8. Petunjuk Lain

492 65 2
                                    

Aku hari ini tidak naik bus, tetapi diantar Papa saat berangkat sekolah, kebetulan ia tidak begitu sibuk sehingga tidak buru-buru pergi ke kantor.

Aku berjalan di antara pertokoan, sebenarnya tadi Papa ngotot ingin mengantarku sampai sekolah---aku memintanya diturunkan di jalan setapak dekat toko-toko. Aku mau beli sesuatu dan jarak toko dengan sekolah juga dekat.

Aku melihat-lihat keadaan sekitar, jalan setapak pagi ini sudah ramai oleh siswa-siswi sepertiku, bahkan banyak anak Laverna yang masih berkeliaran, beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk singgah di toko, membeli sesuatu.

Aku mencari-cari toko roti yang kata Alisa rasanya paling enak. Aku mau beli brownies, nanti bisa dimakan sama teman-temannya saat di kelas---waktu istirahat maksudnya.

Aku melewati gang-gang yang ditempati kucing liar, atau bahkan arwah yang terlantang-lantung, untung saja mereka tidak mengangguku.

Bugh!

Bugh!

Suara pukulan terdengar, lantas disusul suara gedebuk orang jatuh. Aku buru-buru berlari ke gang sebelah toko roti---tempat suara itu berasal.

Belum sempat aku melihat apa yang terjadi di sana, tiba-tiba seorang laki-laki yang memakai seragam SMA dilemparkan hingga kepalanya teratuk sepatuku.

Di dalam gang sana terdapat empat atau lima pria yang terlihat bengis, mereka berwajah menyeramkan. Pemuda yang tadi terlempar masih tidak bergerak, posisinya terkelungkup, hingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Hei! Kalian beraninya main keroyokan! Sini kalo berani rame-rame! Aku panggilin polisi, komnas perlindungan anak, sekalian orang sekompleks!" Entah dapat keberanian dari mana, aku berani membentak mereka.

Padahal mereka melotot saja aku sudah ketakutan dan badan gemetar.

"Kau anak kecil, jangan ikut campur kalau kau masih sayang nyawamu," ujar salah satu dari mereka.

Aku menahan napas dan berkeringan dingin. Untung saja mereka tidak benar-benar mau menghabisiku, mereka pergi begitu saja, melewati gang sempit yang entah ke mana tujuannya.

Aku berjongkok, menepuk pelan bahu pemuda itu. "Hei, kamu tidak apa-apa?"

Aku sedikit menggoyang bahu pemuda itu karena tidak mendapat respons darinya.

Tiba-tiba saja tangan pemuda itu menggenggam tanganku yang tadi menggoyang-goyangkan bahunya.

"Jangan disentuh, Falyn, masih sakit," ucapnya dengan suara lemah.

"Azhel!?" seruku.

Aku buru-buru membantunya duduk. Keadannya sangat buruk, Azhel terlihat lemah, bahkan tadi dia tidak sanggup duduk, jadinya aku membantunya menepi dan menyandarkan punggung Azhel di dekat toko roti.

Wajah Azhel penuh lebam dan darah, seragam putihnya ternodai darah di bagian dada dan bahu yang tadi aku sentuh---pantas saja dia tadi mengaduh kesakitan. Seragamnya juga kotor terkena tanah.

"Kenapa kau bisa sampai begini? Kita ke rumah sakit ya? Aku panggil ambulans dulu."

Tanganku dihentikan Azhel saat hendak mencari ponsel. Azhel menggeleng lemah, dia membuka mulutnya, hendak bicara tetapi terlihat kesusahan.

Aku mengambil air minumku dan memberikannya pada Azhel. Pemuda itu meminumnya beberapa teguk dan aku sekalian menyuruhnya mencuci muka agar tidak ada sisa darah-darah di wajahnya.

Aku mengambil tisu di tasku. Aku hendak membantunya membersihkan luka, tetapi Azhel mencegahku. "Tidak usah, Falyn, kau tidak boleh menyentuh darahku. Nanti tanganmu kotor."

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang