Radit mengantarkan Fano ke alamat yang diingatnya dengan baik. Daya ingat Fano memang luar biasa-ia sering mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba, baik akademik maupun non-akademik. Namun, di balik kelebihannya itu, ada sifat pemberontak dan emosi yang sulit dikendalikan. Wajar saja, karena tidak ada manusia yang sempurna.
Selama perjalanan, mata Fano terpaku pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang megah di sekitarnya. Bagi Fano, pemandangan ini terasa asing. Hidupnya selama ini terlalu sibuk mencari uang, hingga ia melewatkan banyak hal menyenangkan yang biasa dialami oleh anak seusianya, termasuk liburan sekolah.
"Lu coba buka diri aja sama mereka," ujar Radit, memecah keheningan.
"Buka baju?" tanya Fano dengan nada serius yang dibuat-buat.
"Beda konsep, goblok!" pekik Radit dengan nada kesal.
"Oh iya, baru nyambung gua," balas Fano sambil terkekeh kecil.
Radit melirik Fano sejenak. "Gua gak bisa nemenin lu masuk," ucapnya pelan. Ia tahu keputusan ini mungkin mengecewakan sahabatnya.
Fano menoleh, memasang raut kesal. "Kemarin lu yang ngomporin gua soal keluarga lengkap, sekarang giliran ada, malah gak nemenin. Lu nyusahin gua aja!" keluhnya.
Radit menghela napas panjang. "Lu sendiri yang bilang males dikekang, kan? Pasti mikir mereka bakal bikin aturan buat lu. Padahal lu tahu itu hal yang wajar."
Fano terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Iya, gua emang tipe yang males dilarang ini-itu. Tapi gua juga gak tahu gimana harus ngadepin mereka. Perasaan gua campur aduk," katanya jujur.
"Gua ngerti, No. Tapi coba kasih mereka kesempatan, sama kayak mereka ngasih lu kesempatan buat balik ke kehidupan yang seharusnya."
Fano menoleh, menatap sahabatnya dengan pandangan datar tapi penuh makna. "Lu bijak juga sekarang," ujarnya setengah mengejek.
Radit tertawa kecil. "Bisa lah, buat lu doang," balasnya.
Percakapan mereka mengalir deras, seperti sungai yang penuh arus. Tak terasa, mereka tiba di depan sebuah rumah megah-lebih tepatnya sebuah mansion besar yang berdiri gagah di antara taman hijau dan pagar tinggi.
Radit memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang. Fano menatap bangunan itu dengan ekspresi campuran antara kekaguman dan gugup. Ia masih sulit percaya bahwa tempat seperti ini mungkin adalah bagian dari hidupnya.
"Ingat, lu gak sendiri. Gua cuma satu telepon kalau lu butuh apa-apa," ucap Radit, mencoba menenangkan Fano.
Fano tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Oke, bro. Makasih udah nganter gua," jawabnya.
Radit tersenyum, menepuk pundak Fano, lalu pergi meninggalkan Fano sendirian di depan gerbang besar itu. Dengan napas yang sedikit berat, Fano melangkah masuk, mencoba menghadapi kenyataan baru yang ada di hadapannya.
Keduanya keluar dari mobil. Radit menepuk pundak Fano, memberikan dukungan tanpa berkata banyak. Tatapannya penuh keyakinan, mencoba menyampaikan pesan bahwa Fano bisa menghadapi semua ini.
"Gua balik dulu, ya," ucap Radit, suaranya tenang namun penuh kepedulian.
"Iya," jawab Fano singkat, tanpa menoleh. Matanya tetap terpaku pada pemandangan di depannya.
Radit memandangi sahabatnya sejenak, menyadari betapa berat langkah yang harus diambil Fano kali ini. "Jangan lama-lama ragu, Fan," katanya pelan sebelum beranjak ke mobil. Ia menyalakan mesin dan perlahan melaju, meninggalkan Fano sendirian di tempat itu.
Fano berdiri diam di depan gerbang megah dengan tulisan Jovetic yang terukir kokoh di atasnya. Ia menelan ludah, mencoba menguasai diri meskipun hatinya terasa berat. Bangunan besar nan mewah menjulang di balik gerbang itu, mengingatkan Fano pada betapa jauh dunia mereka selama ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
General FictionStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...