20. Aku Merindukanmu

421 55 41
                                    

"Kak ... Eri?"

Tubuhku mematung saat melihat dengan jelas Eri berdiri di depanku. Pipi gadis itu tidak tembam seperti saat terakhir kali melihatnya, alih-alih terlihat lucu dengan pipi chubby-nya yang dulu, kini Eri terlihat lebih dewasa dengan pipi tirus. Rona merah di wajah gadis itu tidak ada, dan kini tergantikan dengan wajah pucat seperti mayat.

Eri mengembangkan senyuman lebar dan mengangguk kecil. "Iya, ini aku."

Air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya jatuh tanpa seizinku, memporak-porandakan tembok pertahanan yang selama ini aku bangun kuat-kuat. Aku berderap ke arahnya seakan-akan ada magnet yang menarikku. Aku merentangkan tangan dengan niat ingin memeluk kakakku yang sudah dua tahun ini menghilang, tetapi yang tubuh yang dulu terasa hangat saat kupeluk kini bahkan tidak bisa kusentuh.

Tangis semakin pecah saat itu juga, kejadian tadi menamparku keras dan menyadarkanku bahwa sekarang dunia kami berbeda. Dulu aku selalu berdoa kepada Tuhan agar dipertemukan Eri walau dalam bentuk arwah sekalipun, tetapi setelah Tuhan mengabulkan keinginanku kenapa menerima kenyataan itu begitu berat?

Tubuhku meluruh hingga aku jatuh berlutut, aku menangis sesenggukan di depannya hingga dadaku tiba-tiba terasa sesak karena menangis terus menerus.

"Falyn, kenapa nangis?" Eri ikut jongkok di depanku.

"Kau tanya kenapa aku nangis?" tanyaku kesal. "Kau hilang tanpa kabar dua tahun, Eri! Dua tahun bukan waktu singkat! Dan sekarang kita bertemu dalam keadaan begini, menurutmu kenapa aku harus menangis?"

Eri menatapku dengan pandangan sendu. "Maaf."

Aku menggeleng, tidak seharusnya Eri minta maaf, harusnya aku yang meminta maaf karena tidak bisa menjaga Eri selama ini. Aku yang harus berterima kasih karena akhirnya dia mau menemuiku.

"Aku merindukanmu," gumamku.

Eri tersenyum tipis, tangannya terulur hendak mencubit pipiku yang akhir-akhir ini lebih berisi, tetapi dia urungkan karena tahu hal itu sia-sia. "Kau benar-benar rindu aku, Dek?"

Aku menatapnya kesal. "Pake nanya!"

Eri terkekeh. "Ututu, adikku marah nih?"

Setetes air mataku turun lagi. Ah, aku benar-benar merindukan pertengkaran ini, aku merindukan suara gelak tawa Eri saat menertawakanku karena aku marah. Aku rindu pada kakakku.

"Ayo kita berbicara di taman belakang, aku tidak nyaman kalau berbicara di sini," ajakku.

Eri menggeleng. "Dan membiarkanmu membolos kelas? Tidak, Falyn."

Aku tetap bersikukuh. "Kelas tidak lebih penting dibanding dirimu. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu, Kak."

Eri menggeleng keras. "Aku tahu. Tapi kau tidak boleh membolos demi aku, Falyn. Kau tidak tahu bagaimana rasanya aku ingin kembali sekolah padahal keadaanku begini."

Aku hanya diam, enggan merespons ucapan Eri. Aku tahu kalau kelasku habis ini penting, tapi apa aku boleh egois sedikit? Aku hanya ingin melepaskan rindu pada kakakku. Setidaknya untuk menenangkan jiwaku walau tidak dapat menghilangkan rasa bersalahku selama ini.

"Di taman belakang, sepulang sekolah," ujar Eri sebelum sosok itu hilang di depanku.

"Eri!" tangisku pecah saat itu juga.

Aku hanya takut kalau dia akan menghilang lagi dan tak pernah kembali. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Luka di hatiku belum sepenuhnya sembuh dan aku tidak ingin ada goresan luka lagi.

***

Aku melangkah lemas saat menuju lorong kelas. Mataku membengkak walau aku sudah mencuci muka. Rasanya aku tidak memiliki energi sama sekali, saat ini aku hanya berharap ada jam kosong sehingga aku bisa tidur dengan tenang, mengistirahatkan pikiranku yang lelah.

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang