Alana meremas perutnya yang terasa perih. Bibirnya beberapa kali meringis, dengan kedua mata menyipit lirih. Dia sangat lapar saat ini.
Bolehkah dia mengatakan menyesal karna mengabaikan makan malamnya tadi? Karna sekarang dia benar-benar kelaparan.
Melirik jam di atas dinding, Alana duduk dari tempat berbaringnya, melangkah pelan ke arah sofa.
Duduk dengan tangan terulur meraih teko dan gelas yang berada di atas meja.
Menuangkan air hingga memenuhi gelas. Meneguknya berulang-ulang hingga tandas tanpa sisa.Ini sudah pukul sebelas malam, tapi rasa lapar diperutnya semakin menjadi-jadi. Bahkan lambungnya terasa naik sekarang. Dia tau jika air itu tidak akan membantu, tapi setidaknya ada sedikit keajaiban yang bisa menolongnya kali ini.
Alana sudah melewatkan jam sarapan, makan siang dan juga makan malam. Sekarang perutnya meronta-ronta minta diisi. Tapi Alana sama sekali tidak berani keluar, apa lagi setelah bentakan Axel tadi. Dia takut.
Lagi pula hanya Axel yang dia kenal di sini, yang membawanya berada di situasi seperti ini. Tidak mungkin setelah pertengkaran mereka tadi Alana masih berani meminta makan padanya.
Apa yang akan dipikirkan Axel tentangnya?Perempuan bermuka tembok? Atau yang lebih parahnya, perempuan murahan yang tidak memiliki harga tinggi? Oh, big no!! Alana memilih menahan lapar ketimbang harus meminta belas kasihan pada Axel.
Menghela nafas panjang, Alana kembali meraih teko menungkan air ke dalam gelasnya. Berharap setelah ini rasa laparnya akan berkurang.
Tapi hingga air di dalam teko habis. Tandas tanpa sisa, rasa lapar Alana sama sekali tidak berkurang. Perutnya malah semakin terasa perih bercampur mual. Kepalanya pun ikut berputar-putar.
Alana merutukki daya tahan tubuhnya yang begitu lemah.
"Apa yang harus aku lakukan?" Gumamnya. "Aku bahkan tidak membawa ponsel." Sambungnya lesu, menghempaskan tubuh bersandar pada sandaran sofa.
Kedua matanya menatap sekitar ruangan, memperhatikan sekeliling kamar luas. Mengabsen satu persatu ruangan yang terasa nyaman tapi tak menenangkan untuk dirinya.
Sampai pandangannya jatuh pada pintu kaca yang nampak menarik perhatiannya.
Kaki jenjangnya melangkah pelan melewati pintu kaca, senyumnya terukir begitu melihat balkon kamar yang menyuguhkan pemandangan langit malam. Angin malam mulai menerpa wajah hingga rambutnya, berterbangan.
Alana berharap angin malam bisa membuatnya sedikit melupakan rasa laparnya.
"Kamu belum tidur?"
Sedikit tersentak, Alana menoleh cepat, terpaku pada wajah tampan sosok pria yang kini berdiri, menatap ke arahnya dengan kedua tangan berada di atas pembatas balkon kamarnya. Bertumpu, dengan tubuh menghadap ke arahnya.
Sejenak pandangan mereka terkuci. Menatap satu sama lain dengan pandangan yang sulit diartikan.
Axel berdiri hanya berjarak beberapa meter dengannya, dengan balkon kamar Axel lebih panjang dari kamar Alana.
Sekali melompat disebuah langit-langit pinggir dinding, Axel berpegangan pada dinding dan bergerak gesit. Dia terlihat begitu lincah dan mudah hingga sampai pada balkon kamar Alana. Berjalan santai dengan kedua mata tidak lepas menatap ke arahnya.
Semakin langkah Axel mendekat, Alana semakin melangkah mundur.
Mendadak ia mengingat percakapan mereka terakhir kali.
Di mana Axel dengan lugas mengatakan jika Risa adalah miliknya. Dan Axel tidak suka jika siapa pun mengganggu miliknya. Di sana, Axel terlihat menyeramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alana; Wanted; Be Mine!
RomanceKesalahan terbesar Alana adalah; bertemu pria itu, menyelamatkannya dan memberikan senyuman manis padanya. Hingga karna semua itu--masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Membuat dia terikat tanpa bisa lari atau pergi. Lebih parahnya, dia terkuru...