15. Perasaan yang Aneh

431 53 0
                                    

Ailan memegang tanganku, sedangkan tangan kanannya mengendalikan setang motor. Dia mengelus pelan tanganku, berusaha menyalurkan kekuatannya padaku. Ailan tahu kalau aku masih ketakutan, terbukti dengan instruksinya yang menyuruhku untuk menutup mata di sepanjang perjalanan.

"Tetap tutup matamu, Falyn, dan kau akan aman. Tenang saja, aku nggak mungkin punya niat untuk menculikmu, jadi percaya saja padaku," ujar Ailan.

Aku mengangguk, walau tahu kalau Ailan tidak melihatku.

"Pegangan, Falyn, aku mau ngebut," kata Ailan, dia melepas tangannya yang tadi memegang tanganku.

"Jangan, nanti mati," ujarku refleks hingga membuat Ailan tertawa.

"Maka dari itu, kau harus pegangan agar tidak mati." Ailan meraih tangan kananku dan melingkarkannya ke pinggang pemuda itu.

Tangan kiriku tanpa sadar ikut melingkar di pinggang Ailan. Setelah itu Ailan benar-benar melajukan motornya dengan kencang, membuatku memeluk pinggang Ailan dengan erat, takut terjatuh.

Setelah beberapa menit dalam posisi seperti ini, motor Ailan berhenti.

"Kita sudah sampai," ujar Ailan pelan

Aku buru-buru membuka mata dan melihat sekeliling, sekarang aku berada di halaman depan rumahku, Ailan menepati janjinya untuk tidak menculikku---entah pemikiran dari mana ini.

Ailan menepuk pelan tanganku yang masih melilit di pinggangnya, membuatku buru-buru melepas tautan tanganku. Aku turun dari motor Ailan.

"Terima kasih, Ailan."

Ailan menatapku dengan pandangan bersalah. "Maaf, Falyn. Maaf karena membawamu ke sana dan membuatmu ketakutan, aku tidak tahu kalau di sana mereka sangat banyak."

Aku baru teringat sesuatu, tingkah Ailan saat di festival tadi agak mencurigakan. "Apa kau benar-benar bisa melihat mereka, Ailan?"

Ailan terdiam, dia sepertinya enggan menjawab. Pemuda itu hanya tersenyum dan mengelus pelan rambutku. "Sudah jangan dipikirkan, pokoknya kau jangan sampai memperlihatkan ketakutanmu, nanti mereka semakin menganggumu."

Aku menatap Ailan serius. "Ailan, benar kan?"

Ailan menggeleng. "Aku tidak bisa melihat arwah, Falyn."

"Tapi, tadi ... bagaimana kau bisa tahu?"

Pandangan Ailan tampak sendu. Dia mendogakkan kepala menatap bintang-bintang di langit. "Ya begitulah. Aku dikutuk."

"Dikutuk? Kenapa bisa?" Aku mengerutkan kening.

Ailan menggeleng. "Aku belum bisa cerita sekarang."

Aku sebenarnya kecewa dengan jawaban Ailan, tetapi aku sadar kalau setiap orang punya sesuatu yang tidak bisa dia ceritakan pada orang lain. Dan aku akan menunggu waktu yang tepat sampai Ailan mau cerita.

Aku meraih tangan Ailan. "Bisahkan kau menjaga rahasiaku?"

"Rahasia apa?" tanya Ailan, lantas dia tersadar. "Ah yang itu? Iya, aku akan jaga rahasiamu. Dan aku minta kau jaga rahasiaku juga."

Aku mengangguk. "Kita sama-sama menjaga rahasia."

Ailan tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Falyn."

"Ngomong-ngomong, sejak kapan kau tahu kalau aku punya kemampuan itu?" tanyaku setelah beberapa detik terjadi keheningan.

"Sejak pertama kita bertemu," jawab Ailan.

"Ah, saat di halte?"

Ailan menggeleng pelan, menerbangkan beberapa rambutnya. "Bukan, mungkin kau tidak ingat."

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang