Selamat membaca teman-teman
¥¥¥¥¥¥¥
Alice berdiri di jendela kamar miliknya yang berada di lantai dua. Menatap dalam diam beberapa mobil mahal milik ayah Dante yang mulai keluar bergantian dari area mansion. Terlihat kaca salah satu mobil di turunkan, menampilkan wajah ayah Dante yang tengah mendongak, memandangnya dengan tatapan aneh.
Buru-buru Alice menutup gorden kamarnya. Seringaian penuh arti dari ekspresi pria tua itu membuat ia sedikit merinding.
"Hih." Alice bergidik ngeri. "Kenapa keluarga Dante gila semua."
Ia berbalik, membawa kakinya keluar dari kamar. Turun ke lantai satu, berniat mencari keberadaan Dante di bawah. Tapi sayangnya, batang hidung pria itu tak terlihat di manapun.
"Kau sedang mencari siapa?"
Alice terkesiap kaget. Menemukan Leon yang muncul secara tiba-tiba dari arah sampingnya sembari menyeret sebuah koper hitam besar di tangan kanannya.
"Mencari tuanmu, kau tau dia ada dimana?" Alice bertanya, ujung matanya sedikit melirik koper itu penasaran.
"Dia tengah pergi ke sebuah tempat." Jawab Leon tenang. Pria berambut pirang itu tak judes seperti biasanya bagi Alice.
Kepala Alice mengangguk. "Ouh, begitu." Telunjuk Alice menunjuk koper di samping Leon. "Untuk apa koper besar itu?"
Pandangan Leon ikut turun, menatap koper yang di bawanya. "Aku tak bisa memberitahumu. Ini milik Tuan Dante."
Ujung mata Alice mengkerut untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kepalanya mengangguk-angguk pelan. "Ah, milik tuanmu."
"Kalau tak ada pertanyaan lain aku akan pergi. Kau mungkin bisa bertemu tuan Dante satu atau dua jam lagi." Jelas Leon bersiap menyeret kopernya.
"Sepertinya tidak ada. Aku juga akan kembali ke kamar." Alice tersenyum manis, berbalik, melangkah ke arah kamarnya.
Kepala Alice kembali menoleh sebentar di susul sebuah lambaian tangan. "Bye, Leon." Sedetik itu pula ia berlari pergi.
Leon hanya berdiri tak menyahut, menatap punggung Alice lekat hingga hilang di telan tembok. Tangan kanannya bergerak menarik kembali koper hitam milik Dante menuju ke area belakang mansion. Dimana terdapat sebuah bangunan kecil berukuran dua kali tiga meter berdiri dengan berpintukan kayu yang di lapisi sebuah besi.
Pintu itu di buka oleh seorang penjaga. Kaki Leon melenggang masuk ke dalam. Menuruni sebuah anak tangga besi yang menghubungkan ke ruang bawah tanah. Tempat tersembunyi di kediaman Dante.
"Tempat apa itu?" Alice bergumam menyembulkan kepalanya di balik sebuah pilar besar. Ia tadi hanya pura-pura pergi, karena curiga dengan gerak gerik Leon yang menurutnya sangat aneh.
Lama ia mengintai dengan mata tajamnya, tiba-tiba saja Dante keluar bersama Adam. Mereka terdengar tengah membicarakan hal serius, sebelum akhirnya pergi ke arah yang berbeda.
Pupil mata Alice sontak melebar, menyadari Dante yang berjalan ke arahnya. Kakinya langsung saja berjongkok. Matanya terpejam, berdoa semoga Dante tak menyadari keberadaannya.
Tap Tap Tap
Derap langkah suara sepatu Dante tampak terdengar keras menginjak lantai keramik mansion. Alice sedikit berpindah posisi, mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Mencoba mengintip sedikit, tapi tak terlihat Dante di manapun. Berpikir mungkin saja pria itu sudah masuk ke dalam.
Alice berdiri seraya bernapas lega. "Huh, untung saja."
"Apa yang kau lakukan di situ?"
Kepala Alice menoleh dan berteriak keras. "AKHH!" Menemukan sesosok Dante yang tengah berdiri di belakangnya sembari menatapnya dengan mata memicing.
"Apa yang kau lakukan gadis bodoh?" Tanya Dante lagi, menekankan ujung kalimatnya.
"Eh, a-aku tengah lihat bintang!" Jawab Alice terbata-bata, tersenyum lebar.
"Tak ada bintang di siang bolong."
"Eh, maksudku melihat ayam, iya ayam!" Kepala Alice mengangguk mantap.
"Tak ada ayam di mansion mahalku." Sahut Dante cepat.
Alice menggigit bibirnya, berpikir kenapa ia bodoh sekali mencari sebuah alasan. Untuk menghilangkan malu, ia lantas terkekeh. "Tidak-tidak. Aku hanya tengah bermain petak umpet dengan bawahan mu tadi. Tapi sepertinya dia tak menemukanku."
"Alasan konyol." Dante berdecih lirih, ekspresinya datar. "Jangan pernah sekali-kali kau masuk ke dalam bangunan itu!"
"K-kau tahu?!" Alice sedikit terkesiap.
"Menurutmu apa fungsi CCTV di sini?" Sarkasnya.
Wajah Alice tertekuk masam, benar juga apa yang di katakan Dante. Seluruh area mansion pasti terhubung dengan benda canggih milik pria itu. "Aku juga tak ada niatan masuk."
"Pegang kata-katamu itu. Dan sekarang, buatkan aku makan siang!" Titah Dante. Wajahnya sekarang tampak angkuh dan penuh aura mistis bagi Alice.
"Tapi aku lelah dan hampir gila. Jadi aku tak mau!" Kepala Alice menggeleng.
Rahang Dante mengeras. "Mau berdiri di bawah pohon itu lagi?" Dagunya menunjuk pohon yang di gunakan untuk mengikat gadis itu beberapa saat lalu.
Bola mata Alice berputar malas. Bibirnya berdecih sengit karena Dante selalu saja mengancamnya.
"Haish, baiklah kampret!"
__________
BRAK
Alice menutup pintu kulkas dengan kasar. Bahan-bahan di dapur ternyata sudah habis tak tersisa. Mulut kecilnya menghembuskan napas kasar. Berbalik, melangkah menuju Dante yang duduk tenang di meja makan sembari mengapit sebatang rokok di kedua jarinya.
"Dante, tak ada bahan-bahan lagi di dapur." Alice mendekat, berdiri menjulang di samping pria ber jas mahal itu.
"Lalu?" Kepala Dante mendongak, netra birunya menatapnya datar.
"Astaga. Ya kita harus membeli bahan-bahan lagi di supermarket." Alice tak habis pikir.
"Kau memegang kartuku. Pergilah bersama Adam." Ujar Dante menghembuskan asap rokoknya perlahan ke udara.
Ujung bibir Alice menyeringai lebar. Kepalanya mengangguk. "Baiklah!"
"Jangan memikirkan rencana konyol. Kemanapun kau pergi aku pasti akan menemukanmu." Dante berkata dengan nada berat seraya mematikan rokoknya.
"Tidak." Alice mengedihkan bahunya santai. "Aku hanya memikirkan berapa banyak pembalut yang harus aku beli nanti." Lanjutnya tanpa dosa.
"Apakah kau mau es krim?" Alice menopang dagunya di atas meja makan. Menatap wajah tampan keturunan barat itu lekat.
"Tidak. Cepat pergi bersama Ad---"
Cup
"Es krim dariku!" Alice mengedipkan sebelah matanya, setelah mencium bibir Dante. Ia memundurkan kakinnya ke belakang, guna menghindari amukan sang singa.
Bola mata Dante lantas menyorot gadis bermanik coklat itu sengit. "Berani sekali kau."
"Memang. Itu es krim rasa coklat, besok kau mau rasa apa lagi?" Tanya Alice, bibirnya tersenyum menggoda.
Mulut Dante mendesah kasar. Kepalanya menunjuk ke arah pintu keluar. "Pergi sana!"
Tangan Alice terangkat ke atas dahinya, hormat. "Siap, tuan Dante!"
____________
Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil (end)
De TodoBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...