Chapter 39

16.3K 1K 96
                                    

Malam ini tak seperti malam-malam biasanya. Karena Alice merasakan sesuatu merangkak naik ke atas ranjangnya yang hanya berukuran dua kali dua meter. Sangat kecil, tapi cukup untuk sekedar mengistirahatkan otak dan pikirannya. Apalagi hanya untuk bermimpi indah di siang bolong.

Seperti misalnya, bermimpi kau tengah di rengkuh oleh seorang pria tampan lalu ia mengendus lehermu begitu dalam dan tangannya yang besar itu masuk ke dalam pakaianmu lalu - sebelum mimpi itu berakhir Alice langsung membuka matanya.

Astaga. Betapa terkejutnya dia saat tangan seseorang melingkar di perutnya. Mulut Alice bersiap berteriak, tapi itu terhenti karena orang itu membekap mulutnya kuat.

"Berteriak atau ku perkosa kau di sini?"

Alice menggeleng, walau dalam posisi membelakangi orang itu, tapi ia tahu jika orang yang tengah melakukan hal tak senonoh padanya sekarang adalah Dante. Entah bagaimana bisa pria itu masuk ke dalam rumahnya.

Dante melepaskan tangannya dari mulut Alice. Bibirnya ia tempelkan tepat di telinga Alice, berbisik lirih di sana. "Bagus, pacar Daniel Alfredo, eh?"

Kepala Alice sedikit terangkat berusaha menoleh, mencoba menatap Dante yang berada di belakangnya. "Tutup mulutmu itu, Dante, dan enyahkan tanganmu ini dari tubuhku!" Tegur Alice marah.

Dante tak menggubris, ia malah semakin liar. Membawa tangannya untuk meremas buah dada Alice yang hanya tertutup singlet hitam di atas perut. Gadis itu tentu saja kaget bukan main.

"Dante!"

"Kau semakin dewasa rupanya." Dante mengendus leher Alice sensual. Menghirup aroma mawar bercampur madu yang keluar dari pori-pori kulit gadis yang telah lama menghilang dari hidupnya tiga tahun ini.

Tangan kiri Alice menjambak rambut Dante, satu tangannya lagi ia gunakan untuk melepaskan tangan Dante yang melingkar erat di tubuhnya. "Apa maumu, Dante? Lepaskan aku!"

"Tidak akan, sebelum malam ini selesai." Balas Dante, merubah posisinya, menindih tubuh Alice di atasnya, memandang gadis itu dengan smirk mengerikan yang tercetak di ujung bibirnya.

Mata coklat Alice melotot waspada. "Jangan lakukan itu Dante, aku tahu pikiranmu."

"Memang apa yang ada di pikiranku?" Dante mengangkat satu alisnya. Setengah wajahnya terangkat, tersenyum miring.

Alice menolehkan wajahnya ke samping menghindar dari manik biru Dante yang membuat hatinya mulai tak nyaman lagi. Mungkin gelisah dan entah apa itu Alice sendiri tak tahu. "Apa kau tak ingat kita sudah saling membunuh. Sebaiknya kau lupakan saja aku. Atau kalau bisa, sekalian saja kau koma seumur hidup!"

"Tapi takdir berkata lain. Aku datang dari neraka itu, menjemputmu untuk menemaniku di sana." Dante menyingkirkan anak rambut Alice yang menutup wajah cantik gadis itu.

Kepala Alice berputar, menatap kembali Dante nyalang. "Bangun dari koma, hanya mengingatku. Kau benar-benar yang jatuh cinta padaku sekarang sepertinya. Apa kau mau membatahnya, jerk?" Ejeknya.

"Aku tidak membantahnya. Memang benar, selama aku koma, sialnya hanya wajahmu ini yang muncul di memoriku." Jari telunjuk Dante mengelus pipi Alice.

Alice menahan napasnya gusar. Sentuhan tangan Dante entah kenapa sangat lembut hingga membuatnya ikut sedikit terlena. Dadanya ikut bergerak naik turun mengikuti ritme jantungnya yang berdetak tak karuan.

Tapi sebelum terbawa suasana, Alice menyingkirkan tangan Dante kasar. "Lepas, dan pergilah dari kamarku, rumahku, dan hidupku!"

"Tidak semudah itu. Well, aku tak begitu suka kau yang sekarang. Tak polos dan munafik, dan apa ini? Semakin membantah." 

"Apa maumu sebenarnya, huh?" Alice mendesis, gadis itu sungguh muak.

Dante berguling ke samping, tapi tangannya masih setia di perut gadis itu. Mereka kini saling berhadapan. "Tidak ada untuk sekarang. Aku hanya ingin tidur."

"Denganmu." Tambahnya, meraup tubuh Alice lebih dekat. Kasur kecil itu sedikit bergoyang, mungkin akan ambruk jika di tambah satu orang lagi.

Alice mengambil napas, mengangkat dagunya, melihat Dante yang sudah memejamkan mata. Sangat damai, sepertinya ia memang sudah tertidur, atau pura-pura saja.

Alice mencebik geram, tak mau memikirkannya. Ia berniat beranjak pergi. Tapi tangan Dante kuat sekali melingkar di tubuhnya, tak membiarkannya lari.

"Sialan." Alice mendumel dalam hati, tangannya kanannya yang masih bebas berkeliaran mencari sesuatu di balik bantal tidurnya. Meraih sesuatu yang telah lama ia simpan di sana untuk berjaga-jaga. Sebilah pisau lipat kecil yang ia simpan akhirnya berguna juga malam ini.

Tapi, Alice hanya menyembunyikannya di balik tubuhnya. Bersiap diri jika Dante melakukan sesuatu padanya. Setidaknya ia harus waspada pada siapapun. Apalagi dengan Dante, orang yang selama ini ia hindari.

Lama berkelana dengan pikirannya, perlahan mata Alice ikut tepejam. Mau seberapa kuat ia menahan untuk terjaha tetap saja rasa ngantuk itu datang. Mendorongnya untuk menggapai ilusi.

Tanpa ia sadari, Dante terbangun, membuka matanya. Setengah wajahnya tersenyum smirk. Dalam kegelapan malam ia bergerak mematikan alarm Alice yang ada di atas nakas. Dia tak akan peduli jika gadis itu akan marah-marah esok. Biarkan malam ini berjalan dengan tenang sampai waktu yang tak di tentukan.

"Mau membunuhku, rupannya." Dante menyeringai, menyadari pisau lipat yang di sembunyikan Alice. Bukannya marah, pria itu malah semakin merengkuh gadis itu.

_________

Thank you, sudah membaca kegabutanku.

Kalau kalian nggak suka sama cerita ini nggak papa kok. Aku tahu kok semua ceritaku amburadul, nggak jelas, kek bukan penulis. Emng fakta sih, aku bukan penulis yah. Aku tuh cuman pekerja yg ngeluarin streesnya ke tulisan. Jadi nggak pernah mikir kesana sini. Kalau ada yg baca berati lagi ikut baca luapan stressku sama dunia ini. Gitu aja, curhat dikit. Aku cuman nggak mau kalian berharap lebih sama aku. Hehehe.

Trapped with the devil (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang