11. Salah Paham

459 56 0
                                    

Januari 2018

"Apakah kau ... bisa melihatku?"

Deg!

Deretan kata-kata itu merupakan kalimat yang paling tidak ingin kudengar, apalagi dari mulut pemuda itu. Yang mana mengartikan dia sudah tiada, dan kami berbeda alam.

Sekali lihat aku sudah tahu kalau pemuda di hadapanku ini Vino. Orang yang selama dua tahun ini tidak lagi bisa kutemui. Dan sekalinya kami bertemu, kami dipertemukan dalam kondisi seperti ini.

"Kenapa aku tidak bisa melihatmu?"

Vino tersenyum, membuat pipi chubby-nya terangkat. Aku sungguh merindukan senyum itu, aku rindu kehadirannya, aku rindu candaannya, aku rindu semua tentang Vino.

Namun, bukan pertemuan seperti ini yang kuinginkan.

"Kau Kak Vino, 'kan?"

Seharusnya aku tidak perlu menanyakan hal itu, tetapi aku hanya ingin memastikan.

Hujan semakin deras, membuat udara semakin dingin. Orang-orang di sekitarku sudah tidak ada, mereka memilih berteduh. Di sini hanya ada aku dan Vino, dengan berpegangan pada gagang payung.

"Aku ... tidak ingat apa-apa," ujar Vino.

Aku mengerutkan kening. Kenapa Vino tidak ingat apa-apa? Sedangkan Alfi---yang sama-sama arwah---bisa mengingat semua hal yang dilakukan semasa hidupnya.

Aku mengajak Vino untuk berteduh di depan toko sepi yang sedang tutup. Boleh jadi Vino tidak kedinginan atau terkena air hujan, tetapi aku manusia yang mudah sakit dan kini aku sudah menggigil karena kedinginan.

"Begini saja, anggap kakak bernama Vino dan namaku Falyn," ujarku, mengawali pembicaraan.

Vino yang awalnya fokus pada titik-titik hujan di depannya, kini memfokuskan pandangannya padaku. Dia mengangguk lagi.

"Maaf, Kak, sebenarnya aku ingin bicara banyak hal dengan Kakak. Tapi mungkin tidak sekarang, saat ini aku harus membantu temanku yang lain," ucapku, Vino hanya diam, sesekali mengangguk.

"Bolehkan aku minta satu permintaan?" tanyaku.

Vino hanya mengangguk. Dia jadi lebih pendiam daripada dulu. Mungkin karena selama ini tidak ada yang mengajaknya bicara, jadi dia terbiasa diam dan sendiri.

"Kakak tolong jauhi Ailan," kataku.

Kening Vino berkerut. "Ailan siapa?"

Aku mengambil ponselku dan menunjukkan foto Ailan. Itu foto Ailan saat ngambek, dia mengerucutkan bibirnya sembari melipat tangan di depan dada.

Aku bukan mengambil foto itu secara diam-diam seperti penguntit, aku memotret Ailan secara terang-terangan di depannya, Ailan jelas marah saat kufoto.

"Falyn, jangan sembarangan ngambil foto orang! Tapi karena aku di situ tampak ganteng, jadi tidak apa-apa. Jangan dihapus fotonya, untuk kenang-kenangan kalau kau rindu," kata Ailan waktu itu.

"Jadi dia namanya Ailan?" tanya Vino setelah memperhatikan foto Ailan.

Aku mengangguk dan memasukkan kembali ponsel ke tas, takut tersambar petir.

"Dia tampak konyol," gumam Vino.

Aku memandang Vino. "Kata arwah anak kecil yang biasanya mengikuti Ailan---Rey, Kakak ingin mengambil alih tubuh Ailan? Apa benar?"

Vino tampak terkejut. "Walau aku sangat putus asa karena tidak bisa hidup dan mati, aku tidak sekejam itu untuk merebut kehidupan orang lain."

"Kalaupun Tuhan memberiku pilihan, aku ingin mati saja daripada dapat kesempatan hidup tetapi harus mengambil tubuh anak sebaik Ailan," lanjut Vino membuatku semakin merasa bersalah.

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang