6. Rey

537 63 0
                                    

Keesokan harinya saat di sekolah, Ailan belum juga masuk karena insiden keracunan makanan lusa lalu. Jadi, rencananya sepulang sekolah nanti, kami sekelas akan menjenguknya ke rumah sakit. Sebenarnya tidak ada yang tahu kalau Ailan sampai opname di rumah sakit, Ailan sendiri tidak bilang ke teman-teman, salahkan saja mulutku yang keceplosan dan membuat berita itu menyebar cepat ke satu kelas.

Aku melirik malas papan tulis yang dipenuhi tulisan angka-angka, yang entah bagaimana mengingatkanku pada Ailan. Aku kini tidak bisa fokus karena mengingat kejadian di rumah sakit kemarin. Tentang sisi rapuh Ailan dan tentang kebenaran Alfi.

Saat itu aku tersenyum canggung pada ibunya Alfi, dia mempersilahkanku masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang inap Rey, aku baru tahu kalau ada kursi gara-gara tadi terlalu fokus pada Rey.

“Siapa namamu tadi? Kau teman sekelasnya Alfi ya?” tanya ibu Alfi ramah.

“Saya Falyn,” jawabku sembari mengangguk.

Ibu Alfi mengangguk-angguk, dia melihatku dari atas sampai bawah. “Kalau Ibu boleh tahu, kenapa Falyn ke sini? Semua sudah tahu kan kalau Alfi ... sudah tiada.”

Suara ibu Alfi semakin mengecil di akhir kalimatnya. Aku merasa bersalah karena kedatanganku membuatnya teringat tentang kematian Alfi.

“Ada barang Alfi yang tertinggal, aku mau mengembalikannya, mungkin barang itu sangat penting,” ujarku.

Aku mengulurkan amplop cokelat pada ibunya Alfi. Ibunya tidak langsung menerima amplop itu, dia mengerutkan dahi tanda berpikir lantas mengambil amplop itu dan membukanya. Ada beberapa kertas yang dikeluarkan ibu Alfi, dia membaca salah satunya lantas melototkan mata, membuatku diam-diam penasaran.

Ibu Alfi buru-buru mengunci pintu, menutup jendela dengan kelambu, membuat ruangan itu gelap jika saja lampu tidak berfungsi. Ibu Alfi menggenggam erat kedua bahuku, matanya memandangku serius.

“Nak Falyn, katakanlah, kau dapat surat ini dari mana? Tidak ada orang yang tahu mengenai surat ini kecuali Alfi sendiri, dan aku yakin Alfi tidak akan menitipkan surat ini padamu sebelum kematiannya,” ucapnya dengan raut muka yang serius.

Aku menelan ludah gugup, setengah ketakutan. Apa aku boleh membocorkan rahasiaku kalau aku bisa melihat arwah?
“Sebelum aku cerita, Ibu harus percaya,” ucapku, yang dibalas anggukan cepat oleh ibu Alfi, sedangkan Alfi masih setia berdiri di antara kami, menonton dan mendengarkan percakapan ini.

“Aku dianugerahi kelebihan khusus, yaitu bisa melihat arwah.” Aku memberi jeda karena ingin melihat reaksi ibunya Alfi, dia menganggukkan kepala. “Aku melihat Alfi, dia ada di sini sekarang.”

Aku menunjuk Alfi yang berdiri, membuat ibunya itu menoleh ke tempat yang kutunjuk, tentu saja yang ia lihat hanya udara kosong. Alfi balas menatap ibunya, sulit mengetahui ekspresinya sekarang.

“Arwahnya belum tenang, Bu. Dia meminta bantuanku untuk memberikan amplop itu pada Ibu, agar arwahnya bisa tenang,” kataku.

Ibunya Alfi menggeleng. “Bukan hanya itu, dia butuh lebih dari itu agar arwahnya tenang.”

Aku refleks menoleh pada Alfi. “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku, Fi?”

“Maaf,” ucapnya singkat.

“Kau bicara dengan Alfi?” tanya ibu Alfi. “Dia benar-benar ada di sini?”

Ibu Alfi menoleh ke tempat kosong yang ada di antara kami, tepat di mana Alfi berdiri.

“Iya, Ma, aku di sini. Aku sayang Mama,” ucap Alfi sembari tangannya menyentuh tangan ibunya, yang mana membuat wanita itu tersentak.

“Alfi bilang dia sayang Mama,” kataku, menyampaikan apa yang Alfi ucapkan.

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang