jalan bersama anak-anak jalanan.
Setelah membuka sepatu, Fano segera menghampiri mereka. Ia mencium tangan Stevan dan Lusiana bergantian, kemudian dengan tiba-tiba memeluk mereka. Pelukan itu bukan untuk meminta maaf, tapi lebih kepada rasa syukur karena ia kini memiliki keluarga yang lengkap.
"Adik tahu kesalahannya apa?" tanya Stevan dengan nada datar.
Fano mengangguk kecil, menundukkan kepala. "Aku tadi pergi sebentar ke jalanan," jawabnya pelan.
"Untuk apa?" Lusiana melanjutkan pertanyaan dengan nada lembut namun tegas.
Fano menggigit bibir, mencoba menjelaskan. "Memberi mereka makan, Ma. Biasanya aku kasih minum sih. Dulu, aku sendiri sering nggak bisa makan. Jadi aku ngerti rasanya."
Lusiana terdiam sejenak, menahan rasa haru. Stevan yang tadinya memasang wajah dingin tiba-tiba menepuk pundak Fano. "Harusnya kamu bilang sama Papa dulu, nak," ujarnya tenang.
Fano mengangkat wajah, terkejut dengan respons itu. Ia pikir ayahnya akan marah besar. Namun, Stevan justru tersenyum kecil, mengacak-acak rambut Fano dengan penuh rasa sayang. "Papa bangga sama kamu. Walaupun dulu kamu kekurangan, kamu masih bisa berbagi dengan orang lain. Itu hal yang luar biasa."
"Papa dan Mama nggak marah sama Fano?" tanya Fano ragu.
Lusiana tersenyum hangat, mengusap kepala Fano. "Nggak ada alasan buat Mama marah. Cuma tadi Mama sedikit marah sama Papa karena peraturannya yang terlalu ketat."
"Itu demi kebaikan Fano, Ma. Pergaulan remaja sekarang mengkhawatirkan. Papa cuma nggak mau Fano kebawa arus dan coba-coba barang haram," bela Stevan.
Fano menatap Stevan dengan penasaran. "Barang haram itu kayak alkohol dan narkoba, kan?"
Stevan mendadak terkejut. "EH, ADEK TAHU DARI MANA?"
Fano mengangguk polos, sementara Stevan langsung memeluknya dengan erat seperti boneka kesayangan. Lusiana tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Stevan yang tak seperti biasanya. Bahkan para bodyguard yang berjaga di dekat pintu melongo tak percaya melihat bos mereka, Mr. Van, yang biasanya tegas kini berubah seperti ayah konyol.
"Bos kerasukan," pikir salah satu dari mereka, namun tak berani mengucapkannya langsung.
Fano akhirnya berhasil melepaskan diri dari pelukan Stevan yang terlalu erat. Ia menggerutu sambil memeluk Lusiana. "Papa itu mirip om-om pedo tadi!" sindir Fano dengan santai.
Mendengar itu, Stevan ingin marah, tapi ia sadar bahaya mengomel pada anaknya di depan Lusiana. Jika itu terjadi, hukuman tidak boleh tidur sekamar selama sebulan sudah menunggu. Stevan memilih mundur dengan damai.
Saat suasana mulai tenang, terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Fano berbalik dan melihat Rimba keluar dari mobil bersama beberapa temannya, termasuk seorang gadis.
"Kakak!" panggil Fano riang.
Rimba tersenyum dan melambaikan tangan. "Baru pulang juga, Dek?"
"Belum! Aku ini cuma arwah aja!" balas Fano sarkastik.
Rimba tertawa lepas, lalu mencubit pipi kanan Fano sebelum buru-buru masuk rumah. Ia tahu, jika terlalu lama bercanda, Fano bisa mengamuk.
Fano berpamitan pada kedua orang tuanya. "Pah, Mah, aku masuk dulu, ya. Capek."

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
General FictionStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...