30. Pangeran dan Tuan Putri

353 43 0
                                    

Malam hari setelah Alisa mengajakku jalan-jalan, Eri membawaku menemui Vino setelah aku menceritakan semua hal yang Ailan katakan padaku.

"Sebenarnya kau sembunyikan Vino di mana, Kak? Jauh sekali." Aku mengeluh pegal karena Eri dari tadi tidak menjawabku, dia hanya terus melanyang rendah sedangkan aku harus berjalan untuk mengikutinya.

"Yak! Eri! Aku capek!" keluhku sekali lagi.

Eri berhenti, dia berkacak pinggang dan menyentil dahiku.

"Aduh!" seruku. "Sakit tahu! Aku bilangin Mama nanti!"

"Jangan banyak mengeluh, aku bukan menyembunyikan Vino ya, aku menaruhnya di tempat aman." Eri memandang langit malam, malam ini udara berembus segar. "Aku menaruhnya di stasiun, sebuah jiwa akan kuat jika dekat dengan tempat di mana dia kecelakaan."

Aku terdiam, ikut memandang langit malam. Stasiun, kereta dan tragedi itu selalu menjadi topik pembicaraan yang menyedihkan bagi kami. Hari yang seharusnya semua orang bersenang-senang menjadi hari yang penuh duka. Hari kasih sayang yang seharusnya saling mengungkapkan rasa sayang, tetapi apa boleh buat kalau hari itu jadi hari terakhir bagi mereka untuk mengungkapkan rasa sayang.

"Mau naik bus saja?" tanya Eri setelah beberapa menit angin dengan tidak sopannya menabrak wajahku.

"Kenapa baru tanya sekarang? Stasiun udah di depan kita." Aku menunjuk stasiun yang sudah terlihat dari dekat, aku yakin ekspresi wajahku sudah kusut tidak karuan.

Eri hanya tertawa dan dia berjalan lebih dulu setelah itu menghilang dari hadapanku.

"Hei, kok aku ditinggal Kak?"

***

Aku tiba di ruang duka. Ruangan ini selalu membawa ketenangan bagiku, walau banyak arwah-arwah korban yang berkeliaran, tetapi tempat ini sama sekali tidak menakutkan, mungkin karena doa-doa tulus yang dikirimkan oleh keluarga korban sehingga tempat ini begitu tentram.

Aku menghela napas lega karena di ruangan ini tidak ada manusia, jadi aku tidak harus berpura-pura di depan mereka, sesungguhnya berpura-pura itu melelahkan.

"Hai, Vino," sapa Eri. "Aku bawa Falyn, mungkin kamu bosan di sini, yah walaupun di sini banyak temanmu sih, tapi kamu kan tidak ingat mereka."

Vino tersenyum tipis dan mengangguk. Keadaan pemuda itu cukup memprihatinkan, wajahnya semakin pucat, walau pipinya masih terlihat lebih berisi daripada saat aku melihat tubuhnya yang terbaring di rumah sakit, tetapi kini Vino lebih mengenaskan, dia seperti benar-benar kehilangan energinya.

"Hai Kak Vino, bagaimana kabarmu?" tanyaku basa-basi.

Vino duduk di dekat dinding yang tertempel fotonya, aku baru sadar kalau tempat itu dan tempat sebelahnya biasanya didatangi Ailan. Aku memandang foto di sebelah Vino duduk, foto yang kata Ailan temannya abangnya.

"Aku baik-baik saja," jawab Vino, suaranya terdengar lemah.

"Dia dulu sahabatnya Vino, mereka sering menginap di rumah masing-masing jadinya pasti mereka dekat," bisik Eri di sebelahku.

Aku ikut duduk di depan Vino, begitu juga dengan Eri.

"Kak, aku punya dua kabar untukmu, mau dengar kabar yang mana dulu? Yang baik atau buruk?" tanyaku pada Vino.

"Sepertinya kabar baik dulu," jawab Vino kalem.

"Aku sudah menemukan tubuh Kakak dan pihak keluarga sudah tahu jadi mereka menunda pencabutan penunjang kehidupanmu, mereka menunggu sampai Kakak bisa kembali," jawabku cepat.

Vino tersenyum lebar, matanya penuh harap menatapku. Namun, beberapa detik kemudian senyuman itu menghilang. "Kabar buruknya?"

"Kak Vino membuat Ailan sakit hati karena kau tidak bisa mengingat adikmu sendiri."

After Ecstasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang