4. Kunci dan Luka

665 69 8
                                    

Pukul sembilan malam. Aku membereskan buku-buku yang berserakan di meja belajar. Aku menguap lantas merenggangkan badan. Sekilas aku melirik pigura foto yang terletak di sebelah buku-buku tadi, itu fotoku dan kakakku, Eri.

 Sekilas aku melirik pigura foto yang terletak di sebelah buku-buku tadi, itu fotoku dan kakakku, Eri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau membahas kakakku, dia sudah tiada dua tahun lalu karena kecelakaan kereta. Kereta yang dia naiki terbakar. Saat itu Eri bersama teman seangkatannya di SMA Laverna---kini mereka kelas dua belas---naik kereta untuk pergi ke museum kota---atau tempat lain, aku tidak terlalu ingat-dalam rangka pembelajaran sekolah. Dan tahu-tahu, aku mendengar kabar bahwa ada kebakaran di stasiun.

Setibanya aku di sana bersama kedua orang tuaku, stasiun dan dua kereta hangus terbakar, kejadian itu banyak memakan korban, termasuk kakakku. Itulah alasan mengapa angkatan 2016 menjadi angkatan dengan jumlah murid tersedikit sepanjang sejarah SMA Laverna berdiri, karena banyak siswanya yang meninggal saat kejadian itu.

Bagian menariknya, jenazah kakakku sampai sekarang tidak ditemukan. Jenazahnya menghilang---itu pun kalau dia sudah tidak ada. Namun kalaupun Eri masih hidup, lalu di mana dia sekarang? Ini sudah lebih dari dua tahun sejak kebakaran itu. Kami sekeluarga memutuskan untuk mengikhlaskan Kak Eri.

Jika orang lain bisa mengunjungi makam orang yang sudah meninggal, aku tidak bisa. Jika aku rindu Kak Eri, aku hanya bisa memandang fotonya dan setiap tahun mengunjungi stasiun tempat kereta itu dulu pernah terbakar.

Aku tidak tahu lagi cerita lengkapnya karena enggan meriset dan mencari tahu lebih dalam, karena itu membuka luka lama di hatiku.

Sial! Mataku berair karena tiba-tiba teringat Eri. Walau aku punya kemampuan bisa melihat mereka yang sudah tiada, aku sekalipun belum pernah melihat kakakku dalam wujud arwah, jadi kukira dia sudah tenang bersama Tuhan di atas sana. Atau ... mungkin saja kakakku masih hidup? Aku tahu itu mustahil.

Aku terlonjak kaget saat ponselku yang ada di sebelah pigura itu berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.

Siapa yang berani menangguku di saat sedih-sedih begini? Awas saja kalau itu telepon salah sambung yang biasanya bilang, "Mama, aku minta pulsa." atau bilang, "Kakakmu kecelakaan.". Aku sudah kebal dengan telepon seperti itu.

Aku menekan tombol hijau di ponsel dan mendekatkan benda pipih itu di dekat telinga. "Halo? Siapa ini?"

"Halo. Maaf menganggumu malam-malam." Suara laki-laki terdengar di seberang sana.

Tunggu, aku sepertinya mengenali suara itu. Tidak salah lagi, itu suara si bocah yang suka mengangguku.

"Ailan? Kenapa telepon malam-malam? Dan kau dapat nomorku dari mana?" semburku, maaf Ailan, kau jadi pelampiasan rinduku pada Eri.

Ya beginilah aku, akan marah-marah tidak jelas jika rindu seseorang dan maaf Ailan, kali ini kau yang jadi pelampiasan rinduku.

"Em ... anu, aku dapat nomormu dari grup kelas," jawabnya.

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang