35. Saat Kau Pergi

328 36 5
                                    

Ailan membuka matanya cepat dan dia terkejut karena barusan merasakan seperti ada yang menarik kuat-kuat tubuhnya. Ailan memutuskan untuk duduk, dia merenggangkan badannya karena seingatnya beberapa menit yang lalu tubuhnya terasa begitu sakit, tetapi untungnya saja sekarang dia merasa baik-baik saja.

"Bang?"

Ailan baru menyadari kalau ada Vino yang kepalanya ditelungkupkan di samping ranjangnya, apa abangnya tertidur?

"Bang Vino?" Panggil Ailan sekali lagi.

Tubuh Vino bergetar yang mana membuat Ailan sadar kalau abangnya tidak tidur, lantas suara tangisan keluar dari Vino membuat Ailan khawatir setengah mati.

"Abang kenapa? Apa masih sakit?" tanya Ailan, nadanya terdengar khawatir.

Vino mengangkat kepala, dia mendekatkan kursi rodanya pada ranjang Ailan. Mata Vino memerah dan wajahnya tampak sangat berantakan dan kacau.

"Bang katakan padaku ada apa?" Ailan mulai khawatir.

"Dek, kenapa?" Vino bertanya dengan nada lirih dan suara lemas.

"Apanya yang kenapa, Bang? Kau jangan membuatku bingung."

"Abang sudah kembali Dek? Tapi kenapa kau yang pergi?" Vino semakin sesenggukan, belum pernah Ailan melihat abangnya menangis separah ini, luka apa lagi yang menyebabkan abangnya hingga begitu tersakiti?

"Aku nggak pergi ke mana-mana Bang. Kau hari ini kenapa sih?" Ailan mulai kesal, dia akan benar-benar memukul abangnya nanti kalau niatnya hanya menggodanya karena candaannya tidak lucu.

Mama tiba-tiba pingsan dan dengan cepat Papa menolong Mama. "Ma! Pa tolong bawa Mama!"

Ailan kembali memperhatikan Vino yang tidak menggubris saat Mama pingsan. "Bang, Mama pingsan! Kenapa kau nggak nolong Mama? Hal penting apa yang menahanmu sampai kau mengabaikan Mama? Padahal kau anak kesayangannya."

"Kenapa kau diam saja Bang?" Ailan menepuk bahu Vino, tetapi dia terkejut saat tangannya malah menembus tubuh Vino.

Ailan melotot kaget. "Apa ini?"

Dia mencoba menyentuh lagi tangan Vino, tetapi hasilnya nihil, yang ada malah dia menembus tubuh Vino. Ailan lalu mencoba bangkit dari ranjangnya dan berdiri.

Pemuda itu memekik kaget saat melihat ranjang yang tadi ia tiduri. Kenapa dia masih melihat dirinya tidur di sana?

Ailan mulai panik. "Kenapa? Apa yang terjadi? Bang kenapa ini?"

Tangis Ailan mulai pecah. Ia memperhatikan perutnya yang tidak mengembang-mengempis dan alat di sebelahnya menunjukkan garis lurus.

Di ruangan ini hanya ada Vino yang kini memegang tubuh Ailan sembari menangis, sedangkan orang tuanya sudah keluar ruangan.

"Apa aku sudah mati?"

Ailan bisa melihat luka-luka di tubuhnya yang begitu parah, beberapa sudah dibersihkan dan dioperasi, ia masih ingat sensasi saat tubuhnya tertabrak mobil dan sebuah pisau bedah membelah perutnya yang awalnya ia kira hanya mimpi.

"Aku pasti bermimpi!" Ailan menyentuh tubuhnya yang sudah menjadi jasad. "Kau pasti kesakitan ya? Tidak heran kenapa aku mati."

"Adek." Vino memanggil Ailan dengan pandangan kosong.

"Aku di sini, Bang," jawab Ailan, walau dia tahu abangnya tidak akan mendengarnya.

"Kenapa adek pergi? Adek tidak sayang abang ya?"

Ailan menggeleng. "Tidak, Bang, aku sangat menyayangi Abang."

"Abang baru bangun, tapi kenapa adek yang malah tidur? Adek kesal ya karena Abang tinggal tidur dua tahun jadi Adek balas tidur selamanya?" Pertanyaan itu begitu lirih terlontar dari bibir Vino.

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang