Jam dinding menunjukan setengah tujuh pagi. Artinya aktivitas Alice akan di mulai kembali seperti biasa. Kegiatan yang menjadi impiannya sejak dulu. Hidup tenang di sebuah pedesaan terpencil yang memiliki udara baik, di imbangi dengan bekerja di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumah.
Sebenarnya bekerja hanya untuk kesenangan semata. Karena hidupnya sudah tercukupi. Semuanya berkat Teresa, iya walaupun Alice membencinya tapi ia butuh uangnya untuk melanjutkan hidup. Dia cukup realistis, memanfaatkan keadaan dengan memoroti uang wanita itu untuk membeli rumah dan lahan besar di Auckland.
Setidaknya dengan uang-uang itu ia bisa hidup tenang selama tiga tahun terakhir di negara baru. Bisa di bilang Auckland adalah tempat pelariannya dari Dante. Menenangkan diri dari semua yang telah terjadi dalam hidupnya dan membuka lembaran baru tanpa terikat oleh siapapun.
"Alice, if you know you know. Daniel kemarin ke kafe." Perempuan dengan kaca mata bundar dan rambut kuncir kuda dengan badan tinggi semampai menyambutnya di ambang pintu kafe dengan mulutnya yang cerewet itu.
"Lalu?" Alice meletakan tasnya di atas meja. Berjalan mengambil apron yang tergantung dan memakainya.
Selena mengikuti langkahnya, bibirnya tersenyum lebar. "Dia menembakku. Kita sudah berpacaran!"
Alice tersenyum, menggelung rambutnya tinggi-tinggi. "Selamat kalau begitu. Daniel sepertinya benar-benar mencintaimu."
Selena menyendarkan tubuhnya di tepian meja. "Sudah pasti. Astaga, kapan kita harus berkencan menurutmu?"
"Whatever, Selena. Aku tak ada waktu untuk mengurusi itu." Balas Alice acuh, tangannya terangkat mengambil tepung dan bahan lain untuk membuat cake dan beberapa croisant.
Orang-orang di kotanya memang suka sarapann di kafe dengan di temani secangkir kopi dan roti sembari membaca koran.
Oh, Alice menyukai hidupnya yang sekarang.
Tepat pukul delapan pagi, Alice dengan biasa membuka kafe yang antrianya sudah mengular di depan. Sedangkan Selena sebagai partnernya sudah siap di depan mesin kopi sambil mengedipkan matanya satu. Mereka saling tersenyum, memberi semangat.
Alice mempersilahkan semua orang untuk masuk. Tapi ada yang sedikit mengganggu mata dan pikirannya sekarang. Karena di sebrang jalan, sebuah audi hitam tampak berhenti. Tapi pemiliknya tak keluar sama sekali. Itu sangat lama, hampir satu jam hingga akhirnya mobil itu pergi. Entah kenapa hatinya mulai menjadi tak tenang.
"Alice, hey kenapa kau melamun? Lihatlah nenek peyot kaya raya itu sudah menunggu cake kesukaanya di depan." Selena berkata dengan nada kesal.
Alice memutar bola matanya, menghilangkan segala keresahanya dan membawa nampan berisi kopi dan cake kecil ke depan. Melayani orang-orang yang menunggu pesanan mereka.
Di sore hari, saat matahari mulai tenggelam, Alice memutuskan untuk beristirahat. Kafe sudah nampak sepi. Jadi mungkin ini waktu yang pas untuknya mencari makan di luar. Spageti di restoran ujung jalan menjadi pilihannya.
"Kau mau titip?" Alice bertanya pada Selena di ambang pintu.
Selena mengangkat kepalanya di balik meja. "Ya, burger dengan toping daging sapi, jangan lupa double keju!"
Kepala Alice mengangguk, berlalu pergi keluar kafe. Membawa kakinya menyelusuri trotoar menuju restoran yang nampak palangnya menyala paling terang dari kejauhan.
Karena mendekati musim dingin, hari ini Alice harus memakai jaket di padukan dengan celana jeans panjang. Rambutnya ia biarkan terurai di tutup sebuah topi wol tebal.
Banyak yang mengenalnya di jalanan itu. Mereka ramah dan hampir semua orang menyapannya hangat. Alice hanya membalasnya dengan senyum ringan. Hari-hari kotanya memang ramai karena menjadi tujuan wisata dari berbagai negara. Siapa juga yang tak mau datang ke New Zealand. Apalagi Auckland kota dengan penuh kenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil (end)
De TodoBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...