27. Masa Lalu Ailan

361 41 2
                                    

Aku seperti punya rutinitas baru di hari Minggu selain bermalas-malasan yaitu menunggu Eri di rumah sakit, walau sebenarnya bukan hari Minggu saja, tetapi setiap hari aku mendatanginya, berharap ada keajaiban seperti di sinetron yang sering Mama tonton di rumah, tiba-tiba tanpa angin tanpa hujan aku juga menemukan tubuh Vino. Namun hal itu hanya ada di bayanganku.

Aku mengernyitkan mata saat melihat dari jauh Ailan berjalan menuju lift. Bukan sekali-dua kali aku melihat Ailan berkeliaran di rumah sakit ini, tetapi berkali-kali sampai-sampai aku sudah bosan melihatnya. Aku curiga jika Ailan memiliki penyakit serius yang setiap hari memerlukan perawatan rumah sakit.

"Dia selalu ke lantai lima," gumamku.

Aku berdiri, sedikit merenggangkan badan dan masuk ke dalam ruang rawat inap Eri, di sana ada Mama.

"Ma, aku jalan-jalan dulu ya keliling rumah sakit," ujarku.

Mama menatapku curiga. "Mau ke mana?"

"Mau keliling, Ma, cari cowo ganteng," jawabku sembari bercanda.

Mama menghela napas, tetapi akhirnya mengangguk juga, dia mungkin lelah dengan sikapku.

Setelah beberapa menit perjalanan ke lantai lima, langkahku terhenti di depan lorong. Tempat ini berbeda jauh dari empat lantai di bawahnya, tempat ini terkesan mewah. Lorong-lorongnya sepi, pintu-pintu setiap ruangan terlihat elegan dan yang pasti tidak ada tangisan anak kecil seperti di poli anak lantai satu, tempat ini menenangkan.

Aku menemukan Ailan duduk di salah satu kursi yang ada di depan ruangan rawat inap, dia memakai kaca matanya sembari fokus membaca buku fisika, yang baru aku ingat kalau Senin besok ada ulangan harian fisika. Ailan juga mengerjakan beberapa soal, dia terlihat keren di sini.

Ailan mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan benda itu di dekat telinga kanannya. Aku terkejut saat ponselku berbunyi.

"Ailan!" seruku tertahan saat melihat nama Ailan yang tertera di panggilan masukku.

"Halo?" sahutku.

Ailan yang duduk di kursi tiba-tiba menghadap ke arahku dan tersenyum. "Daripada kau berdiri di situ mending duduk di sebelahku."

Aku mengepalkan tangan karena merasa malu. "Aku tadi tersesat."

"Yaudah ke sini, nanti aku beri tahu jalan pulang."

Ailan lantas mematikan ponselnya. Senyumnya semakin lebar, ia melambaikan tangan dan dari gerak bibirnya dia menyuruhku segera ke sana.

Aku yang tertangkap basah mau tidak mau harus menghampirinya.

"Kau kenapa di sini, Ailan?" tanyaku, memulai pembicaraan setelah duduk di sebelah Ailan.

"Aku tersesat," jawab Ailan, dia lantas menutup bukunya dan memfokuskan perhatiannya padaku sepenuhnya.

"Kau bohong, aku sering melihatmu di sini. Kadang kau melamun nggak jelas, kadang belajar, kadang menonton film," jawabku semangat karena berhasil membongkar kebohongan Ailan.

Ailan tertawa. "Kau juga bohong, aku sering melihatmu juga memergokiku."

Aku tersenyum masam. "Ya, kita impas."

Aku memandang wajahnya. "Kau benar-benar anak rajin ya? Oh ya setiap hari kenapa kau selalu ke rumah sakit? Kau sakit, Ailan?"

Ailan tertawa melihat wajah khawatirku, dia mencubit pipiku. "Nggak semua yang ke rumah sakit itu sakit, Falyn. Bisa saja dia dokter, atau keluarga pasien."

"Lalu? Kau juga bukan dokter, apa kau keluarga pasien?"

Ailan menggeleng. "Aku memang bukan dokter, tapi doakan nanti ya? Aku ke sini karena menunggu orang tuaku, mereka bekerja di sini. Papaku dokter bedah dan punya pasien tetap di sini dan Mama dokter kandungan."

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang